Liputan6.com, Jakarta 0 Silvia (39) yang merupakan penyandang disabilitas, tidak gentar berjuang membangun usaha rajutan untuk memperoleh penghasilan agar bisa hidup mandiri dan tidak menyusahkan orang lain.
Silvia lahir di Payakumbuh, 18 Januari 1980 dan menjadi seorang disabilitas menggunakan kursi roda dalam aktivitas sehari-hari akibat kecelakaan yang menimpanya pada 2001.
Dilansir Antara, Selasa (15/10/2019), ia merupakan lulusan Diploma di salah satu perguruan tinggi swasta di Padang dan sempat bekerja di salah satu perusahaan swasta di Pulau Karam, Padang, Sumatera Barat.
Advertisement
Akan tetapi Allah menentukan jalan lain dalam hidupnya. Pada 2001, ia mengalami kecelakaan di Bukit Tinggi akibat pecah ban.
Kecelakaan itu terjadi saat Silvia pulang menjenguk neneknya yang tengah sakit di Payakumbuh. Ia pun harus menjalani operasi sebanyak empat kali dan dokter memvonisnya lumpuh total karena saraf pinggang sudah tidak berfungsi lagi akibat terhimpit pintu mobil.
"Saya syok dan sempat berpikir ingin bunuh diri saat dokter memvonis lumpuh total, namun amak (ibu) selalu menguatkan saya," kata Silvia.
Semenjak kecelakaan, ia hanya terbaring lemah tak berdaya di rumahnya. Bahkan, untuk makan saja harus dibantu ibunya.
"Saat itu saya mulai merasa tak berguna, karena sudah empat tahun lamanya saya hanya terbaring di rumah, saya hanya menyusahkan amak, sehingga niat untuk bunuh diri kumat lagi, namun amak terus menguatkan saya. Bahkan saat beliau tidak di rumah saya selalu dengarkan rekaman ceramah dan ayat-ayat Al Quran, semenjak itu saya mulai kuat lagi," cerita Silvia.
Dia mengatakan, biaya pengobatan kecelakaan sampai proses penyembuhan dibantu lembaga Unit Pengumpulan Zakat (UPZ) semen Padang karena ibunya tak memiliki biaya untuk operasinya yang mahal.
Silvia juga mendapat bantuan dari UPZ untuk memodifikasi motor Rp 5 juta, sedangkan biayanya Rp 6 juta. Akhirnya, Silvia yang menjadi penyandang disabilitas ini mendapat bantuan dari komunitas buka lapak Rp 1 juta.
"Saya berterima kasih pada UPZ karena hingga saat ini selalu memberikan bantuan, bahkan waktu itu ditawarkan bantuan untuk modal usaha dan kemarin juga mendapat bantuan untuk memodifikasi motor supaya bisa mengendarai motor sendiri," katanya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Mulai Percaya Diri dan Merajut
Silvia pun mulai percaya diri semenjak bergabung di Komunitas Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) dan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) di Padang.
Ia merasa tidak sendiri dan menemukan banyak teman yang berkebutuhan khusus atau disabilitas sama seperti dirinya.
"Dulu saya sering kontrol ke rumah sakit karena dekubitus atau ada luka tekanan akibat terlalu lama terbaring di tempat tidur, waktu itu saya melihat seorang perawat di salah satu rumah sakit umum daerah (RSUD) Padang di selang waktunya tengah belajar merajut, semenjak itulah saya mulai tertarik belajar karena sepertinya merajut lumayan mudah dipelajari," ucap Silvia.
Dia lalu menjadikan rajutan sebagai usaha sejak 2015 dan mencoba bergabung di usaha kecil menengah (UKM) Padang. Awalnya, Silvia mendaftar ke kantor kelurahan tempat tinggalnya untuk diajukan ke Dinas Pariwisata.
"Waktu itu sempat tidak percaya diri karena kelompok usaha yang diajukan punya produk unggulan masing-masing, bahkan ada beberapa UKM yang sudah menjalankan usahanya, sementara saya hanya bidang rajutan, itupun masih baru belajar," kata dia.
Silvia harus belajar mengikuti berbagai kelas rajutan, bahkan belajar secara daring dengan salah seorang perajut terkenal dari Bogor melalui grup di media sosial.
"Dulu saya pernah juga mendapat penolakan di beberapa tempat saat mendaftar pelatihan merajut, karena mereka mengira saya tak mampu mengikuti kelas itu atas keterbatasan yang saya miliki," ujar Silvia.
Hingga sekarang ia sudah menerima semua jenis produk rajutan sesuai permintaan dari konsumennya berupa tas, sepatu, jilbab, aksesoris dan beberapa jenis produk lain.
Beberapa produk rajutan miliknya sudah terjual ke luar kota dan luar negeri seperti ke Finlandia, Australia, dan Selandia Baru (New Zealand) melalui internet yang dipesan oleh beberapa kenalannya yang merantau ke luar negeri.
Penjualannya beragam seperti jilbab rajutan dijual Rp 250 ribu, tas rajutan mulai dari Rp 60 ribu hingga Rp 500 ribu, peci rajut Rp 45 ribu, dompet kecil Rp 45 ribu, sepatu Rp 250 ribu hingga Rp 1 juta karena menggunakan kombinasi kulit.
"Selain itu, saya juga bisa membuat baju rajut Rp 250 ribu hingga Rp 400 ribu yang waktu itu merupakan pesanan dari Selandia Baru," kata Silvia.
Advertisement
Perjuangan saat Merajut
Silvia mengaku perjuangannya saat merajut dilakukan dengan cara menelungkup di atas kasur karena tidak tahan duduk lama.
"Lagian konsumen tidak menanyakan proses pembuatannya, namun hasilnya," ucapnya.
Selain membuka usaha rajutan, ia sering mengisi pelatihan rajutan di beberapa daerah, salah satunya di Solok, Sumatera Barat.
Menurutnya keberhasilan yang diraih saat ini tidak terlepas dari bantuan orang yang luar biasa dalam hidupnya, salah satunya ialah sosok perempuan tangguh yang selalu setia mendampinginya tanpa mendambakan sebuah imbalan yaitu amak Suriati (62).
"Amak ialah sosok perempuan yang berjasa dalam hidup saya karena telah memotivasi saya terus bangkit dan berjuang," katadia
"Saya hanya berpesan pada teman-teman disabilitas, yakinlah kita tidak pernah sendiri di antara banyak orang yang membenci, namun masih banyak orang yang tetap peduli," tutup Silvia.
(Annisa Suryanie)