Pengalaman Seorang Ibu Rawat Anak dengan Kelainan Langka Angelman Syndrome

Mengurus anak dengan disabilitas atau kelainan langka memerlukan usaha dan kesabaran ekstra. Hal ini dirasakan Rani Himiawati Arriyani (47) yang memiliki anak dengan kelainan yang disebut Angelman Syndrome (AS).

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 22 Feb 2021, 13:00 WIB
Diterbitkan 22 Feb 2021, 13:00 WIB
Faustine Pitra Shabira
Faustine Pitra Shabira penyandnag Angelman Syndrome. Foto: Rani Himiawati Arriyani.

Liputan6.com, Jakarta Mengurus anak dengan disabilitas atau kelainan langka memerlukan usaha dan kesabaran ekstra. Hal ini dirasakan Rani Himiawati Arriyani (47) yang memiliki anak dengan kelainan yang disebut Angelman Syndrome (AS).

Menurutnya, Angelman Syndrome adalah kelainan genetik di kromosom 15, di mana pada kromosom 15 ibu ada delesi atau hilangnya sebagian kromosom. Kelainan ini terbilang sangat langka dan memicu terjadinya disabilitas pada anak.

“Di Indonesia belum ada komunitas AS, saya baru ketemu 8 anak dengan AS di Indonesia,” ujar Rani kepada kanal Disabilitas-Liputan6.com melalui pesan teks, Jumat (19/2/2021).

Ia menambahkan, ciri khas anak dengan AS adalah global delayed development (GDD) atau keterlambatan perkembangan umum, mata juling (strabismus), non verbal (tidak berbicara), kelainan warna kulit (hypopigmented), dan memiliki ekspresi bahagia seperti bayi.

Rani juga memberitahukan bahwa anak dengan AS sangat rentan terkena alergi. Bahkan anaknya, Faustine Pitra Shabira atau Utin, alergi dengan keringat sendiri, jika ia mengeluarkan keringat berlebih, maka seluruh kulitnya akan memerah.

“Utin juga alergi susu sapi dan olahannya, karena akan memperbanyak produksi lendir di saluran napasnya.”

Utin yang pada 1 Maret 2021 ini akan menginjak usia 12 masih tergantung 100 persen kepada bantuan orang lain. Maka dari itu, keluarga masih memberikan pengawasan ekstra kepadanya.

“Dia kan jalannya masih goyang, masih suka jatuh gitu. Dia juga ada masalah dengan pola tidur, kadang bisa nggak tidur seharian, kadang beberapa jam saja, kadang malah tidur seharian,” kata Rani.

Simak Video Berikut Ini


Memahami Kebutuhan Utin

Selain kemampuan berjalan dan pola tidur yang bermasalah, Utin juga non verbal atau tidak berbicara. Hal ini memicu keluarga untuk memahami betul keinginannya tanpa mengetahui ucapannya.

Guna meningkatkan keamanan, Rani dan keluarga sudah menyesuaikan keadaan rumah agar akses dan tidak membahayakan.

“Dia tahu yang mana botol minum dan piring makannya, tempat menaruhnya nggak boleh berubah. Kalau mau makan dia akan ambil piringnya, begitu juga kalau mau minum.”

Untuk urusan jamban, Utin juga masih membutuhkan bantuan 100 persen. Memenuhi kebutuhan jamban bagi Utin bukan hal yang mudah mengingat badannya yang bongsor membuat keluarga memerlukan usaha lebih untuk mengurusnya.

“AS ini susah untuk control motorik, makanya apa-apa harus dibantu orang lain. Sejauh ini kami belajar banyak cara mengatasi apa saja kendala dalam menangani Utin, lama-lama kami jadi tahu apa yang Utin mau dan tanda-tanda kalau Utin mau sakit.”

Rani juga mengaku bahwa kini ia dan keluarga sedang harap-harap cemas karena sebentar lagi Utin akan mengalami siklus datang bulan.

“Kami belum tahu apa dampak haid bagi orang AS, apa seperti orang-orang biasa gitu, atau gimana,” tutupnya.


Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas
Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya