Liputan6.com, Laoya - Sebuah desa di China, Laoya, yang berlokasi di daerah terpencil di Provinsi Anhhui China timur, dikenal sebagai desa para bujangan.
Menurut sebuah survei pada 2014, sebanyak 112 penduduk pria yang berusia 30 hingga 55 tahun masih menyandang status sebagai bujangan. Angka tersebut terbilang tinggi mengingat penduduk Laoya hanya 1.600 orang.
Seorang pria yang merupakan penduduk Laoya, Xiong Jigen, dijuluki "bare branch" karena pada usianya yang telah menginjak 43 tahun belum juga menikah. Julukan yang sama juga diberikan kepada orang-orang di desanya yang belum kunjung menemukan istri.
Advertisement
"Tempat ini terisolasi dan transportasinya sangat sulit," ujar Xiong seperti dikutip dari BBC, Senin (29/8/2016).
Walaupun sebenarnya jarak dari desa ke jalan utama di sebuah kota kecil tak terlalu jauh, namun Laoya terasa benar-benar terpencil. Salah satu cara menuju tempat tersebut dengan menggunakan jalur darat yang melalui medan tanah nan curam.
Xiong mengaku mengetahui bahwa lebih dari 100 pria di desanya masih menjadi bujangan.
"Aku tak dapat menemukan istri, mereka pindah ke tempat lain untuk bekerja, lalu bagaimana aku dapat menemukan seseorang untuk kunikahi?"
Xiong pun menganggap bahwa transportasi merupakan salah satu penyebab di mana para pria di desanya tak dapat menemukan istri.
"Transportasi sangat sulit di sini, kami tak dapat menyeberangi sungai ketika hujan. Perempuan tak ingin menetap di sini," ujarnya.
Beberapa waktu lalu seorang wanita sempat datang untuk melihat rumah baru Xiong, namun hal tersebut tak cukup membujuknya untuk tinggal menjadi istrinya.
Sebab Munculnya Desa Bujangan
China, Negara dengan Surplus Laki-Laki
China merupakan negara yang memiliki penduduk laki-laki lebih banyak dari perempuan, di mana setiap 115 kelahiran bayi laki-laki hanya diikuti 100 kelahiran bayi perempuan.
Kebijakan satu anak yang dijalankan di Negeri Tirai Bambu itu diyakini menjadi penyebabnya. Secara historis masyarakat China dikenal lebih menyukai anak laki-laki daripada perempuan.
Hal tersebut membuat masyarakatnya lebih memilih memiliki satu anak laki-laki dan melakukan aborsi jika tak sesuai harapan. Akibatnya sejak tahun 1980 hingga sekarang, China memiliki kelimpahan penduduk laki-laki.
Tak mengherankan jika saat ini laki-laki di negara tersebut bersaing sangat ketat untuk mendapatkan perempuan.
Menetap di Desa dan Merawat Orangtua
Walaupun laki-laki di Laoya juga bermigrasi untuk bekerja, namun mereka akan kembali ke desanya untuk merawat orangtua.
"Ia tak akan menemukan makanan jika aku tinggal. Ia tak bisa pergi ke pantai jompo," tutur Xiong saat bercerita tentang pamannya.
Kewajiban generasi muda untuk merawat orangtua merupakan bagian penting dari kehidupan keluarga di China. Bahkan, baru-baru ini pemerintah Shanghai mengeluarkan aturan yang menyebut bahwa anak-anak akan mendapat hukuman jika tak mengunjungi orangtua mereka.
Walaupun banyak wanita di Laoya yang memutuskan untuk meninggalkan desanya, beberapa di antara mereka lebih memilih untuk tinggal, salah satunya adalah tetangga Xiong, Wang Caifeng.
Di umurnya yang ke-39, Wang merupakan petani dengan dua anak dan memiliki seorang suami.
"Kampung halaman adalah yang terbaik. Tentu saja aku lebih memilih tinggal di sini," ujar Wang.
Ia pun berharap agar anaknya tetap tinggal bersamanya. Namun anaknya yang berusia 14 tahun, Fujing, ingin menjadi seorang dokter seperti ayahnya.
Laoya bukanlah satu-satunya desa bujangan. Hal tersebut menggambarkan dilema kehidupan pedesaan di China: terikat dengan tanah, ketimpangan jumlah laki-laki dan perempuan, kewajiban untuk merawat yang lebih tua, dan transportasi yang buruk.
Advertisement