Bappenas: Nilai Inklusivitas Indonesia Rendah, Peringkat 125 di Bawah Filiphina dan Vietnam

Indonesia menempati peringkat 125, atau di bawah negara tetangga seperti Filipina, Vietnam, Singapura, dan Thailand, dalam indeks tersebut, ujarnya.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 10 Mar 2022, 10:00 WIB
Diterbitkan 10 Mar 2022, 10:00 WIB
Ilustrasi disabilitas
Ilustrasi disabilitas Foto oleh Marcus Aurelius dari Pexels

Liputan6.com, Jakarta Indeks inklusivitas Indonesia masih rendah dalam hal kesetaraan kesempatan bagi penyandang disabilitas dan kesetaraan gender, kata seorang pejabat dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

“Indeks inklusivitas Indonesia jika dibandingkan dengan berbagai negara tidak hanya secara global tetapi juga di ASEAN, relatif rendah,” kata Staf Ahli Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Sosial Vivi Yulaswati dalam webinar ‘Menghancurkan Bias dan Mewujudkan Kesetaraan Gender’, dikutip Antaranews, Rabu (9/3/2022)

Indonesia menempati peringkat 125, atau di bawah negara tetangga seperti Filipina, Vietnam, Singapura, dan Thailand, dalam indeks tersebut, ujarnya.

Peringkat indeks inklusivitas dihitung berdasarkan pengukuran holistik pengembangan kebijakan inklusif yang berfokus pada kesetaraan ras atau etnis, agama, gender, dan disabilitas, ujarnya.

“Ini menjadi tantangan kita bersama untuk meningkatkan kinerja bangsa di tengah bangsa lain dan beberapa tantangan yang akan datang,” kata Yulaswati.

Peringkat yang rendah harus menjadi pengingat penting bagi bangsa untuk terus meningkatkan aksesibilitas bagi kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, untuk mewujudkan pertumbuhan yang inklusif, tambahnya.

 

Sedikit aturan daerah tentang penyandang disabilitas

Menurut Yulaswati, bangsa harus mengarusutamakan isu kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI) dalam semua kebijakan atau aktivitas masyarakat.

Hal ini dikarenakan masih terdapat beberapa permasalahan, misalnya banyak perempuan yang tidak memiliki lingkungan kerja yang aman, jelasnya.

Menurut data Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) Maret 2021, hanya 1,13 persen perempuan yang bekerja di lingkungan yang aman atau sehat, ujarnya.

Padahal, ada kesenjangan gaji antara perempuan dan laki-laki di lingkungan kerja, baik di desa maupun di kota, ujarnya.

Apalagi, hanya 113 atau 548 daerah di seluruh Indonesia yang memiliki peraturan daerah tentang penyandang disabilitas, ujarnya.

Dua puluh di antaranya adalah provinsi, 27 di antaranya kota, dan 66 di antaranya kabupaten, ujarnya.

Selain itu, menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021, masih terdapat kesenjangan yang signifikan antara tingkat pendidikan perempuan dan laki-laki, ujarnya.

Misalnya, jumlah perempuan yang tidak pernah sekolah 2,10 persen lebih tinggi daripada laki-laki, ujarnya. Sedangkan perempuan yang tidak pernah tamat SD lebih banyak 2,34 persen dibandingkan laki-laki, tambahnya.

Namun, jumlah perempuan yang lulus dari perguruan tinggi adalah 10,06 persen, atau lebih tinggi dari laki-laki (9,28 persen), kata Yulaswati.

Menyelesaikan GEDSI membutuhkan kerjasama mulai dari tingkat pendidikan yang lebih rendah untuk memahami pemenuhan hak-hak perempuan dan penyandang disabilitas, tegasnya.

Pandemi COVID-19 telah menyebabkan transformasi digital dan teknologi yang dapat menjadi kunci untuk tidak hanya mempercepat keberpihakan kebijakan, tetapi juga memenuhi hak-hak kelompok ini, tambahnya.

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas
Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya