Perkembangan Strategis Aceh Menjelang Pemilu 2014

Partai Aceh (PA) menargetkan akan memperoleh 80% suara pada Pemilu 2014.

oleh Liputan6 diperbarui 21 Jan 2014, 18:50 WIB
Diterbitkan 21 Jan 2014, 18:50 WIB
131216bpemilu2.jpg
Citizen6, Jakarta: Belum lama ini yaitu 7 Januari 2014 di Banda Aceh, salah seorang pengamat politik di Aceh bercerita kepada penulis, bahwa Partai Aceh (PA) menargetkan akan memperoleh 80% suara pada Pemilu 2014. Karena saat ini hanya 3 partai lokal saja yang mengikuti Pemilu 2014.

Muzakkir Manaf meminta seluruh pengurus dan kader PA di Aceh untuk bersatu dan saling bekerja sama meraih kemenangan tersebut. Sementara, PA wilayah Pasee akan meraih suara sebanyak 90% di wilayah Lhokseumawe dan Aceh Utara, baik untuk DPRK maupun DPRA, karena PA di wilayah Pasee sangat solid.

Terkait pembentukan Lembaga Wali Nanggroe, salah seorang aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di advokasi hukum di Aceh Selatan menyatakan, pembentukanLembaga Wali Nanggroe diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Namun pembentukannya tersebut terlalu dipaksakan dan pada saat yang tidak tepat, karena rakyat Aceh sedang dilanda krisis kesejahteraan.

Jika Provinsi Aceh Barat Selatan terbentuk maka Lembaga Wali Nanggroe tidak berlaku di Provinsi Aceh Barat Selatan dan rakyat mendapatkan kepastian memperoleh kesejahteraan. Sedangkan, salah seorang tokoh ormas pemuda di Aceh Selatan menilai, pembentukan lembaga Wali Nanggroe merupakan perbuatan makar, karena bertentangan dengan UU Dasar 1945.

Pendapat senada dikemukakan tokoh dari Gamna Aceh Selatan. Mereka menilai, dengan dikukuhkannya Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe tidak tepat, karena tidak melalui proses yang sesuai dengan nilai keislaman yaitu uji baca Al Quran dan tradisi Aceh.

Menurut penulis, agenda setiap parpol untuk bisa unggul dan meguasai kursi sebesar-besarnya di lembaga legislatif adalah sesuatu yang lazim dan wajar. Namun kekhususan bagi Partai Aceh (PA)adalah  kekhususannya sebagai parpol daerah yang jelas ingin menonjolkan ciri-ciri kedaerahannya.

Sampai di situ, partai yang bercorak kedaerahan ini masih bisa diterima, namun yang perlu dicegah karena Partai Aceh lahir di dalam lingkungan golongan separatis Aceh. Jangan sampai ciri-ciri separatis tetap hidup dan ingin dipelihara dengan membuat jarak hubungan sosial-politik yang jauh dengan NKRI.

Target Partai Aceh adalah menguasai DPRD Aceh (DPRA), dengan cita-cita Qanun apapun bisa dibuat. Keinginan PA ini tidak benar, karena setiap Qanun untuk diberlakukan harus ada pengesahan dari Kemendagri, karena Aceh masih milik Indonesia.

Perkembangan lainnya yang perlu dicermati di Aceh menjelang Pemilu 2014 ternyata aksi kekerasan dan intimidasi masih terus dilakukan, terbukti terjadi pengeroyokan kader salah satu parpol di Aceh oleh anggota parpol lokal lainnya, yang sebenarnya mereka pernah bersatu. Namun pecah karena pimpinannya masing-masing membentuk parpol.

Pengeroyokan terjadi di Desa Tanjung Awe, Kecamatan Samudra, Kabupaten Aceh Utara terhadap Sydn yang dilakukan oleh sejumlah anggota parpol lokal di wilayah Pasee. Pengeroyokan berawal ketika Sydn mendatangi rumah Ysr, anggota parpol wilayah Pasee tersebut meminta sejumlah bendera dan spanduk caleg milik caleg dari parpolnya yang diambil Ysr.

Namun karena Ysr tidak berada di tempat, Sydn kemudian meminta kepada istri Ysr bendera dan spanduk tersebut. Pada akhirnya, Ysr dan sejumlah temannya mendatangi rumah Sydn dan langsung melakukan pemukulan dan pengeroyokan, yang mengakibatkan Sydn mengalami luka di beberapa bagian tubuh. Pengeroyokan ini telah dilaporkan ke Polres Lhokseumawe.

Salah seorang juru bicara Partai Aceh (PA) di Lhokseumawe pada 7 Januari 2014 pernah mengatakan, PA akan mengibarkan bendera Bulan Bintang di instansi- instansi pemerintahan sekitar April-Mei 2014. Pihaknya mengklaim, permasalahan terkait bendera Bulan Bintang yang terjadi antara pihak Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Pusat telah selesai, karena permasalahan tersebut dianggap sudah disahkan Pemerintah Aceh dan telah disetujui oleh Presiden SBY. Menurutnya, permasalahan tersebut dapat terselesaikan karena adanya dukungan dari rakyat Aceh.

Menurut penulis, beberapa kelompok di Aceh memang telah menganggap bendera Bulan Bintang sebagai identitas politik. Sementara itu, Pemerintah RI menganggap bendera Bulan Bintang hanyalahsekedar identitas sebuah kebudayaan.

Perbedaan pendapat mudah terjadi nampaknya hanya karena faktor emosional, lambing bulan bintang, dan warna merah adalah unsur-unsur dasar bendera GAM di era pemberontakannya.

Inilah nampaknya yang terjadi dan berkembang di Aceh, dimana lembaga-lembaga pusat yang ada di Aceh  setiap hari harus mengibarkan bendera Merah Putih, sementara itu masyarakat Aceh berusaha terus mencari momen-momen khusus untuk mengibarkan bedera bulan bintangnya.

Nampaknya gambaran inilah yang akan terus terlihat, dengan harapan mudah-mudahan sesuatu konflik sosial yang berkembang menjadi konflik politik karena persoalan bendera ini tidak akan pernah terjadi.

Sejauh ini nampaknya tidak satu pun  pejabat di Jakarta yang dengan tegas bisa membuat diskripsi status bendera Bulan Bintang. Diskripsi yang bisa diberikan adalah untuk Merah Putih. Setiap hari kantor pemerintah harus mengibarkan bendera Merah Putih, demikian pula pada hari-hari besar nasional. Sedangkan bendera Bulan Bintang tidak ada ketentuan kapan dikibarkan.


Pemilu 2014 Harus Tetap Lancar

Apapun perkembangan strategis yang terjadi di Aceh dengan ditandai riak-riak kecil perbedaan pendapat, perbedaan cara pandangan, perbedaan strategi perjuangan bahkan aksi-aksi kriminal janganlah sampai mencederai bahkan menghambat pelaksanaan Pemilu 2014 di bumi Nanggroe Aceh Darussalam ini.

Khusus aksi-aksi kriminal tentunya harus segera diselesaikan oleh aparat yang berwenang, tanpa harus ada mobilisasi massa untuk mengganggu atau merusak independensi aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus kriminal tersebut. Berjalan hukum di suatu daerah diyakini akan dapat menjadi pemantik untuk membuat masyarakat tertarik mengikuti Pemilu 2014.

Bagaimanapun juga, apapun permasalahan yang terjadi di Aceh jika dapat didialogkan serta tidak dipandang sebagai sebuah paranoid oleh berbagai kalangan di Aceh tentunya akan dapat diselesaikan secara kekeluargaan dalam kerangka Aceh tetap NKRI. Karena ide-ide separatisme tidak akan pernah dan dipastikan tidak boleh berkembang di tanah air yang subur seperti Indonesia.

Kita sebagai anak bangsa telah sepakat dengan bentuk negara, ideologi negara dan bagaimana cara kita mengelolanya, sehingga Pemilu 2014 sebagai agenda untuk menuju ke arah kemakmuran bersama harus dapat berjalan dengan baik, dan semua ancaman yang menghadangnya harus dituntaskan. (mar)

Penulis
Toni Sudibyo (Penulis adalah alumnus Fisip Universitas Jember dan alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia)
Jakarta, antosudibyxxx@gmail.com

Baca juga:
Nota Diplomatik, Bukti Ketegasan Indonesia
Penangkapan Anas, Gugah Partisipasi Politik Masyarakat
Mari Perbaiki Jakarta Tanpa Saling Menyalahkan


Disclaimer:

Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.

Anda juga bisa mengirimkan link postingan terbaru blog Anda atau artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atauopini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com

Mulai 7 Januari sampai 7 Februari 2014 Citizen6 mengadakan program menulis bertopik dengan tema "Warga Mengadu". Ada hadiah dari Liputan6.com dan Dyslexis Cloth bagi 6 artikel terpilih. Caranya bisa disimak di sini.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya