Gegara Misinformasi, Anak Difabel Tak Dapatkan Hak Imunisasi dan Zero Dose Indonesia Tinggi

Alih-alih menjaga anak kebal penyakit, sebagian malah menganggap imunisasi bagi difabel sebagai pemicu timbulnya hal yang tak diinginkan.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori Diperbarui 26 Apr 2025, 11:38 WIB
Diterbitkan 26 Apr 2025, 11:05 WIB
Gegara Misinformasi, Anak Difabel Tak Dapatkan Hak Imunisasi dan Zero Dose Indonesia Tinggi
Ilustrasi Gegara Misinformasi, Anak Difabel Tak Dapatkan Hak Imunisasi dan Zero Dose Indonesia Tinggi. Foto: Liputan6.com/Ade Nasihudin.... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Anak-anak penyandang disabilitas yang tinggal di pedesaan kerap menghadapi tantangan berlapis dalam mengakses hak imunisasi.

Selain kendala fisik dan intelektual, mereka juga dihadapkan dengan misinformasi atau mitos yang masih menyebar di antara para ibu. Alih-alih menjaga anak kebal penyakit, sebagian malah menganggap imunisasi bagi difabel sebagai pemicu timbulnya hal yang tak diinginkan.

“Ada berbagai mitos yang berkembang seputar imunisasi bagi anak-anak disabilitas, di antaranya, anak disabilitas sudah lemah kondisinya, jika diimunisasi nanti malah kena virus atau kuman,” kata penggagas Posyandu Disabilitas pertama di Indonesia, Posdilan 7, Malang, Ken Kertaning Tyas kepada Disabilitas Liputan6.com, Jumat (25/4/2025).

Ada pula anggapan bahwa imunisasi bisa memperburuk kondisi disabilitas yang disandang, dengan alasan kerentanan daya tahan tubuh mereka. Imunisasi sebagai hak kesehatan anak difabel menjadi tak terwujud lantaran dianggap tidak penting, bukan prioritas, dan seolah tak diperlukan difabel.

“Dan hal ini berkembang hingga anak disabilitas menjadi remaja,” tambah pria yang aktif menyuarakan hak penyandang disabilitas di Desa Bedali, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang itu.

Misinformasi adalah beban tambahan yang dihadapi para difabel untuk mengakses imunisasi lengkap. Tanpa adanya mitos-mitos itu, sebetulnya akses anak difabel pada imunisasi sudah cukup menantang.

Keterbatasan fisik dan mental yang disandang menyulitkan anak-anak duduk dengan nyaman saat vaksinasi. Sementara, anak-anak dengan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) kerap tidak menyukai suasana tertentu, sehingga tidak dapat duduk tenang dengan mudah.

Di sisi lain, tenaga kesehatan juga memiliki kemampuan terbatas tentang teknik dan etika interaksi dengan anak-anak disabilitas. Misal, bagaimana cara menenangkan anak Tuli yang takut disuntik, atau bagaimana menghadapi anak yang mengalami gangguan komunikasi seperti autisme yang kesulitan memahami instruksi.

Belum lagi, beberapa anak disabilitas memiliki alergi terhadap zat tertentu sehingga memerlukan petunjuk dokter atau ahli. Ada pula ketakutan orangtua, khawatir jika anak akan mendapat efek simpang usai imunisasi.

“Hal ini juga bisa dipengaruhi oleh pengalaman alergi setelah mendapatkan imunisasi, sehingga memilih tidak mengimunisasi anaknya,” papar Ken.

 

1,3 Juta Anak Indonesia Belum Pernah Dapat Imunisasi

imunisasi Polio saat CFD
Sasaran PIN Polio adalah anak usia 0 hingga 7 tahun tanpa memandang status imunisasi sebelumnya. (Liputan6.com/Herman Zakharia)... Selengkapnya

 Senada dengan Ken, berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) per 2023, masih ada 14,5 juta anak di dunia yang belum mendapatkan imunisasi sama sekali alias zero dose.

“Sementara di negara kita, tahun 2019 sampai 2023, jumlah anak yang belum pernah mendapatkan imunisasi dosis pertama adalah 1,3 juta anak,” kata Direktur Imunisasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) dr. Prima Yosephine dalam Temu Jurnalis Pekan Imunisasi Dunia (PID) bersama UNDP di Jakarta, Jumat, 21 Maret 2025.

Angka ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke-6 di dunia sebagai negara dengan angka zero dose tertinggi.

“Jadi kita masuk 10 besar tapi 10 besarnya ini predikat yang enggak mengenakan.”

 

Biang Kerok Zero Dose Indonesia Tinggi

Puluhan Siswa Sekolah Dasar Jalani Imunisasi Difteri Tetanus
Petugas dari Pusat Kesehatan Masyarakat menyuntikkan vaksin Difteri Tetanus (DT) kepada murid kelas 5 Sekolah Dasar Islam Al Hidayah Cinere, Depok, Jawa Barat, Rabu (20/11/24). (merdeka.com/Arie Basuki)... Selengkapnya

Biang kerok tingginya zero dose di Indonesia terungkap dari beberapa survei. Termasuk Survei Kesehatan Indonesia (SKI) dan survei UNICEF 2023.

“Kalau kita lihat, ternyata ada berbagai alasan kenapa orangtua tidak membawa anaknya untuk imunisasi. Dan alasan-alasan terbesar ternyata keluarga enggak kasih izin untuk imunisasi,” jelas Prima.

Ada pula alasan kekhawatiran efek simpang imunisasi, lupa atau tak tahu jadwal imunisasi, dan imunisasi dianggap tak penting.

“Masih ada yang menganggap imunisasi enggak penting, maka dari itu kita harus terus sosialisasikan tentang pentingnya imunisasi. Sehingga masyarakat kita betul-betul paham tentang manfaat imunisasi.”

Jika mereka paham, sambung Prima, maka mereka akan mau membawa anak-anak ke fasilitas-fasilitas yang memberikan layanan imunisasi.

 

Mengapa Imunisasi Penting?

Prima Yosephine
Direktur Imunisasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) dr. Prima Yosephine dalam Temu Jurnalis Pekan Imunisasi Dunia (PID) bersama UNDP di Jakarta, Jumat, 21 Maret 2025. Foto: Tangkapan layar Youtube UNDP SMILE Project.... Selengkapnya

Bukan untuk memicu penyakit, sebaliknya, imunisasi adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kekebalan tubuh seseorang atau masyarakat melalui pemberian vaksin. Tujuannya, melindungi setiap orang dari penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti campak, cacar air, hingga polio.

“Imunisasi ini adalah salah satu upaya yang sudah terbukti sangat cost effective, bisa mencegah kesakitan dan mencegah sekitar 3,5 sampai 5 juta kematian yang diakibatkan penyakit yang dapat dicegah oleh imunisasi,” terang Prima.

“Sebagai upaya preventif yang efisien, imunisasi menjadi kunci dalam penguatan pelayanan kesehatan primer,” tambahnya.

Hal yang paling dikhawatirkan jika imunisasi tak berjalan adalah potensi terjadinya kejadian luar biasa alias KLB.

“Tentu yang paling kita khawatirkan dari banyaknya jumlah anak yang tidak imunisasi, kalau mereka berkumpul di suatu tempat, maka daerah itu akan menjadi daerah yang sangat berisiko untuk terjadinya KLB atau kejadian luar biasa dari beberapa penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.”

Sejauh ini sudah ada beberapa KLB yang terjadi seperti KLB campak, rubella, difteri, pertusis, bahkan polio.

“Oleh karena itu, memastikan anak mendapat imunisasi di usia idealnya menjadi sangat penting. Pemerintah juga punya PR (pekerjaan rumah) untuk bisa menekan angka zero dose hingga 25 persen tahun ini dan 50 persen di 2030,” terang Prima.

Infografis Yuk Kenali Perbedaan Vaksin, Vaksinasi dan Imunisasi Cegah Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Yuk Kenali Perbedaan Vaksin, Vaksinasi dan Imunisasi Cegah Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)... Selengkapnya

Kolaborasi dengan Bidan untuk Lancarkan Imunisasi Serentak

Salah satu upaya yang dilakukan Kemenkes guna merampungkan “PR” ini adalah menjalin kolaborasi dengan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) guna melancarkan program Pemberian Imunisasi Serentak.

Menurut Prima, bidan memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan angka imunisasi karena mereka bersentuhan langsung dengan masyarakat. Bidan seluruh Indonesia sering kali menjadi penyedia layanan kesehatan utama di komunitas, terutama di daerah terpencil dan pedesaan. Kedekatan mereka dengan masyarakat memungkinkan mereka untuk menjangkau seluruh lapisan masyakarat termasuk anak-anak yang menjadi sasaran dalam memberikan layanan imunisasi.

Pemberian Imunisasi Serentak adalah strategi yang digunakan oleh bidan dan penyedia layanan kesehatan untuk mengoptimalkan dampak kampanye imunisasi. Pendekatan ini untuk melengkapi status imunisasi anak-anak dan pemberian beberapa jenis antigen kepada anak pada saat yang sama. Strategi ini dapat mengurangi jumlah kunjungan sehingga orangtua dan anak tidak perlu datang berulang kali ke fasilitas kesehatan serta meningkatkan cakupan imunisasi, seperti dikutip laman P2P Kemkes.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya