20 Tahun Dampingi Buah Hati Down Syndrome, Ini Upaya yang Dilakukan Ibu Asal Bandung

Dikaruniai anak yang menyandang down syndrome (DS) bukan perkara mudah bagi ibu asal Bandung R.S. Shabariyah.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 20 Jan 2023, 18:00 WIB
Diterbitkan 20 Jan 2023, 18:00 WIB
down syndrome
Penyandang down syndrome dari Bandung, Rizqi Rabiutsani. Foto: Dok Pribadi.

Liputan6.com, Jakarta Mendampingi anak yang menyandang down syndrome (DS) bukan perkara mudah bagi ibu asal Bandung R.S. Shabariyah.

Wanita yang kini berusia 65 itu melahirkan buah hatinya, Rizqi Rabiutsani pada 30 Juni 2002. Tiga bulan pertama setelah melahirkan, ia berjuang dengan perdarahan sampai dikuret dua kali.

“Saya hanya mampu menyusui sampai usia 3 minggu. Dua tahun pertama adalah masa tersulit dalam mengurus Rizqi karena kesehatannya yang rapuh. Tiada bulan tanpa ke dokter karena Rizqi sering sesak napas atau gangguan pencernaan,” kata ibu yang karib disapa Shaba kepada Disabilitas Liputan6.com melalui pesan tertulis belum lama ini.

Sejak usia tiga minggu, Rizqi sudah ia bawa ke pusat tumbuh kembang anak Yayasan Surya Kanti untuk dilakukan assessment dan membuat program terapi atau pelatihan.

Setelah mengikuti program pelatihan, Rizqi baru bisa berjalan di usia 23 bulan dan bisa berbicara dengan cukup baik sekitar umur 10 tahun.

“Saat ini sudah tidak ada lagi terapi-terapi khusus secara medis tapi lebih sering diikutkan ke berbagai kegiatan dan pelatihan-pelatihan agar keterampilan terlatih dan wawasannya luas,” ujar Shaba.

Salah satu kegiatan yang diminati Rizqi ada di bidang olahraga. Pada 2018, ia mengikuti latihan atletik di Special Olympic Indonesia (SOIna). Sayangnya, kaki Rizqi sempat bengkak dan akhirnya kapok mengikuti latihan tersebut.

“Ternyata dia punya asam urat tinggi sehingga untuk olahraga yang ada lari ya dia enggak sanggup. Sekarang olahraga yang ditekuninya bowling.”

Kegiatan Seni

down syndrome
Rizqi menerima sertifikat pelatihan membuat kain jumputan. Foto: dok pribadi.

Selain olahraga, kegiatan lain yang diminati laki-laki usia 20 itu adalah seni. Termasuk menari, peragaan busana, berfoto, dan bernyanyi. 

“Menyanyi dia suka tapi ucapannya tidak sempurna. Hal lain yang disukainya adalah memasak. Makanya saya masukkan ke cooking class,” kata Shaba.  

Sedangkan, keterampilan baru yang dikenalkan kepada Rizqi di tahun ini adalah pembuatan kain jumputan dan mengolah manik-manik menjadi gelang, gantungan kunci, hingga pengikat masker.

Sebenarnya, lanjut Shaba, jika tidak ada penyakit bawaan seperti kelainan jantung, penglihatan, pencernaan dan lain-lain, maka mengasuh, mendidik, dan membina anak-anak down syndrome DS tidaklah sulit. Pasalnya, anak-anak down syndrome adalah anak-anak penurut dan pandai meniru.

Lebih Lambat

down syndrome
Penyandang down syndrome Rizqi Rabiutsani belajar melukis. Foto: dok pribadi.

Hanya saja, anak-anak down syndrome cenderung lebih lambat ketimbang anak non disabilitas. Hal ini karena IQ-nya pun di bawah rata-rata.

“Perlu kesabaran karena mereka lambat. Bayangkan saja, katakan IQ normal rata-rata 100 sementara IQ anak-anak DS di bawah itu, berkisar 60-an.”

“Dan kadang mereka dituntut untuk bisa mengikuti orang-orang yang IQ-nya 100. Ibarat kalau kaset 45 rpm dipasang di alat yang 100 rpm ya bakal terseok-seok. Itu yg perlu dipahami. Mereka kalau diberi kesempatan dan kesabaran, akan bisa melakukan banyak hal,” kata Shaba.

Sedangkan, tantangan yang Shaba hadapi cenderung datang dari lingkungan luar. Ada saja orang-orang yang memandang sebelah mata, yang punya stigma-stigma negatif terhadap anak-anak berkebutuhan khusus secara umum.

“Mereka terbelenggu dengan persepsi-persepsi salah tanpa mau mencari tahu dan men-judge tanpa membuktikan.”

Shaba juga sering melakukan uji coba untuk melihat reaksi lingkungan terhadap Rizqi.

“Saya sering uji coba dengan membawa Rizqi ke tempat-tempat umum seperti mall, hotel, taman dan lain-lain. Dan saya duduk menjauh untuk mengamati. Dibandingkan 15 tahun lalu, memang sekarang orang-orang lebih toleran dan ramah. Dulu sempat kena bully, dijauhi, dan lain-lain.”

Harapan untuk Rizqi

down syndrome
Penyandang down syndrome Rizqi Rabiutsani. Foto: dok pribadi.

Shaba pun berharap buah hatinya tumbuh menjadi anak yang saleh. Memasuki usia dewasa, Rizqi rajin salat lima waktu walau bacaan-bacaannya belum sempurna.

“Dialah yang selalu salat tepat waktu dan mengajak kakak-kakaknya.”

Shaba pun berharap agar Rizqi bisa mandiri dan bermanfaat untuk orang-orang di sekitarnya.

“Sebenarnya, Rizqi di dalam lingkungan keluarga sih sudah bisa diandalkan karena dia bisa menyetrika baju kakak-kakaknya untuk kerja, menyapu dan mengepel, menjaga rumah.”

“Yang masih PR bagi saya bagaimana dia bisa secara finansial bisa mandiri, artinya bisa bekerja untuk mendapatkan pendapatan sendiri tanpa bergantung pada orang lain.”

Hal ini melatarbelakangi Shaba untuk mengikutsertakan putra ketiganya dalam beberapa komunitas pemberdayaan agar mampu bekerja. Misalnya pelatihan menjadi pramuniaga, barista, penerima tamu, dan lain-lain.

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas
Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya