Liputan6.com, Jakarta Karantina wilayah akibat COVID-19 membuat kesehatan mental anak terombang-ambing. Para ahli menunjukkan perlunya mencari bantuan darurat untuk kesejahteraan mental anak-anak dengan atau tanpa disabilitas selama masa pandemi.
Anak usia 10, Piyush, bahkan sempat bermimpi bahwa ia ditangkap oleh COVID-19. Karena hal ini, anak lelaki itu mengalami serangan panik, kecemasan, dan bahkan depresi saat bangun, seperti dilaporkan Newz Hook.
Dalam kasus anak-anak penyandang disabilitas, orangtua mencari cara untuk membuat mereka sibuk. Para ahli menyerukan perlunya mengawasi kesehatan mental anak-anak selama masa-masa sulit seperti ini.
Advertisement
Simak Video Berikut Ini:
Menurut Psikolog
Banyak psikolog dan terapis anak menyoroti bagaimana ribuan anak dari seluruh India dipengaruhi oleh karantina wilayah karena mereka tidak dapat keluar rumah. Diskusi virtual dan kelas daring lainnya tidak selalu membantu semua orang.
Laporan terus menerus tentang COVID-19 dalam berita di TV dan media sosial menambah kepanikan. Banyak dari mereka berjuang dengan kebosanan dan isolasi. Survei yang dilakukan selama dua bulan terakhir juga menunjukkan hal yang sama.
Dr Radhika K, Psikolog Klinis dari Bengaluru, India mengatakan bahwa karantina wilayah bisa menyulitkan anak-anak.
“Terbatas pada empat tembok, memiliki peluang lebih kecil untuk bersosialisasi atau bermain dengan teman sebaya, ketidakpastian dan kurangnya informasi dapat memperburuk kesehatan mental anak."
"Anak-anak yang mengalami pelecehan emosional atau seksual dalam keluarga atau lingkungan juga bisa rentan menghadapi situasi seperti itu. Oleh karena itu, ada kebutuhan bagi orangtua atau pengasuh untuk memperhatikan hal ini dan mengatasinya dengan cara yang sesuai dengan usia anak," katanya.
Advertisement
Akibat Menjauh dari Rutinitas
K Bhavani, seorang penasihat yang bekerja dengan sebuah LSM untuk orang-orang yang kesepian, tertekan, dan putus asa di Kochi mengatakan, “Ketika anak-anak menjauh dari rutinitas sehari-hari, mereka terganggu dan sering merasa tersesat. Kesendirian memperburuknya."
"Mereka bahkan mungkin merasa tidak diinginkan. Mereka sangat peka, mereka ingin melihat teman sebaya, guru, dan lingkungan mereka yang kini sulit ditemui."