Liputan6.com, Jakarta - Kejutan bertaburan pada Piala Dunia 2022. Mulai kemenangan Arab Saudi atas Argentina, lolosnya Jepang dan Korea Selatan ke babak gugur, tersisihnya Jerman, Belgia, serta Uruguay di fase grup, hingga kegagalan Spanyol dan Brasil melangkah jauh.
Publik kini menanti apakah akan ada kembali pembunuhan raksasa di sisa kompetisi, dimulai pada semifinal Argentina vs Kroasia dan Prancis vs Maroko.
Di atas kertas, para unggulan sudah diketahui. Juara pada 1978 dan 1986, Argentina mengincar titel ketiga di Qatar. Gelar juga bakal jadi penahbisan Lionel Messi sebagai yang terbaik sepanjang masa.
Advertisement
Baca Juga
Meski mendulang berbagai kehormatan bersama klub serta mengoleksi banyak gelar pribadi, termasuk trofi pemain terbaik dunia tujuh kali yang menjadi rekor, ada yang enggan menyandingkan Messi dengan dua nama legendaris lain di lapangan hijau: Pele dan Diego Maradona.
Pasalnya, dia belum menjuarai Piala Dunia. Dia 'baru' memenangkan gelar internasional di kelompok usia Piala Dunia U-20 2005 dan emas Olimpiade 2008.
Messi bakal merasa tidak ditakdirkan sukses pada level senior menyusul serangkaian nasib sial yang diderita. Dia empat kali kalah di final turnamen besar, tiga di antaranya secara beruntun. Rinciannya adalah Copa America 2007, 2015, 2016, serta Piala Dunia 2014.
Sosok kelahiran Rosario itu akhirnya bisa memutus sial pada penghujung karier. Tahun lalu dia membawa Argentina merebut Copa America 2011. Kini berusia 35 tahun, Messi bertekad menambah torehan tersebut dengan gelar Piala Dunia.
Favorit lain pada semifinal Piala Dunia Qatar adalah Prancis, yang memburu gelar ketiga seperti Argentina. Usai sukses di Rusia empat tahun lalu, Prancis berambisi menjadi negara pertama yang menguasai Piala Dunia secara beruntun sejak Brasil melakukannya pada 1958 dan 1962.
Mereka sudah melewati serangkaian fenomena usai mencapai empat besar. Pertama dengan memutus kutukan pemegang takhta yang terhenti di fase grup, terjadi pada periode 2002 hingga 2018. Les Bleus pun menjadi juara bertahan Piala Dunia pertama yang lolos ke semifinal sejak Brasil pada 1998.
Semula tidak banyak yang percaya mereka bisa melakukannya. Sebab, badai cedera datang menghantam. Duo gelandang kunci N'Golo Kante dan Paul Pogba tidak bisa berangkat ke Qatar. Presnel Kimpembe, Christopher Nkunku, dan Karim Benzema turut terkapar jelang kompetisi dimulai. Sementara Lucas Hernandez masuk ruang perawatan setelah laga pertama Grup D kontra Australia.
Namun pelatih Didier Deschamps mampu membantu Prancis mengatasi cobaan. Dia meminta Antoine Griezmann bermain sedikit lebih ke belakang untuk membantu lini tengah.
Duo gelandang Aurelien Tchouameni dan Adrien Rabiot bermain solid, dengan Olivier Giroud menyumbang gol yang membuatnya mengukuhkan diri sebagai top skor sepanjang masa Prancis. Tidak ketinggalan Kylian Mbappe, penyerang muda berbakat yang memimpin daftar sementara pemain tersubur kompetisi lewat torehan lima gol.
"Di masa lalu rapor juara bertahan tidak terlalu baik. Tapi kami sudah memperbaikinya," kata Deschamps dikutip Fox Sports. "Kami tetap tidak boleh berpikir terlalu jauh. Kami baru mencapai semifinal, yang berarti makin dekat ke final."
Ancaman Kuda Hitam dan Adu Penalti
Kedua raksasa tersebut menghadapi kuda hitam dengan ancaman masing-masing. Kroasia menunjukkan capaian masuk final Rusia 2018 bukanlah kebetulan. Mereka kembali menunjukkan kualitas dan sukses menyingkirkan lawan yang lebih diunggulkan.
Pertama Kroasia mengungguli peringkat dua dunia Belgia di Grup F. Luka Modric dan kawan-kawan lalu menyisihkan juara lima kali Brasil pada perempat final. Mereka menang 4-2 (1-1) melalui adu penalti.
"Saya rasa kami tidak perlu takut siapapun. Kami hanya perlu fokus diri sendiri dan coba mengeluarkan penampilan terbaik," kata bek Kroasia Josip Juranovic.
Maroko menciptakan kisah lebih spektakuler. Pasukan Walid Regragui melangkahi Kroasia dan Belgia demi menguasai Grup F. Singa Atlas kemudian mengalahkan Spanyol dan Portugal untuk jadi negara Afrika pertama yang mencapai semifinal Piala Dunia.
Ada catatan khusus di balik prestasi keduanya. Kroasia dan Maroko mampu mengalahkan tim unggulan berkat kepiawaian dalam melewati adu penalti.
Penjaga gawang Kroasia Dominik Livakovic sudah menghadapi delapan eksekutor pada babak tos-tosan. Dia mementahkan tendangan trio Jepang Takumi Minamino, Kaoru Mitoma, dan Maya Yoshida, serta bintang muda Brasil Rodrygo Goes.
Dengan rasio sukses 50 persen, pemain Dinamo Zagreb ini bakal membuat pemain Argentina makin tertekan jika semifinal di Lusail Stadium, Rabu (14/12/2022) dini hari pukul 02.00 WIB, kembali membutuhkan adu penalti.
Â
Kiper Maroko Yassine Bounou tidak mau kalah. Pemain Sevilla ini menepis usaha duo Spanyol Carlos Soler dan Sergio Busquets pada perempat final.
Menghadapi Prancis di Al Bayt Stadium, Kamis (15/12/2022) dini hari pukul 02.00 WIB, kehadiran Bounou bakal membuat gemetar lawan kalau adu penalti digelar.
Advertisement
Diaspora Maroko
Kejutan terbesar pada Piala Dunia 2022 tidak lain diciptakan Maroko. Singa Atlas mencapai semifinal meski berjuang dalam kondisi unik.
Mayoritas dari anggota skuat lahir di negara lain, tepatnya 14 dari 26 orang. Daftarnya pun bukan sembarangan, melainkan pilar-pilar tim.
Yassine Bounou, yang sudah membukukan tiga clean sheet di Piala Dunia Qatar, lahir di Montreal, Kanada. Achraf Hakimi (Madrid) dan Munir Mohamedi (Melilla) lahir di Spanyol.
Kapten Romain Saiss (Bourg-de-Peage) dan Sofiane Boufal (Paris) lahir di Prancis. Sedangkan Noussair Mazraoui (Leiderdorp), Sofyan Amrabat (Huizen), Hakim Ziyech (Dronten), hingga Zakaria Aboukhlal (Rotterdam) lahir di Belanda.
Dari Belgia ada Selim Amallah (Hautrage), Ilias Chair (Antwerp), Bilal El Khannous (Strombeek-Bever), dan Anass Zaroury (Mechelen). Sementara Walid Cheddira lahir di Loreto, Italia.
Bersama putra-putra kelahiran Casablanca, Safi, Fes, dan Beni Mellal, mereka menciptakan sejarah menjadi wakil Afrika pertama yang mencapai semifinal Piala Dunia. Maroko melampaui capaian Kamerun (1990), Senegal (2002), dan Ghana (2010) yang terhenti di 8 besar.
Kumpulan diaspora ini bukanlah kacang yang lupa kulitnya. Ziyech dan kawan-kawan memaksimalkan keuntungan yang didapat dari negara kelahiran untuk kepentingan tanah leluhur.
Dalam hal ini bekal yang diterima adalah ilmu sepak bola. Harus diakui pembinaan sepak bola lebih baik di Eropa. Sistem di sana sudah berjalan mulus untuk melahirkan pemain-pemain terbaik.
Anak-anak keturunan Maroko berkembang di sana dan hasilnya terlihat di Qatar.
Panggilan Suara Hati
Dengan pembinaan dan talenta yang dimliki, para diaspora Maroko sudah mendapat godaan untuk membela tanah kelahiran di pentas internasional. Ada banyak keuntungan juga yang didapat. Salah satunya berupa prestise. Dengan memperkuat negara Eropa, karier mereka otomatis turut terdongkrak.Â
Beberapa diaspora itu bahkan sudah tampil bersama tim nasional junior negara kelahiran. Namun, ketika proposal sesungguhnya tiba, para diaspora Maroko memilih membela tanah leluhur.
"Meski lahir di Belanda, saya merasa sebagai orang Maroko. Banyak orang tidak mengerti perasaan yang saya punya," kata Ziyech saat memilih tim nasional, tujuh tahun lalu.
Seperti diketahui, FIFA mengizinkan pemain berganti haluan di level internasional, asalkan yang bersangkutan belum bermain di level senior. Maroko memaksimalkan itu untuk membangun timnas yang kini ditakuti.
Advertisement