Masih Banyak Ruang Kosong dalam Perda Disabilitas Jatim Nomor 3/2013 Jadi Latar Belakang Penyusunan Raperda Baru

LBH disabilitas Jawa Timur gelar diseminasi soal Perda Disabilitas Jawa Timur Nomor 3 tahun 2013 sudah tidak relevan dan harus diganti.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 10 Nov 2023, 12:36 WIB
Diterbitkan 10 Nov 2023, 12:36 WIB
Masih Banyak Ruang Kosong dalam Perda Disabilitas Jatim Nomor 3 tahun 2013 Jadi Latar Belakang Penyusunan Raperda Baru
Masih Banyak Ruang Kosong dalam Perda Disabilitas Jatim Nomor 3 tahun 2013 Jadi Latar Belakang Penyusunan Raperda Baru. Foto: Linksos.

Liputan6.com, Jakarta Upaya pemenuhan hak penyandang disabilitas terus digalakkan di Jawa Timur. Hal ini terlihat dari digelarnya kegiatan diseminasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Jatim oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Disabilitas.

Diseminasi ini dilakukan dengan bahasan utama soal Perda Disabilitas Jawa Timur Nomor 3 tahun 2013 yang sudah tidak relevan dan harus diganti.

“Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah memiliki kebijakan mengenai disabilitas melalui Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pelayanan bagi Penyandang Disabilitas,” kata Plt. Ketua LBH Disabilitas Ajeng Linda Liswandari dalam kegiatan yang digelar pada Selasa, 7 November 2023.

“Namun Perda tersebut masih didasarkan pada UU Nomor 4 tahun 1997 yang sudah dicabut melalui UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,” tambahnya.

Akibatnya, kata Ajeng, Perda 3/2013 masih menyisakan beberapa paradigma yang tidak lagi relevan dengan perkembangan kebijakan disabilitas yang berlaku hari ini.

Misalnya, masih digunakannya istilah “Penyandang Cacat” dalam penjelasan beberapa pasalnya. Serta belum adanya penegasan bahwa penyandang disabilitas diakui sebagai subjek hukum yang dapat melakukan tindakan hukum sebagai seorang warga negara.

Perda Disabilitas Jatim Nomor 3 tahun 2013 apabila ditinjau dari sisi pengaturan pelaksanaan kewajiban pemerintah daerah, masih banyak ruang kosong yang belum diatur dalam substansi hukum Perda tersebut,” ujar Anggota Tim Perumus Raperda, Tri Eva Oktaviani dalam kesempatan yang sama.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Ruang Kosong dalam Perda Disabilitas Jatim Nomor 3/2013

Perempuan yang karib disapa Eva menambahkan, ruang kosong yang dimaksud yakni belum semua aspek hak penyandang disabilitas yang dimandatkan oleh UU 8/2016 terakomodasi.

Misalnya mandat pembentukan unit layanan disabilitas pada beberapa sektor hingga penyediaan bantuan hukum dan sosialisasi hukum.

Maka terkait hal ini, kata Eva, LBH Disabilitas didukung konsorsium Justice for Disability telah menyelesaikan penyusunan draf Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur tentang Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.

“Draf yang disusun merupakan draf versi LBHD, bukan merupakan draf versi Pemerintah Daerah Provinsi Jatim maupun DPRD Jatim,“ ucap Eva.

Draf ini merupakan bagian dari partisipasi kelompok masyarakat sipil yang terus mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan inklusif di Jawa Timur.


Latar Belakang Penyusunan Raperda Disabilitas Jatim oleh LBHD

Lebih lanjut, Eva mengungkap bahwa inisiatif penyusunan dari LBHD bukan tanpa alasan. Ini berangkat dari belum adanya upaya resmi dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan DPRD Jawa Timur untuk memulai melaksanakan dan menyusun pembaruan Perda tentang Penyandang Disabilitas.

“Harapannya draf Raperda tentang Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas versi LBHD ini dapat menjadi modal memantik diskursus publik untuk mendorong penyusunan kebijakan publik yang menjamin dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas di Jawa Timur,” kata Eva Eva.


Pergeseran Paradigma Disabilitas

Dalam kesempatan itu, Divisi Penyadaran dan Pengembangan Jaringan LBH Disabilitas, Ken Kertaning Tyas menambahkan tentang pergeseran paradigma.

”Seiring waktu, paradigma terhadap penyandang disabilitas terus berkembang maju sehingga terjadi pergeseran dari paradigma pelayanan dan rehabilitasi (charity based) yang berangkat dari perlakukan belas kasihan, menjadi pendekatan berbasis hak (right based),” ujar Ken.

Perubahan tersebut mencakup pergeseran dari cara pandang terhadap penyandang disabilitas. Tidak lagi berbasis pada kesejahteraan ekonomi serta pemenuhan kebutuhan medis/ kesehatan semata, melainkan berdasarkan hak asasi manusia serta menempatkan penyandang disabilitas sebagai subjek yang dapat berpartisipasi penuh.

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas
Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya