Liputan6.com, Jakarta Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa tidak dapat diragukan lagi. Sejarah membuktikan, lahirnya Republik Indonesia tidak lepas dari adanya bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia—bukan bahasa asing atau bahasa daerah—digunakan dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Baca Juga
Advertisement
Bahasa yang sama juga digunakan dalam teks-teks dasar negara, undang-undang, serta teks konstitusi lain di negeri ini. Bahasa Indonesia seolah menjadi “kabar baik” bagi berbagai suku bangsa di Nusantara. Dengan bahasa Indonesia, berbagai suku bangsa dan bahasa mencapai keselarasan hidup sebagai satu bangsa, sekaligus meninggalkan identitas kesukuannya.
Namun, bahasa selalu berkembang sebagaimana dunia berubah. Seperti jargon “language change like fashion”, bahasa selalu berubah seiring berubahnya dunia. Salah satu penyebab umum terjadinya perubahan bahasa adalah kontak bahasa.
Dalam Murtiana (2012), bahasa Indonesia mengalami banyak kontak dengan beberapa bahasa bangsa lain yang terbawa melalui tiga aspek utama, yaitu ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Bangsa Tiongkok dan Arab datang ke Indonesia dengan misi perdagangan.
Kemudian bangsa Belanda, Portugis, dan Jepang datang untuk menjajah bangsa Indonesia. Bangsa Arab dan India datang dengan misi penyebaran agama. Kontak bahasa ini pun pada akhirnya memperkaya kekhazanahan bahasa Indonesia.
Masalah kemudian terjadi ketika media massa dan ruang publik kita cenderung menjadi “etalase” penggunaan istilah asing. Beberapa yang kerap kita temui adalah penggunaan nama mal. Dulu kita menyebut Mal Pondok Indah, tapi entah sejak kapan kini lebih sering terdengar Pondok Indah Mall. Nama hunian dan properti juga bertebaran menggunakan bahasa asing.
Penggunaan nama tempat dengan menggunakan istilah-istilah asing sayangnya sudah telanjur banyak di Jakarta. Misalnya, Cilandak Town Square, Pejaten Village, Thamrin City, Blok M Plaza, Sudirman Suites Apartement, San Diego Hills, dan Grand Depok City. Bahkan, tak jarang kita temui istilah seperti underpass Matraman dan flyover Antasari.
Untuk menggantikan penggunaan istilah-istilah asing tersebut, kita dapat menggunakan jalan lintas atas Antasari atau jalan lintas bawah Matraman sebagai pengganti underpass. Apakah penggunaan dan penyebutan nama-nama (hunian, mal, properti) dengan nama lokal akan mengurangi tingkat “kekerenan”? Rasanya tidak juga.
Tentu kita masih ingat bagaimana Dunia Fantasi (Dufan) yang menggunakan bahasa Indonesia tetap menjadi area hiburan favorit masyarakat perkotaan berpuluh tahun lalu hingga kini. Atau nama wilayah perumahan elite Pondok Indah yang masih eksis hingga sekarang. Ada juga nama destinasi wisata dan bisnis Pantai Indah Kapuk yang digemari meski menggunakan nama lokal. Selain itu, kita punya Atrium Senen dan Mal Puri Indah.
Bahkan yang membahagiakan, pemerintah sudah memberi nama Simpang Susun Semanggi alih-alih Semanggi Interchange.
Namun begitu, bukan berarti kita seakan alergi dengan penggunaan bahasa asing. Dardjowidjojo (2008) mengatakan, memurnikan bahasa Indonesia dengan mencegah kata asing bukan hanya bertentangan dengan kodrat, tapi juga menjauhkan kita dari masa depan. Mengapa? Karena persentuhan dengan bahasa dan kebudayaan asing adalah sesuatu yang diyakini.
Tentu kita tidak boleh gegabah menerima istilah asing begitu saja. Diperlukan penyesuaian dan penyaringan agar istilah asing yang baru masuk tidak “merusak” tatanan yang terlebih dahulu ada.
Perasaan inferior ketika menyebut atau menggunakan istilah dengan menggunakan bahasa asing harus dibuang jauh-jauh. Kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia sebagai tempat publik harus digelorakan kembali. Ini berpulang lagi pada fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Yaitu bahwa bahasa sebagai sarana komunikasi antarsuku dan budaya bangsa sehingga perbedaan latar belakang sosial budaya dan bahasa tidak perlu dikhawatirkan lagi.