Liputan6.com, Paris - Esther Pauline Lachmann menggugat nasib yang 'digariskan' bahkan sebelum tangis pertamanya pecah pada 1918. Ia berdarah Yahudi dari garis ayah dan ibu. Hanya karena itu, tak ada rumah sakit di Rusia yang sudi menangani kelahirannya.
Juga karena ia Yahudi, masa mudanya tak gemilang. Tinggal di ghetto yang kumuh, terbelit kemiskinan, tak makan bangku sekolahan, nyaris buta huruf.
Seperti dikutip sebagian dari BBC, Kamis, 31 Desember 2015, pada usia 17 tahun ia menikah dengan seorang penjahit yang selalu meriang akibat TBC dan melahirkan anak laki-laki. Perempuan muda itu merasa masa depannya suram. Gelap, tanpa harap.
Ia pun nekad. Minggat. Dari Rusia, ia menuju Berlin, Wina, Istanbul, dan akhirnya ke Paris, meninggalkan suami tanpa talak cerai, menelantarkan putranya yang belum lagi disapih. Sendirian, tanpa bekal, tak berpengetahuan, hingga akhirnya terjebak lingkaran prostitusi.
Esther melacurkan diri di maison de passé, losmen murah dan mesum tempat para pekerja seks komersial (PSK) berkerumun, menanti pria-pria hidung belang yang datang dan pergi silih berganti. Di Prancis ia memakai nama Therese.
Suatu hari Esther alias Therese mengalami 'pencerahan'. Dadanya bergelora, hawa panas merayapi tubuhnya. Untuk kali pertamanya ia merasa hidup.
Ekstase itu timbul ketika ia berkenalan teori tentang kekuatan kehendak (will power), yakni bahwa nasib seseorang bisa diubah lewat upaya keras dan tekad baja. Â
Advertisement
Baca Juga
Kemudian selama 3 tahun ia menutup diri. Menyingkir sejenak dari dunia, jarang makan, menghemat uang yang dipunya demi merencanakan langkah ke depan dan membulatkan tekad untuk sukses. Tak peduli apa pun caranya.
"Perempuan itu adalah masa laluku," itu kesimpulan yang akhirnya diambil. Hidupnya sebagai Esther Pauline Lachmann sudah tutup buku. Ambisinya membuncah.
Therese memutuskan tetap menjual dirinya. Namun ia 'naik kelas': ke tempat yang lebih eksklusif, lebih bergengsi, dan melayani pria-pria yang lebih elite daripada di kawasan lampu merah.
Untuk itu, langkah besar harus dilakukan.
Ambisi dan Tekad Kuat
Maka pada 1841, saat berusia 22 tahun, ia pergi ke Kota Ems, Prusia, membawa koper penuh gaun malam pinjaman dan perhiasan imitasi. Misinya satu: mencari suami kaya.
Di sana ia memikat Henri Herz, pemusik berada yang memberinya uang dan perhiasan asli, juga membuka pergaulannya di kalangan seniman besar pada eranya.
Esther lalu kembali ke Paris, membuka tempat minum-minum yang sukses. Namun peruntungannya redup saat Herz pulang kampung ke Amerika Serikat, membawa serta putri buah cinta mereka. Hartanya lalu digugat. Ia terbukti bukan istri sah, dan kalah. London kemudian jadi tujuannya.
Bahkan pada hari-hari pertamanya di ibu kota Inggris Raya itu, Esther berhasil memikat aristokrat kaya, lalu, seorang bangsawan (marquis) asal Portugis, Albino Francesco Araújo de Païva.
Dari suaminya itu, Esther alias Therese mendapatkan nama tenarnya: La Paiva.
Sementara itu, pada 1848 revolusi kembali pecah di Prancis. Revolusi melahirkan ‘Republik Kedua’, menumbangkan raja terakhir Louis Philippe, dan membawa Louis Napoleon Bonaparte, keponakan Napoleon Bonaparte, ke tampuk kekuasaan.
Ia menjadi presiden pertama yang dipilih atas kehendak khalayak sebelum mengkudeta republik dan mengangkat dirinya sebagai Kaisar Napoleon III.
Kondisi sosial pun berubah. Industri kian marak, kelas anyar muncul: para kapitalis dan pengusaha. Nouveaux riches, orang-orang kaya baru.
Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan dari sang marquis: duit, juga status, dan nama besar sebagai Marquise de la Paiva, wanita itu pun menuntut pegat. "Pulang ke Portugal, aku tetap tinggal di sini dan tetap menjadi pelacur," tulis dia.
Albino Francesco Araújo de Païva yang patah hati kemudian balik ke Lisbon dan konon tewas bunuh diri.
Saat kembali ke dunianya yang cabul, Esther alias Therese alias La Paiva bukan penjaja cinta biasa. Status bawaan sebagai ningrat Eropa dan pesona mistisnya menjadi modalnya menggaet pelanggan-pelanggan kaya: para aristokrat, baron, penulis terkenal, seniman, dan orang-orang berpengaruh.
Uang datang dengan gampang. La Paiva pun punya hobi baru, mengoleksi perhiasan berukuran besar lagi mahal. Permata, berlian, ia anggap sebagai 'anak-anaknya'. Padahal darah dagingnya sendiri tak ia pedulikan.
La Paiva kemudian menjadi legenda. Harga layanan seksualnya dipatok setinggi langit.
Pesonanya memikat Count Henckel von Donnersmarck, bangsawan Prusia yang usianya jauh lebih muda, beda 12 tahun, yang merupakan salah satu pria terkaya di Eropa.
Donnersmarck yang cinta mati pada La Paiva menghujaninya dengan harta benda. Ia juga membiayai pembangunan hotel untuk perempuan itu di lokasi paling glamour di Paris, bahkan Eropa: 25, avenue des Champs-Élysées.
Istana dari abad ke-16 itu diubah menjadi Hôtel de la Païva, mansion yang didedikasikan untuk memuaskan nafsu duniawi. Pesta foya-foya paling tak bermoral digelar di sana.
Bangunan itu sungguh megah, tangganya dilapisi emas, marmer dan onyx diimpor dari Aljazair, juga bak mandi mewah yang diisi susu atau sampanye untuk berendam. Kaisar pun kagum dibuatnya.
La Paiva mengawasi ketat tamu-tamunya. Tak jarang ia melarang perempuan lain masuk, sehingga ia bisa menguasai tamu-tamu untuk dirinya sendiri.
Advertisement
PSK Bergelar Ningrat
Wajah La Paiva masih jadi misteri. Tak ada foto jelas yang mengungkap rupa aslinya.
Konon saat muda ia adalah gadis berdada besar dan montok. Kulitnya pucat dan belakangan lebih putih karena disapu bedak.
Rambutnya yang kehitaman tak jarang ia bubuhi pupur supaya terlihat terang dan pirang.
Namun wajahnya-lah yang jadi objek perdebatan sengit. Sejumlah penulis menjulukinya sebagai 'belle-laide' dalam bahasa Prancis atau 'ugly-beautiful'. Tak cantik tetapi memikat.
Matanya digambarkan terlalu besar, sementara hidungnya disebut-sebut mirip buah pir. Namun ada juga yang menganggap penggambaran itu dipengaruhi prasangka rasial karena La Paiva berdarah Yahudi.
Apa pun, pesona dan ambisinya mampu memikat para pria, terutama dari kalangan atas.
Hingga pada 1871, peruntungannya kian surut. Perang Prancis-Rusia pecah. La Paiva dituduh jadi mata-mata Jerman. Di gedung opera, orang-orang yang dulu berkerumun di dekatnya beringsut menjauh.
Prancis kalah kala itu. Moral yang bobrok di era Kekaisaran Kedua jadi kambing hitam. Pun para PSK yang dituduh telah melemahkan negara, termasuk La Paiva.
Disudutkan, ia dan suaminya pindah ke Silesia, yang kini menjadi Polandia.
Pada 1884, La Paiva tutup usia. Suaminya yang patah hati tak mau menguburkan jasadnya.
Jenazah La Paiva dibalsem dengan cairan alkohol. Selama berbulan-bulan, duda yang merana itu menangisi pasangannya yang telah tiada.
Sang count akhirnya menikah lagi dengan perempuan lain, tapi diam-diam menyimpan jasad La Paiva di ruang rahasia.
Pada 1901, Kaisar Wilhelm menganugerahi Henckel von Donnersmarck dengan gelar Fürst--ranking tertinggi dalam kebangsawanan Jerman. La Paiva, meski sudah jadi mendiang, berhak dipanggil 'putri'.
Peninggalannya pun masih bisa ditemui saat ini. Lewat mansion mewahnya di Champs Elysee. Terletak di depan bioskop Gaumont dan toko souvenir resmi klub sepak bola Paris St Germain.
Sejak 1904, bangunan itu menjadi klub elite Travellers Club yang baru membuka pintu bagi perempuan beberapa dekade belakangan.
Seperti dikutip dari Telegraph, pada 2010 gedung tersebut direstorasi ke bentuknya semula: Hotel La Paiva.**