Kapan Kewajiban Nafkah Orangtua kepada Anak Berakhir? Begini Hukum Islam Menjelaskannya

Hukum menafkahi anak di Indonesia: Kewajiban orangtua, batasan usia anak, dan peran ayah serta ibu dalam memenuhi kebutuhan anak dijelaskan secara rinci dalam artikel ini.

oleh Silvia Estefina Subitmele Diperbarui 13 Mar 2025, 11:23 WIB
Diterbitkan 13 Mar 2025, 11:23 WIB
cara menuntut nafkah anak setelah cerai
cara menuntut nafkah anak setelah cerai ©Ilustrasi dibuat Stable Diffusion... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Pertanyaan mengenai kapan orangtua wajib menafkahi anak sering muncul, terutama dalam konteks perpisahan orangtua atau kondisi ekonomi yang sulit. Di Indonesia, hukum terkait nafkah anak diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan juga dipengaruhi oleh pandangan agama, khususnya Islam. Secara umum, ayah memang memiliki tanggung jawab utama, namun peran ibu juga sangat penting dan dalam beberapa situasi, ia bisa menjadi penanggung jawab utama.

Baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan kewajiban orangtua untuk memelihara dan mendidik anak. Namun, detail mengenai batasan usia anak yang masih berhak mendapatkan nafkah dan bagaimana pembagian tanggung jawab antara ayah dan ibu, perlu dikaji lebih lanjut. Artikel ini akan mengulas lebih dalam mengenai hukum menafkahi anak di Indonesia, baik dari sisi hukum positif maupun pandangan agama Islam.

Seperti apa penjelasannya, berikut Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Kamis (13/3/2025).

Promosi 1

Kewajiban Nafkah Anak dalam Hukum Positif Indonesia

Fimela Keluarga
Ilustrasi keluarga yang liburan/copyright fimela/guntur... Selengkapnya

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam Pasal 45, menyatakan bahwa "kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak sampai anak menikah atau mampu berdiri sendiri". Definisi 'berdiri sendiri' ini memang tidak dijelaskan secara rinci, sehingga penafsirannya dapat bergantung pada konteks masing-masing kasus. Hal ini juga diperkuat oleh Pasal 41 ayat (2) yang menyatakan bahwa jika ayah tidak mampu memenuhi kewajiban nafkah, pengadilan dapat memutuskan ibu ikut menanggung biaya pemeliharaan dan pendidikan anak.

Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 26 ayat (1), menegaskan kembali kewajiban dan tanggung jawab orang tua (baik ayah maupun ibu) untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. Undang-undang ini menggarisbawahi pentingnya peran kedua orangtua dalam kehidupan anak, terlepas dari status perkawinan mereka.

Meskipun undang-undang tersebut tidak secara eksplisit menentukan batasan usia anak yang masih berhak mendapatkan nafkah, pengadilan akan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk kemampuan ekonomi orangtua dan kebutuhan anak, dalam menentukan keputusan terkait nafkah.

Kewajiban Nafkah Anak dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Ilustrasi Islami, keluarga muslim, silaturahmi, buka puasa
Ilustrasi Islami, keluarga muslim, silaturahmi, buka puasa. (Image by rawpixel.com on Freepik)... Selengkapnya

Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan batasan usia yang lebih spesifik. Dalam Pasal 104 KHI, anak dianggap dewasa dan mampu berdiri sendiri pada usia 21 tahun. Namun, terdapat pengecualian jika anak memiliki cacat fisik atau mental, atau telah menikah sebelum usia tersebut. Jika ayah meninggal dunia, kewajiban nafkah dapat dibebankan kepada ahli warisnya atau kerabat almarhum.

Meskipun KHI menetapkan kewajiban utama nafkah pada ayah, ibu tetap memiliki peran penting dalam mendidik anak. Dalam situasi dimana ayah meninggal atau tidak mampu memberikan nafkah, ibu dapat menjadi penanggung jawab utama, terutama jika anak masih kecil dan belum mampu bekerja. Kewajiban ini didasarkan pada kasih sayang dan tanggung jawab moral yang melekat pada seorang ibu.

Kadar nafkah yang harus diberikan tidak ditentukan secara pasti dalam KHI. Besarnya nafkah disesuaikan dengan kemampuan ekonomi orangtua dan kebutuhan anak. Ini menunjukan fleksibilitas dalam penerapan hukum Islam terkait nafkah anak, dengan tetap mengedepankan kesejahteraan anak.

Pandangan Agama Islam tentang Nafkah Anak

Nafkah merupakan suatu kewajiban yang harus diberikan oleh seorang laki-laki (ayah) kepada pasangan dan anaknya saat telah berkeluarga. Kewajiban dalam memberikan nafkah oleh seorang ayah kepada anggota keluarganya tertuang dalam QS. Al-Baqarah ayat 233:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنّ بِالْمَعْرُوفِ  

Artinya: “Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.”

Tidak hanya itu, Ibnu Mundzir rahimahullah berkata:

“Para ulama yang kami hafal pendapatnya bersepakat bahwa seorang laki-laki wajib menafkahi anak-anaknya yang masih kecil yang tidak punya harta. Karena anak dari seseorang adalah bagian darinya, si anak adalah bagian dari bapaknya. Maka sebagaimana ia wajib menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya, ia juga wajib menafkahi dirinya dan bagian dari dirinya (yaitu anaknya)” (Al-Mughni, 8/171).

Dalam Islam, memberikan nafkah adalah beban syara’ yang bernilai kasih sayang. Kadar dalam menafkahi anak tidak diukur dalam nominal uang saja, karena setiap kebutuhan anak tentunya berbeda-beda. 

Hal lain yang menjadikan orangtua tidak wajib menafkahi anak adalah ketika anak telah memiliki simpanan uang yang banyak hingga bisa disebut sebagai orang kaya, misalnya ia memiliki harta dari hasil warisan, maka dalam keadaan demikian orangtua tidak terlalu wajib untuk menafkahi anaknya, meskipun sang anak masih kecil.

Penjelasan di atas sesuai dengan keterangan yang terdapat dalam kitab Hasyiyah al-Baijuri:

فالغني الصغير او الفقير الكبير لا تجب نفقته – إلى أن قال - وقد استفيد مما تقدم ان الولد القادر على الكسب اللائق به لا تجب نفقته بل يكلف الكسب بل قد يقال انه داخل في الغني المذكور. ويستثنى ما لو كان مشتغلا بعلم شرعي ويرجى منه النجابة والكسب يمنعه فتجب حينئذ ولا يكلف الكسب   

“Anak kecil yang kaya atau orang baligh yang fakir tidak wajib (bagi orang tua) menafkahi mereka. Dan dapat pahami bahwa anak yang mampu bekerja yang layak baginya tidak berhak lagi menerima nafkah, sebaliknya ia (justru) dituntut untuk bekerja. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa anak yang mampu bekerja ini masuk kategori anak yang kaya. Dikecualikan ketika anak yang telah mampu bekerja ini sedang mencari ilmu syara’ dan diharapkan nantinya akan menghasilkan kemuliaan (dari ilmunya) sedangkan jika ia bekerja maka akan tercegah dari rutinitas mencari ilmu, maka dalam keadaan demikian ia tetap wajib untuk dinafkahi dan tidak diperkenankan untuk menuntutnya bekerja.” (Syekh Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, juz 2, hal. 187)   

Alasan Wajibnya Menafkahi Anak bagi Orangtua

1. Anak Belum Mampu dalam Bekerja

Ketika anak belum bekerja dan menghasilkan uang serta tidak memiliki simpanan sama sekali untuk biaya hidupnya, maka orangtua berkewajiban dalam menafkahi. Namun, ketika seorang anak telah baligh dan mampu untuk bekerja, orangtua tidak memiliki kewajiban lagi dalam menafkahi, meskipun anak tersebut belum mendapatkan pekerjaan.

2. Ketika Anak Menuntut Ilmu

Meskipun seorang anak dapat dikatakan telah mampu untuk bekerja, tetapi ia masih dalam tahap mencari ilmu, seperti berkuliah dan ketika ia bekerja sambil menyelesaikan pendidikannya tetapi malah berdampak dengan terbengkalainya pendidikan anak tersebut, maka orangtua wajib dalam menafkahi anaknya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya