Liputan6.com, Jakarta - Kegiatan cek fakta yang biasa dilakukan media-media berawal dari peran wanita di media sebagai periset pada 1920-an. Sebutan periset yang disematkan kepada wanita tersebut mengacu pada penyanggahan klaim pada suatu berita.
Memperingati Hari Perempuan Sedunia yang jatuh pada tangal 8 Maret lalu, The Swaddle menulis, sejarah budaya dalam kegiatan cek fakta zaman dahulu erat kaitannya dengan norma gender. Dahulu, para petinggi politik cenderung mengedepankan hipermaskulinitasnya untuk menceritakan sejarah dan mengedepankan misinformasi sebagai suatu kebenaran.
Advertisement
Baca Juga
Sifat hipermaskulinitas pada zaman dahulu membuat pria ditempatkan sebagai reporter/editor media dan wanita ditempatkan sebagai perisetnya. Hal ini memicu adanya sifat kompetitif antara reporter dan periset. Sebab sanggahan dari periset ini dinilai sebagai suatu “kehebohan yang tidak diperlukan”.
Pada 1944, tertulis sebuah pamflet bernada seksis yang ditujukan untuk para periset yang saat itu merupakan tugas wanita pekerja media. Disebutkan bahwa, “seorang periset tidak boleh lupa betapa menyulitkannya dirinya hanya karena ia wanita. Periset harus mampu membuktikan, dengan sifat ketidak spektakuleran mereka bahwa ia tidak sebermasalah pria.”
Sebuah artikel yang dirilis oleh The New York Times menulis, “untuk menjunjung stereotip gender yang ada, kita berharap pria lebih ambisius dan berorientasi pada hasil, sedangkan wanita cenderung membina dan komunal.”
Alhasil, peran periset dan pengecekan fakta menjadi suatu pekerjaan yang mana wanita direndahkan secara sistematis. Masa kini dan masa lalu menjadi contoh betapa gender seorang pekerja berperan dalam menghargai suatu hasil kerja seseorang.
Namun, seiring berjalannya waktu, media menjadi lebih dinamis dalam memposisikan wanita. Kegiatan pengecekan fakta tidak lagi dinilai sebagai “pekerjaan wanita”. Bahkan sekarang sudah tercatat ada 149 organisasi yang bergerak di bidang cek fakta di seluruh dunia.
Menyajikan kebenaran dan pengecekan fakta merupakan upaya yang tidak main-main. Dua hal tersebut menjadi suatu kebutuhan di dunia yang serba membingungkan. Proses penyajian suatu kebenaran seluruhnya bergantung pada bagaimana kita memandang tujuan dari pengecekan fakta tersebut.
Penulis: Viona Pricilla/Universitas Multimedia Nusantara
Sumber: https://theswaddle.com/how-fact-checking-in-news-started-out-as-a-womans-job/
*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tentang Cek Fakta Liputan6.com
Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.
Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi patner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.
Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.
Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.
Advertisement