Liputan6.com, Jakarta - Namanya, Ching Shih. Ia lahir sekitar tahun 1775, tanggal kelahirannya tak dianggap penting. Tak ada yang mengira perempuan itu bakal jadi orang besar.
Tak jelas bagaimana masa lalunya, sejarah hanya mencatat, pada usia 26 tahun, Ching Shih menjadi pekerja seks komersial (PSK) di sebuah rumah bordil terapung di Kanton.
Di sana lah ia beradu pandang dengan Zheng Yi, bajak laut yang relatif sukses, menguasai armada kapal kecil yang dikenal sebagai 'Red Flag Fleet' -- armada bendera merah.
Kisah penyatuan keduanya masih simpang siur. Sejumlah sejarawan menyebut, Zheng Yi menyerang rumah bordil dan menjadikan Ching Shih sebagai 'barang jarahan'. Lainnya berpendapat, pria itu jatuh hati dan melamar pujaan hatinya itu.
Konon, Ching Shih bersedia dengan syarat, ia akan mendapatkan bagian jarahan ikut mengelola kelompok bajak laut tersebut.
Baca Juga
Baca Juga
Entah apa yang terjadi sesungguhnya, yang jelas setelah menikah, Ching Shih ikut memimpin armada perompak bersama suaminya.
Dalam 6 tahun kemudian armada mereka membesar, dari 200 kapal menjadi 600 bahtera. Mereka juga menjalin koalisi dengan bajak laut Wu Shi’er.
Pada 1807 jumlah kapal mereka membengkak, hingga mencapai 1.700 buah. Namun, malang bagi Zheng Yi, pada 16 November 1807, kapalnya terjebak topan dahsyat. Ia tamat di tengah lautan ganas di Vietnam.
Setelah suaminya meninggal, Ching Shih mengambil alih tongkat komando. Ia mengangkat Chang Pao, pemuda 21 tahun yang cerdas, pemberani, dan jago bela diri. Sekaligus menjadikan anak angkatnya itu sebagai kekasih.
Sementara Chang Pao memimpin armada, Ching Shih fokus dalam bisnis, merancang strategi militer, dan membesarkan kelompoknya. Pada puncaknya, 'Red Flag Fleet' terdiri atas 1.800 kapal, besar dan kecil, 70 ribu hingga 80 ribu bajak laut -- dengan sekitar 17 ribu bajak laut pria langsung di bawah kendali perempuan itu.
Advertisement
Sisanya adalah kelompok bajak laut lain yang bekerja di bawahnya, para perompak perempuan dan anak-anak, mata-mata, dan para petani yang bersedia membantu, dengan cara menyediakan makanan, misalnya.
Kekuasaan Ching Shih meliputi wilayah Provinsi Guangdong, memiliki jaringan mata-mata di seluruh wilayah kekuasaan Dinasti Qin. Kemudian, ia mendominasi Laut China Selatan.
Tak hanya menjarah dan memeras, ia mendirikan aturan main dan pajak.
Untuk menjamin para berandalan tetap dalam kendalinya, Ching Shih membentuk sistem yang ketat, yang diberlakukan di tengah armada Red Flag Fleet. Ini salah satunya:
"Jika kau tak mengikuti aturan, atau jika aku berpikir bahwa kau membangkang, niscaya kepalamu akan dipenggal, badanmu akan dilempar ke lautan. Tanpa terkecuali," demikian aturan yang diterapkan, seperti dikutip dari situs Today I Found Out.
Ia tak kenal ampun. Fokusnya adalah mendapatkan keuntungan. Siapa melawan perintahnya, harus mati.
Tak hanya merajalela di lautan, Ching Shih mengarahkan perahu-perahu ke sepanjang sungai, merampok kota-kota di pinggiran.
'Mengalahkan' Kaisar
Kelakuannya membuat Kaisar Jiaqing murka dan mengirimkan tentara. Alih-alih lari, pasukan Ching Shih memilih menghadapi para serdadu kerajaan. Dan menang.
Para perompak bahkan merampas 63 kapal besar dan memberikan pilihan pada para tentara kerajaan: mati atau bergabung. Sampai-sampai, panglima armada kekaisaran yang dikirim untuk menumpas bajak laut, Kwo Lang memilih bunuh diri daripada ditangkap oleh Ching Shih.
Namun, serangan tak lantas berhenti. Pemerintahan Dinasti Qing meminta bantuan angkatan laut Inggris, Portugis, juga Belanda. Pasukan gabungan tersebut menyerang bertubi-tubi selama 2 tahun. Tak begitu sukses. Bahkan, takluk.
Ching Shih lebih banyak keluar sebagai pemenang. Kaisar pun memilih cara lain untuk menghentikan pertumpahan darah. Dengan memberi amnesti alias pengampunan.
Dengan perkecualian 376 bajak laut -- 126 dieksekusi mati dan 250 lainnya dihukum, para perompak boleh memiliki kapal dan harta jarahan. Bahkan dapat kesempatan jadi tentara.
Panglima bajak laut Chang Pao -- yang belakangan jadi suami Ching Shih -- bahkan menjadi komandan 20 kapal angkatan laut Dinasti Qing.
Ching Shih juga menegosiasikan haknya atas kekayaan dan bahkan mendapat gelar 'Lady by Imperial Decree' -- yang memungkinkannya mendapatkan perlindungan setara kaum bangsawan.
Pada usia 35 tahun, ia pensiun, membuka rumah judi dan bordil di Guangzhou, Kanton yang ia jalankan hingga meninggal dunia pada usia 69 tahun.
Tak diragukan lagi, Ching Shih adalah salah satu bajak laut paling sukses sepanjang sejarah. Tak seperti perompak terkenal lain, ia berhasil lolos dari eksekusi bahkan menjadi 'warga kehormatan'.
"Ratu bajak laut itu itu memiliki 1 anak, membuka rumah bordil besar, dan hidup nyaman hingga meninggal pada usia 69 tahun. Sebagai bangsawan," demikian ditulis situs Huffington Post.
"Namanya terlupakan dalam sejarah. Namun, warisannya masih ada hingga saat ini. Dalam bentuk bajak laut yang masih bergentayangan di Laut China Selatan.
Di sisi lain, ia membuktikan bajak laut perempuan bukan sekedar mitos.
Advertisement