KOLOM BAHASA: Gaya Bahasa Anak Jaksel, Cuma Tren atau Keruwetan Berpikir?

Dalam ilmu bahasa, pencampuran bahasa seperti ini disebut sebagai campur kode atau code mixing. Lalu, perlukah kita khawatir dengan gaya bahasa anak Jaksel yang 'campur-campur'?

oleh Fadjriah Nurdiarsih diperbarui 15 Sep 2018, 09:00 WIB
Diterbitkan 15 Sep 2018, 09:00 WIB
Kolom Bahasa Fadjriah Nurdiarsih
Kolom Bahasa Fadjriah Nurdiarsih (Liputan6.com/Trie yas)

Liputan6.com, Jakarta Akhir-akhir ini, tren gaya bahasa anak Jaksel rupanya tengah menjangkiti media sosial. Di Twitter, tercatat sejak awal November sudah ada ribuan twit yang membahas fenomena bahasa “campur-campur” atau “gado-gado” ala anak Jaksel dengan tagar #anakjaksel.

Akun Twitter @RT_Taufik, berkicau "kosa kata wajib: which is, confused, efford, literally, efford, attitude… #AnakJaksel senior mau nambah?"

Berdasarkan gaya ini, seseorang menggunakan bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa Inggris dalam percakapannya.

Akun Uly Theresia‏ @ulytheresia menuliskan contoh gaya bahasa anak Jaksel. "Aku udah gak se-young dulu lagi. Aku ketemu orang which is lebih muda than me. Aku tuh literally gak nyangka. Jadi kek baru sadar gitu. Kok kek nya aku tetap sama kek dulu gitu. Aku kan jadi confuse gimana gitu. Karna aku tuh masih young, wild, and free. #AnakJaksel"

Dalam ilmu bahasa, pencampuran bahasa seperti ini disebut sebagai campur kode atau code mixing. Berdasarkan definisi linguistik, campur kode (code-mixing) adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa. Yang termasuk di dalamnya adalah pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya.

Beberapa kalangan mencibir gaya berbahasa anak Jaksel yang dianggap melecehkan bahasa negara dan tak mencerminkan nasionalisme. Salah satu anggapan yang lazim dipakai para ahli bahasa dan pencinta bahasa Indonesia adalah penggunaan bahasa yang campuran ini semacam ini menandakan kusutnya pikiran si penutur bahasa dan ketidakmampuan dalam menyusun kalimat.

Kepada seorang penutur bahasa "campur-campur", saya pernah bertanya alasannya berbicara seperti itu. Di luar dugaan, tak seperti anggapan bahwa umumnya si penutur bahasa hendak memakai bahasa Inggris supaya keren, dia justru berkata otaknya sulit mencari kosakata yang sepadan atau sesuai untuk kalimat yang sedang disusunnya.

"Kayaknya buat gue lebih gampang aja ngomong atau nulis pake bahasa Inggris, lebih ngalir gitu," ujarnya. 

Alasan adanya campur kode

Beda Gaya Anak SMA di Sinetron dengan di Dunia Nyata
Ilustrasi gaya anak SMA di sinetron. (via: istimewa)

Ivan Lanin, penulis Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris?, mengatakan campur kode merupakan gejala yang umum dalam linguistik.

"Tapi kalau hanya sekadar untuk gaya ya enggak bagus juga," ujarnya.

Ivan Lanin, yang kerap berkampanye soal penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di media sosial, mengatakan campur kode lazim terjadi jika si penutur bahasa menguasai lebih dari satu bahasa.

"Saya punya teman orang Eropa yang bisa banyak bahasa. Mereka bisa bicara dengan satu bahasa dalam satu kalimat/alih kode," ujarnya.

Selain campur kode, ada juga istilah alih kode (code switching). Alih kode adalah penggunaan bahasa lain atau ragam bahasa lain pada satu percakapan untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain atau karena adanya partisipan lain.

Dalam kicauan di akun Twitternya, Ivan Lanin menjelaskan perbedaan antara alih kode dan campur kode.

Ada dua istilah:

1. alih kode = code switching: satu percakapan lebih dari satu bahasa 2. campur kode = code mixing: satu kalimat lebih dari satu bahasaYang kedua tidak saya anjurkan.

Meski demikian, Totok Suhardiyanto, dosen linguistik di Universitas Indonesia, kepada Liputan6.com (14/9/2018) mengatakan ada yang membedakan code-mixing dan code-switching, tapi sebagian besar ahli sosiolinguistik tidak membedakannya.

"Kebanyakan sosiolinguis mempertukarkannya. Kalaupun membedakan, alih kode dianggap punya tujuan menciptakan efek tertentu. Selain karena situasi/partisipan, juga karena ingin menunjukkan sesuatu. Tapi, code-mixing enggak," ujarnya menegaskan.

Namun, bagi anak Jaksel sendiri--atau generasi milenial pada umumnya--apa gunanya alih kode?

Menariknya, sebagian menolak disebut menggunakan bahasa "campur-campur" dengan alasan untuk keren. Malahan, mereka mengaku menggunakan bahasa Inggris campur bahasa Indonesia, atau "keminggris" dengan alasan latihan memperlancar bahasa Inggris. Tentu ini alasan yang akan menggelisahkan telinga para pencinta dan pemerhati bahasa Indonesia.

Meski demikian, bagaimana dengan para pejabat dan pemimpin negara yang telah mencontohkan lebih dulu soal bahasa "campur-campur"?

Gaya bahasa ala Anak Jaksel sebenarnya bukan fenomena baru. Mulai dari Susilo Bambang Yudhoyono, Sandiaga Uno, hingga Anies Baswedan terhitung pernah menggunakan bahasa "campur-campur". 

Anies Baswedan dalam sebuah wawancara dengan Kompas pada 5 September 2018 mengatakan, "Kita punya penduduk 10 juta, dan 30 persen earning less than 1 million per month. Dan bapak ibu semua menyadari what does it mean having 1 milion in the city like Jakarta. What can you do dengan angka itu? This is a problem," imbuh dia.

Jika generasi milenial merasa perlu menggunakan bahasa asing agar percakapan lebih cair dan memperkokoh identitas, alasan apa yang mendasari seorang pejabat bertutur kata "campur-campur"?

Tantangan Bahasa Indonesia

Di sinilah bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara mendapatkan tantangan. Apakah sebagai bahasa pemersatu yang sudah dijunjung tinggi dalam Sumpah Pemuda 1928, bahasa Indonesia mampu untuk tetap tegak sebagai bahasa yang dipergunakan sebagai baik?

Meskipun sudah ada UU No 24 Tahun 2009 yang mengatur soal bendera, bahasa, dan lambang negara, sikap untuk menempatkan dan menggunakan bahasa Indonesia secara semestinya masih jauh panggang dari api. Padahal, seruan untuk tidak menggunakan bahasa secara "campur-campur" ini bukanlah sikap kefanatikan terhadap bahasa Indonesia, melainkan sikap untuk menghargai bahasa sebagai identitas dan jati diri bangsa.

Di zaman hampir tidak ada sekat dan batas-batas antarnegara, penggunaan campur kode/alih kode menjadi sangat umum terjadi. Tidak hanya dengan bahasa Inggris, tengok saja bagaimana bahasa Belanda dulu sangat merasuk ke dalam percakapan sehari-hari, hingga akhirnya beberapa kosa kata pun diserap ke dalam bahasa Indonesia. Kita bisa menyebut contoh: verboden dan abonemen.

Akun @nextimeperhaps mengutarakan kegelisahannya terkait fenomena bahasa campur-campur ini. Ia berkicau, "I don't get the #anakjaksel hate with us using mixed language. I mean why people don't hate Indo mixed with Javanese, Bataknese and all but English?"

Sebenarnya alih kode/campur kode tidak melulu merupakan gejala yang buruk dan haram untuk dilakukan. Pemakaian alih kode mencerminkan pikiran penutur dengan kemampuan intelektual dan penyerapan luas, sepanjang dipakai dalam struktur tata bahasa yang benar. Bahkan bagi sebagian yang lain, alih kode/campur kode menjadi semacam tanda untuk mendobrak batas-batas yang dirasa mengungkung, termasuk dalam soal berbahasa.

Namun di sisi lain, persoalan mendasar akan segera terbaca dari sini. Kemampuan mengajar para guru bahasa Indonesia mulai tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi tentu perlu direformasi. Kemampuan untuk menciptakan bahasa Indonesia sebagai pelajaran yang mudah dan menyenangkan masih menjadi hambatan. Sebagian anak dengan segera menyebut belajar bahasa Indonesia susah.

Stereotipe semacam ini yang menjadikan generasi malas membaca dan tidak bisa memahami isi bacaan. Akibatnya pun beruntun di masa depan: sulit memilih diksi, tak mampu menyusun kalimat hingga paragraf, dan bahkan lunturnya kecintaan terhadap bahasa Indonesia.

 

*penulis adalah pemerhati bahasa dan editor di Liputan6.com.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya