Citizen6, Papua: Pembangunan Papua mengalami berbagai kemajuan yang berarti dibandingkan pada masa Orde Baru. Hal ini terkait erat dengan penerapan UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang dimaksudkan untuk percepatan dan pemerataan pembangunan Papua.
Otsus Papua itu sendiri memuat aspek akomodasi politik yang lebih luas bagi potensi masyarakat asli Papua dalam membentuk dan menyusun kekuasaan tingkat lokal. Baik itu dalam pemerintahan maupun lembaga perwakilan, alokasi anggaran, serta berbagai peraturan seperti Perdasi maupun Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang diperlukan guna pembangunan Papua.
Berbagai kekhususan yang diberikan dalam UU Otsus Papua ini merupakan bentuk penerapan asimetric decentralization (Van Houtten, 2001) yang menjadi komitmen politik dari segenap bangsa Indonesia untuk menjawab berbagai persoalan pembangunan yang selama ini menjadi tantangan dalam mengelola Papua yang merupakan bagian integrasi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemajuan yang dicapai oleh Papua tentu bukanlah isapan jempol belaka. Dalam konteks alokasi anggaran, sejak tahun 2002 hingga 2013 telah dialokasikan dana Otsus dengan jumlah yang besarannya mencapai Rp. 38,039 T. Dana Otsus yang demikian besar tentu merupakan modal pembangunan daerah yang signifikan jika dapat dimanfaatkan dengan baik sebagaimana aspirasi masyarakat Papua. Kemajuan lain dapat dilihat dari kenaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang merupakan salah satu indikator untuk memotret kemajuan pembangunan, dimana IPM Papua pada skor 60,10 pada tahun 2002 dan meningkat menjadi 63,35.
Selain itu, Papua juga menempati angka APBD per kapita tertinggi di Indonesia yakni Rp 8,3 Juta, bandingkan dengan Jawa Barat yang berada pada posisi terendah yakni Rp 888.135. Begitupula dengan angka kemiskinan yang terus menurun dimana pada tahun 2001 mencapai 54,75% dan turun menjadi 31,13% pada tahun 2013.
Berbagai pemcapaian kemajuan pembangunan Papua ini disusul dengan sejumlah prestasi putra-putri Papua pada berbagai bidang seperti pendidikan maupun olahraga. Lihat saja medali yang diperoleh para pelajar Papua dalam ajang Asian Science and Mathematics Olympiad for Primary School. Mereka berhasil mempersembahkan 4 medali emas (Kristian Murib/Wamena, Merlin Kogoya/Tolikara, Kohoin Marandey/Sorong Selatan, Ayu Rogi/Waropen), 5 medali perak (Syors Srefle/Sorong Selatan, Natalisa Dori/Waropen, Nikolaus Taote/Mimika, Emon Wakerwa/Tolikara) dan 3 medali perunggu (Alex Wanimbo/Leni Jaya, Boni Logo/Wamena, Ester Aifufu/Sorong Selatan). Begitupula dengan sektor olahraga. Para pemain sepakbola asal Papua seperti Boaz Salossa, Patrich Wanggai, Andri Ibo, Titus Bonai, Ricardo Salampessy, Ruben Sanadi, Joshua Pahabol, dan lain-lain berhasil mengukir prestasi baik pada pentas nasional maupun internasional dan ikut mengharumkan nama bangsa. Berbagai pencapaian itu semakin memantapkan posisi Papua sebagai wilayah yang semakin menuju kesejajaran dengan wilayah lain di NKRI.
Harus jujur diakui bahwa di antara berbagai capaian penting pasca Otsus Papua memang masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang perlu mendapat perhatian, seperti efektifitas penggunaan dana Otsus, pemerataan pembangunan infrastruktur dasar dan sosial, serta penanganan potensi gangguan keamanan yang bersifat sporadis baik akibat konflik komunal, pilkada maupun aktivitas kelompok bersenjata yang kerap menteror masyarakat. Namun demikian, menjadikan persoalan pekerjaan rumah yang belum selesai di Papua sebagai sarana untuk dieksploitasi demi kepentingan propaganda politik, bahkan mendukung separatisme di Papua tentu tidak dibenarkan dan justru kontraproduktif bagi kepentingan masyarakat Papua yang sedang giat-giatnya meningkatkan pembangunan wilayahnya.
Teror dan Propaganda
Teror dan propaganda politik mengecam langkah pemerintah dalam meningkatkan pembangunan Papua dan pelaksanaan Otsus Papua kerap dilakukan oleh kelompok-kelompok yang memang tidak menghendaki Papua menjadi bagian integral NKRI. Kelompok ini menggunakan momentum demokratisasi politik untuk membangun opini sesat baik dalam negeri maupun internasional. Isu yang biasa dimanipulasi adalah mengenai sejarah integrasi Papua, pelanggaran HAM, eksploitasi SDA dan ketimpangan pembangunan. Tujuannya adalah mendelegitimasi status Papua sebagai wilayah sah NKRI baik secara historis, politis maupun yuridis. Melalui cara itu, mereka memperoleh ruang untuk mengkampanyekan separatisme Papua dan menarik simpati komunitas internasional yang sesungguhnya memiliki hidden agenda terhadap Papua.
Dalam konteks domestik, kelompok ini mengecam implementasi Otsus sebagai kebijakan yang gagal dan tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Mereka juga sangat risau dengan langkah pemerintah untuk melakukan pemekaran yang sesungguhnya dapat menjadi jalan untuk mengefektifkan dan meningkatkan pemerataan pembangunan di Papua. Bagi mereka, pemekaran akan menghambat tujuan politik untuk mengkonsolidasikan dukungan masyarakat Papua guna menolak Otsus dan menawarkan referendum sebagai langkah awal menuju Papua merdeka. Bahkan, kelompok ini berupaya untuk melakukan penyusupan dan mengintegrasikan isu separatisme sebagai persoalan yang menjadi perhatian kelompok adat dan agama. Lihat saja bagaimana kiprah dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB), Parlemen Nasional West Papua (PNWB), International Lawyers for West Papua (ILWP), dan lain-lain. Kelompok ini selain aktif propaganda dan konsolidasi juga membentuk struktur organisasi yang hierarkis menyerupai hierarki pemerintahan.
Internasionalisasi isu Papua juga dilakukan dengan menggalang simpati dan dukungan komunitas internasional. Mereka membentuk jaringan internasional dan menuntut dibukanya akses bagi kelompok asing tertentu yang menjadi simpatisannya untuk memasuki Papua dengan dalih misi kemanusiaan maupun monitoring. Isu pelanggaran HAM dan genosida dijadikan sebagai bahan propaganda politik di luar negeri dengan memanfaatkan dukungan dari segelintir kelompok tertentu di sejumlah negara yang memberikan respon terhadap gerakan separatisme Papua.
Perhatikan saja kiprah anggota parlemen Australia yang dimotori oleh Richard di Natale asal Partai Hijau dengan kaukus parlemen untuk mendukung Papua Merdeka. Begitu halnya dengan digelarnya forum TEDx Sidney (2013) sebagai ajang bagi Benny Wenda (aktivis OPM/Free West Papua Campaign/FWPC) dan Jennifer Robinson (pengacara Australia simpatisan OPM) untuk mendiskreditkan pemerintah Indonesia. Aksi itu disusul dengan konferensi sejumlah pengacara di Oxford, Inggris yang dimotori oleh Robinson dalam International Lawyers for West Papua (ILWP) yang mendorong agar persoalan Papua dibawa ke Mahkamah Internasional.
Para simpatisan kelompok separatis dan OPM juga menggunakan mekanisme teror dan kekerasan sebagai cara untuk melawan kedaulatan NKRI atas Papua yang telah kuat baik berdasarkan hukum nasional maupun internasional. Aksi penembakan, penculikan dan berbagai kekerasan lainnya dilakukan oleh kelompok sipil bersenjata yang diduga kuat dilakukan oleh TPN-OPM untuk menciptakan teror dan ketakutan masyarakat serta mendelegitimasi kemampuan pemerintah dalam menjamin keamanan warganya. Wilayah-wilayah Papua yang dianggap pro pemerintah menjadi target utama operasi TPN-OPM untuk mendirikan struktur organisasinya dan melakukan rekrutmen anggota, seperti wilayah Serui, Sorong, Merauke, Fakfak, Biak dan lainnya.
Revitalisasi Otsus dan Sikap Tegas
Negara tidak boleh diam dan kalah dalam melawan aksi teror dan propaganda Papua merdeka. Pelaksanaan Otsus meski menuai sejumlah kritik, perlu untuk direvitalisasi agar kontekstual dengan perkembangan dan aspirasi masyarakat Papua. Kritik terhadap implementasi Otsus tentu harus diletakan dalam kerangka memperbaiki kebijakan dan peningkatan percepatan dan pemerataan pembangunan di Papua dengan bertumpu pada maksimalisasi pelibatan sumberdaya lokal, baik sumberdaya alam maupun manusia Papua.
Evaluasi yang dilakukan oleh Majelis Rakyat Papua-Papua Barat pada tanggal 25-27 Juli 2013, semisal melihat bahwa empat aspek penting dalam pelaksanaan Otsus Papua yakni meliputi pendidikan, kesehatan, hukum dan regulasi serta pemanfaatan sumberdaya alam perlu untuk mendapat perhatian serius. Dalam evaluasinya, MRP melihat bahwa keempat aspek tersebut belum menunjukan perkembangan signifikan meski Otsus telah berjalan sejak tahun 2002 dan menghabiskan anggaran yang besar. Lanjutnya, selama ini alokasi dana Otsus belum efektif dan tepat sasaran sehingga optimalisasi capaiannya belum dirasakan oleh masyarakat. Begitupula dengan keterwakilan Orang Asli Papua (OAP) yang dianggap masih minim dan terpinggirkan dalam persaingan lokal. Karena itu, upaya untuk menyempurnakan pelaksanaan Otsus itulah yang seharusnya menjadi perhatian seluruh pemangku kepentingan di Papua sebagai jalan yang paling rasional dan memberikan manfaat bagi masyarakat Papua.
Penyempurnaan Otsus sebagai jalan keluar terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah pembangunan Papua tentu memerlukan sinergi seluruh stakeholder Papua, terutama para elit Papua dan masyarakatnya itu sendiri. Pada tingkat regulasi, UU No. 21 Tahun 2001 mengenai Otsus telah diusulkan penyempurnaan dan dibahas sejumlah aspek perubahan dengan mengakomodasi tuntutan masyarakat asli Papua dan mempertimbangkan berbagai kendala dan kelemahan dalam implementasi Otsus sebelumnya.
Usulan revisi UU Otsus Papua seharusnya dimanfaatkan sebagai momentum bagi masyarakat Papua untuk memasukan aspirasi politiknya agar muncul sebagai kebijakan sehingga menjadi jalan untuk meningkatkan kesejahteraan dan percepatan pembangunan Papua. Masyarakat asli Papua juga harus memiliki keberanian untuk mengkoreksi para elit asli Papua yang gagal memanfaatkan kebijakan Otsus Papua bagi kepentingan masyarakatnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak elit asli Papua yang justru mengambil keuntungan pribadi dari berbagai dukungan yang diberikan melalui Otsus Papua. Situasi inilah yang kemudian memunculkan suatu istilah dimana “Orang Papua, Tipu Papua”.
Berbagai upaya perbaikan itu tentu dapat berjalan jika tercipta suasana yang kondusif di Papua. Stabilitas sosial dan politik karena itu menjadi penting disertai dengan adanya jaminan keamanan yang mantap. Hal itu memerlukan perpaduan antara langkah-langkah persuasif dalam rangka revitalisasi kebijakan Otsus maupun tindakan tegas terhadap berbagai potensi gangguan yang mungkin ditimbulkan oleh kelompok-kelompok baik dalam negeri maupun asing yang mencoba memperkeruh suasana dan merongrong integritas wilayah Papua sebagai bagian final NKRI. Papua dalam berbagai dimensi merupakan wilayah sah NKRI yang tidak bisa diganggu gugat.
Merujuk pada prinsip uti possidetis juris yang diakui sebagai hukum internasional untuk menetapkan batas-batas negara yang baru merdeka berikut dekolonisasi, dengan memastikan bahwa perbatasan mengikuti batas-batas asli dari wilayah kolonial lamadari yang mereka muncul, maka Indonesia berhak mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda yang dijajah Belanda, termasuk di dalamnya adalah wilayah Papua Barat yang menjadi jajahan Belanda sejak 1828. Begitupula jika merujuk pada hasil The Act of Free Choice (self determination) atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang demokratis dan merepresentasikan seluruh kekuatan sosial dan politik di Papua pada tahun 1969 dimana mereka memutuskan secara bulat untuk tetap menjadi bagian NKRI. Hasil Pepera ini kemudian diperkuat dengan keluarnya resolusi PBB No.2504 yang mengakui kedaulatan NKRI atas wilayah Papua. Berdasarkan pertimbangan tersebut, tentu tidak ada satu alasan pun yang cukup kuat untuk menggugat klaim NKRI atas kedaulatannya di wilayah Papua.
Separatisme, apalagi gerakan bersenjata tidak dibenarkan dalam konteks hukum internasional manapun. Setiap negara memiliki hak untuk mempertahankan integritas dan kedaulatan nasionalnya atas seluruh wilayahnya dengan berbagai pendekatan yang dianggap tepat dan efektif. Kedaulatan itu tidak hanya dalam konteks domestik (internal sovereignity), dimana setiap warga negara mengakui dan tunduk pada hukum-hukum nasional yang berlaku, namun juga termasuk kedaulatan eksternal (external sovereignity) dimana tidak diperkenankan adanya kekuatan asing yang ikut campur dan melanggar urusan suatu negara (Jean Boddin, 1530-1596). Karenanya, negara tidak perlu ragu-ragu untuk menindak para pelaku separatisme yang mengancam kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI sehingga pembangunan Papua terus dapat dilanjutkan sebagaimana harapan masyarakat Papua. (Toni Sudibyo/KW)
*Toni Sudibyo adalah Penulis adalah alumnus Fisipol Universitas Jember dan alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen (KSI) Universitas Indonesia.
Mulai 16 Oktober-1 November ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "6 Alasan Aku Cinta Indonesia". Ada merchandise eksklusif bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Otsus Papua itu sendiri memuat aspek akomodasi politik yang lebih luas bagi potensi masyarakat asli Papua dalam membentuk dan menyusun kekuasaan tingkat lokal. Baik itu dalam pemerintahan maupun lembaga perwakilan, alokasi anggaran, serta berbagai peraturan seperti Perdasi maupun Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang diperlukan guna pembangunan Papua.
Berbagai kekhususan yang diberikan dalam UU Otsus Papua ini merupakan bentuk penerapan asimetric decentralization (Van Houtten, 2001) yang menjadi komitmen politik dari segenap bangsa Indonesia untuk menjawab berbagai persoalan pembangunan yang selama ini menjadi tantangan dalam mengelola Papua yang merupakan bagian integrasi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemajuan yang dicapai oleh Papua tentu bukanlah isapan jempol belaka. Dalam konteks alokasi anggaran, sejak tahun 2002 hingga 2013 telah dialokasikan dana Otsus dengan jumlah yang besarannya mencapai Rp. 38,039 T. Dana Otsus yang demikian besar tentu merupakan modal pembangunan daerah yang signifikan jika dapat dimanfaatkan dengan baik sebagaimana aspirasi masyarakat Papua. Kemajuan lain dapat dilihat dari kenaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang merupakan salah satu indikator untuk memotret kemajuan pembangunan, dimana IPM Papua pada skor 60,10 pada tahun 2002 dan meningkat menjadi 63,35.
Selain itu, Papua juga menempati angka APBD per kapita tertinggi di Indonesia yakni Rp 8,3 Juta, bandingkan dengan Jawa Barat yang berada pada posisi terendah yakni Rp 888.135. Begitupula dengan angka kemiskinan yang terus menurun dimana pada tahun 2001 mencapai 54,75% dan turun menjadi 31,13% pada tahun 2013.
Berbagai pemcapaian kemajuan pembangunan Papua ini disusul dengan sejumlah prestasi putra-putri Papua pada berbagai bidang seperti pendidikan maupun olahraga. Lihat saja medali yang diperoleh para pelajar Papua dalam ajang Asian Science and Mathematics Olympiad for Primary School. Mereka berhasil mempersembahkan 4 medali emas (Kristian Murib/Wamena, Merlin Kogoya/Tolikara, Kohoin Marandey/Sorong Selatan, Ayu Rogi/Waropen), 5 medali perak (Syors Srefle/Sorong Selatan, Natalisa Dori/Waropen, Nikolaus Taote/Mimika, Emon Wakerwa/Tolikara) dan 3 medali perunggu (Alex Wanimbo/Leni Jaya, Boni Logo/Wamena, Ester Aifufu/Sorong Selatan). Begitupula dengan sektor olahraga. Para pemain sepakbola asal Papua seperti Boaz Salossa, Patrich Wanggai, Andri Ibo, Titus Bonai, Ricardo Salampessy, Ruben Sanadi, Joshua Pahabol, dan lain-lain berhasil mengukir prestasi baik pada pentas nasional maupun internasional dan ikut mengharumkan nama bangsa. Berbagai pencapaian itu semakin memantapkan posisi Papua sebagai wilayah yang semakin menuju kesejajaran dengan wilayah lain di NKRI.
Harus jujur diakui bahwa di antara berbagai capaian penting pasca Otsus Papua memang masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang perlu mendapat perhatian, seperti efektifitas penggunaan dana Otsus, pemerataan pembangunan infrastruktur dasar dan sosial, serta penanganan potensi gangguan keamanan yang bersifat sporadis baik akibat konflik komunal, pilkada maupun aktivitas kelompok bersenjata yang kerap menteror masyarakat. Namun demikian, menjadikan persoalan pekerjaan rumah yang belum selesai di Papua sebagai sarana untuk dieksploitasi demi kepentingan propaganda politik, bahkan mendukung separatisme di Papua tentu tidak dibenarkan dan justru kontraproduktif bagi kepentingan masyarakat Papua yang sedang giat-giatnya meningkatkan pembangunan wilayahnya.
Teror dan Propaganda
Teror dan propaganda politik mengecam langkah pemerintah dalam meningkatkan pembangunan Papua dan pelaksanaan Otsus Papua kerap dilakukan oleh kelompok-kelompok yang memang tidak menghendaki Papua menjadi bagian integral NKRI. Kelompok ini menggunakan momentum demokratisasi politik untuk membangun opini sesat baik dalam negeri maupun internasional. Isu yang biasa dimanipulasi adalah mengenai sejarah integrasi Papua, pelanggaran HAM, eksploitasi SDA dan ketimpangan pembangunan. Tujuannya adalah mendelegitimasi status Papua sebagai wilayah sah NKRI baik secara historis, politis maupun yuridis. Melalui cara itu, mereka memperoleh ruang untuk mengkampanyekan separatisme Papua dan menarik simpati komunitas internasional yang sesungguhnya memiliki hidden agenda terhadap Papua.
Dalam konteks domestik, kelompok ini mengecam implementasi Otsus sebagai kebijakan yang gagal dan tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Mereka juga sangat risau dengan langkah pemerintah untuk melakukan pemekaran yang sesungguhnya dapat menjadi jalan untuk mengefektifkan dan meningkatkan pemerataan pembangunan di Papua. Bagi mereka, pemekaran akan menghambat tujuan politik untuk mengkonsolidasikan dukungan masyarakat Papua guna menolak Otsus dan menawarkan referendum sebagai langkah awal menuju Papua merdeka. Bahkan, kelompok ini berupaya untuk melakukan penyusupan dan mengintegrasikan isu separatisme sebagai persoalan yang menjadi perhatian kelompok adat dan agama. Lihat saja bagaimana kiprah dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB), Parlemen Nasional West Papua (PNWB), International Lawyers for West Papua (ILWP), dan lain-lain. Kelompok ini selain aktif propaganda dan konsolidasi juga membentuk struktur organisasi yang hierarkis menyerupai hierarki pemerintahan.
Internasionalisasi isu Papua juga dilakukan dengan menggalang simpati dan dukungan komunitas internasional. Mereka membentuk jaringan internasional dan menuntut dibukanya akses bagi kelompok asing tertentu yang menjadi simpatisannya untuk memasuki Papua dengan dalih misi kemanusiaan maupun monitoring. Isu pelanggaran HAM dan genosida dijadikan sebagai bahan propaganda politik di luar negeri dengan memanfaatkan dukungan dari segelintir kelompok tertentu di sejumlah negara yang memberikan respon terhadap gerakan separatisme Papua.
Perhatikan saja kiprah anggota parlemen Australia yang dimotori oleh Richard di Natale asal Partai Hijau dengan kaukus parlemen untuk mendukung Papua Merdeka. Begitu halnya dengan digelarnya forum TEDx Sidney (2013) sebagai ajang bagi Benny Wenda (aktivis OPM/Free West Papua Campaign/FWPC) dan Jennifer Robinson (pengacara Australia simpatisan OPM) untuk mendiskreditkan pemerintah Indonesia. Aksi itu disusul dengan konferensi sejumlah pengacara di Oxford, Inggris yang dimotori oleh Robinson dalam International Lawyers for West Papua (ILWP) yang mendorong agar persoalan Papua dibawa ke Mahkamah Internasional.
Para simpatisan kelompok separatis dan OPM juga menggunakan mekanisme teror dan kekerasan sebagai cara untuk melawan kedaulatan NKRI atas Papua yang telah kuat baik berdasarkan hukum nasional maupun internasional. Aksi penembakan, penculikan dan berbagai kekerasan lainnya dilakukan oleh kelompok sipil bersenjata yang diduga kuat dilakukan oleh TPN-OPM untuk menciptakan teror dan ketakutan masyarakat serta mendelegitimasi kemampuan pemerintah dalam menjamin keamanan warganya. Wilayah-wilayah Papua yang dianggap pro pemerintah menjadi target utama operasi TPN-OPM untuk mendirikan struktur organisasinya dan melakukan rekrutmen anggota, seperti wilayah Serui, Sorong, Merauke, Fakfak, Biak dan lainnya.
Revitalisasi Otsus dan Sikap Tegas
Negara tidak boleh diam dan kalah dalam melawan aksi teror dan propaganda Papua merdeka. Pelaksanaan Otsus meski menuai sejumlah kritik, perlu untuk direvitalisasi agar kontekstual dengan perkembangan dan aspirasi masyarakat Papua. Kritik terhadap implementasi Otsus tentu harus diletakan dalam kerangka memperbaiki kebijakan dan peningkatan percepatan dan pemerataan pembangunan di Papua dengan bertumpu pada maksimalisasi pelibatan sumberdaya lokal, baik sumberdaya alam maupun manusia Papua.
Evaluasi yang dilakukan oleh Majelis Rakyat Papua-Papua Barat pada tanggal 25-27 Juli 2013, semisal melihat bahwa empat aspek penting dalam pelaksanaan Otsus Papua yakni meliputi pendidikan, kesehatan, hukum dan regulasi serta pemanfaatan sumberdaya alam perlu untuk mendapat perhatian serius. Dalam evaluasinya, MRP melihat bahwa keempat aspek tersebut belum menunjukan perkembangan signifikan meski Otsus telah berjalan sejak tahun 2002 dan menghabiskan anggaran yang besar. Lanjutnya, selama ini alokasi dana Otsus belum efektif dan tepat sasaran sehingga optimalisasi capaiannya belum dirasakan oleh masyarakat. Begitupula dengan keterwakilan Orang Asli Papua (OAP) yang dianggap masih minim dan terpinggirkan dalam persaingan lokal. Karena itu, upaya untuk menyempurnakan pelaksanaan Otsus itulah yang seharusnya menjadi perhatian seluruh pemangku kepentingan di Papua sebagai jalan yang paling rasional dan memberikan manfaat bagi masyarakat Papua.
Penyempurnaan Otsus sebagai jalan keluar terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah pembangunan Papua tentu memerlukan sinergi seluruh stakeholder Papua, terutama para elit Papua dan masyarakatnya itu sendiri. Pada tingkat regulasi, UU No. 21 Tahun 2001 mengenai Otsus telah diusulkan penyempurnaan dan dibahas sejumlah aspek perubahan dengan mengakomodasi tuntutan masyarakat asli Papua dan mempertimbangkan berbagai kendala dan kelemahan dalam implementasi Otsus sebelumnya.
Usulan revisi UU Otsus Papua seharusnya dimanfaatkan sebagai momentum bagi masyarakat Papua untuk memasukan aspirasi politiknya agar muncul sebagai kebijakan sehingga menjadi jalan untuk meningkatkan kesejahteraan dan percepatan pembangunan Papua. Masyarakat asli Papua juga harus memiliki keberanian untuk mengkoreksi para elit asli Papua yang gagal memanfaatkan kebijakan Otsus Papua bagi kepentingan masyarakatnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak elit asli Papua yang justru mengambil keuntungan pribadi dari berbagai dukungan yang diberikan melalui Otsus Papua. Situasi inilah yang kemudian memunculkan suatu istilah dimana “Orang Papua, Tipu Papua”.
Berbagai upaya perbaikan itu tentu dapat berjalan jika tercipta suasana yang kondusif di Papua. Stabilitas sosial dan politik karena itu menjadi penting disertai dengan adanya jaminan keamanan yang mantap. Hal itu memerlukan perpaduan antara langkah-langkah persuasif dalam rangka revitalisasi kebijakan Otsus maupun tindakan tegas terhadap berbagai potensi gangguan yang mungkin ditimbulkan oleh kelompok-kelompok baik dalam negeri maupun asing yang mencoba memperkeruh suasana dan merongrong integritas wilayah Papua sebagai bagian final NKRI. Papua dalam berbagai dimensi merupakan wilayah sah NKRI yang tidak bisa diganggu gugat.
Merujuk pada prinsip uti possidetis juris yang diakui sebagai hukum internasional untuk menetapkan batas-batas negara yang baru merdeka berikut dekolonisasi, dengan memastikan bahwa perbatasan mengikuti batas-batas asli dari wilayah kolonial lamadari yang mereka muncul, maka Indonesia berhak mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda yang dijajah Belanda, termasuk di dalamnya adalah wilayah Papua Barat yang menjadi jajahan Belanda sejak 1828. Begitupula jika merujuk pada hasil The Act of Free Choice (self determination) atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang demokratis dan merepresentasikan seluruh kekuatan sosial dan politik di Papua pada tahun 1969 dimana mereka memutuskan secara bulat untuk tetap menjadi bagian NKRI. Hasil Pepera ini kemudian diperkuat dengan keluarnya resolusi PBB No.2504 yang mengakui kedaulatan NKRI atas wilayah Papua. Berdasarkan pertimbangan tersebut, tentu tidak ada satu alasan pun yang cukup kuat untuk menggugat klaim NKRI atas kedaulatannya di wilayah Papua.
Separatisme, apalagi gerakan bersenjata tidak dibenarkan dalam konteks hukum internasional manapun. Setiap negara memiliki hak untuk mempertahankan integritas dan kedaulatan nasionalnya atas seluruh wilayahnya dengan berbagai pendekatan yang dianggap tepat dan efektif. Kedaulatan itu tidak hanya dalam konteks domestik (internal sovereignity), dimana setiap warga negara mengakui dan tunduk pada hukum-hukum nasional yang berlaku, namun juga termasuk kedaulatan eksternal (external sovereignity) dimana tidak diperkenankan adanya kekuatan asing yang ikut campur dan melanggar urusan suatu negara (Jean Boddin, 1530-1596). Karenanya, negara tidak perlu ragu-ragu untuk menindak para pelaku separatisme yang mengancam kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI sehingga pembangunan Papua terus dapat dilanjutkan sebagaimana harapan masyarakat Papua. (Toni Sudibyo/KW)
*Toni Sudibyo adalah Penulis adalah alumnus Fisipol Universitas Jember dan alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen (KSI) Universitas Indonesia.
Mulai 16 Oktober-1 November ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "6 Alasan Aku Cinta Indonesia". Ada merchandise eksklusif bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.