Dubes Armenia Ingin Konflik Berdarah Vs Azerbaijan Berakhir Damai

Konflik 2 negara bertetangga Armenia-Azerbaijan dalam beberapa hari ini, sudah masuk ke ranah perseteruan militer.

oleh Andreas Gerry Tuwo diperbarui 07 Apr 2016, 16:44 WIB
Diterbitkan 07 Apr 2016, 16:44 WIB
Konflik Bersenjata Azerbaijan dan Armenia Kian Memanas
Konflik Bersenjata Azerbaijan dan Armenia Kian Memanas (Reuters)

Liputan6.com, Jakarta - Dua negara pecahan Uni Soviet Armenia dan Azerbaijan tengah berseteru hebat. Perseteruan ini berlangsung di wilayah sengketa Nagorno-Karabakh.

Konflik 2 negara bertetangga tersebut dalam beberapa hari ini, sudah masuk ke ranah perseteruan militer.

Menanggapi hal tersebut Duta Besar Armenia untuk Indonesia, Anna Aghadjanian angkat bicara. Menurutnya, kondisi di wilayah sengketa itu mulai membaik.

"Ada gencatan senjata. Kami berharap situasi menjadi lebih baik," sebut Anna di kantor Kemlu, Kamis (7/4/2016).

"Semoga keadaan membaik terutama bagi warga Nagorno-Karabakh," sambung dia.

Anna menekankan masalah di Nagorno-Karabakh tak bisa diselesaikan lewat tindakan kekerasan dan jalur militer. Ia juga menegaskan negaranya bersikeras menjadikan pendekatan diplomatik dan damai sebagai solusi jitu persoalan tersebut.

Oleh sebab itu, Armenia berharap perundingan damai yang tengah dimediasi 3 pihak yakni, Amerika Serikat, Rusia dan Prancis bisa memberi hasil nyata.

"Ada mediasi internasional. AS, Prancis dan Rusia tengah mencari coba cari solusi final berdasar tiga prinsip utama hukum internasional yaitu tidak ada penggunaan militer atau serangan udara, respect for self determination, and respect for territory integrity. " jelasnya.

"Seluruh prinsip ini harus jadi basis solusi konflik. Kami berharap negosiasi berlanjut. Armenia selalu ingin diplomasi dan solusi damai," tegas Anna.

Konflik di wilayah tersebut bermula usai revolusi Bolshevik di Rusia pada akhir Perang Dunia I. Saat itu Moskow membangun wilayah Nagorno-Karabakh sebagai daerah otonomi dengan mayoritas penduduknya berasal dari etnis Armenia, namun masuk dalam wilayah Republik Sosialis Soviet Azerbaijan.

Ketika rezim Soviet mulai runtuh pada 1980-an, kebanyakan warga Armenia yang beragama Kristen berjuang untuk melepaskan diri dari etnis Turkic Azeris yang mayoritas Islam. Lebih dari 30 ribu orang tewas sebelum gencatan senjata pada 1994 di wilayah ini.

Akibat konflik Armenia-Azerbaijan tersebut, Rusia dan negara-negara Barat telah meminta gencatan senjata. Sebagai pemimpin negosiasi, Presiden Vladimir Putin meminta kedua belah pihak menahan diri.

Walau sudah ada seruan menahan diri, total 36 tentara tewas dalam perseteruan dimulai pada akhir pekan lalu. Tak cuma itu, 2 negara ini terus saling menuduh siapa yang melontarkan senjata berat terlebih dahulu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya