Liputan6.com, Jakarta Deteksi tuli dini penting dilakukan pada bayi selambat-lambatnya dua hari setelah dilahirkan. Pasalnya deteksi ini dapat menentukan penanganan tepat yang berpengaruh pula pada masa depannya.
Gejala awal ketulian juga bisa dilihat dari perkembangan bayi. Bila bayi tidak dapat menirukan suara maupun mengeluarkan ucapan setidaknya dua sampai 10 kata saat usia 12-30 bulan, maka kondisi tersebut patut diwaspadai.
Baca Juga
Menurut ketua Perhimpunan Ahli Telinga Hidung Tangan (THT) Bedah Kepala Leher (PERHATI-KL), dr. Soekirman Soekin, jika sudah terdeteksi mengalami gangguan lebih awal, penanganan pun bisa dilakukan sesegera mungkin.
Advertisement
“Bayi memerlukan alat bantu pendengaran apabila sudah didiagnosa mengalami tuli. Alat bernama Otoacoustic Emission (OAE), Automated Auditory Brain Response (AABR) atau Automated Steady Stage Response (ASSR) yang berbentuk seperti bando akan dipasang di atas telinga bayi,” katanya mengutip Klikdokter, Sabtu (16/1/2021).
Ia menambahkan, pemasangan alat tersebut berfungsi untuk mematangkan saraf otak saat menangkap suara. Dengan demikian, saat bertumbuh, bayi tidak mengalami tuna wicara.
Simak Video Berikut Ini:
Cara Turunkan Risiko Bayi Lahir Tuli
Soekirman juga menyampaikan, sebetulnya ada acara yang bisa dilakukan untuk menurunkan risiko anak terlahir dengan tuli. Salah satunya dengan melakukan imunisasi pra-nikah bagi wanita.
Salah satu faktor yang juga dikhawatirkan turut berperan dalam hal ini adalah faktor keturunan atau genetik. Namun dengan melakukan imunisasi pra-nikah, diharapkan hal ini bisa dicegah, katanya.
“Gangguan pendengaran merupakan disabilitas tersembunyi. Melakukan deteksi dini ketulian pada bayi Anda bisa menghindarkannya dari kemungkinan yang lebih buruk, seperti tuna wicara saat dewasa,” pungkasnya.
Advertisement