Di Era Trump, Normalisasi AS-Kuba Bisa Dilanjutkan Asal...

Pemerintahan Trump kelak, kabarnya tak segan melanjutkan normalisasi hubungan AS-Kuba. Namun ada syaratnya.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 28 Nov 2016, 13:03 WIB
Diterbitkan 28 Nov 2016, 13:03 WIB

Liputan6.com, Havana - Di era kepemimpinan Barack Obama, Amerika Serikat (AS) mengakhiri kebekuan hubungan bilateralnya dengan Kuba yang telah berlangsung kurang lebih 50 tahun. Pada 10 Desember 2013 tepatnya saat upacara pemakaman Nelson Mandela, kedua kepala negara pun berjabat tangan.

Lantas pada Desember 2014, terjadinya pertukaran tahanan. Alan Gross, kontraktor dan pakar IT asal AS yang ditahan di Kuba karena tuduhan spionase dibebaskan. Sebagai gantinya, AS pun merilis tiga mata-mata Kuba.

Tak lama, Presiden Raul Castro muncul berpidato di televisi menegaskan bahwa kedua negara akan menjalin kembali hubungan diplomatik yang telah terputus sejak puluhan tahun silam.

Dan pada Maret 2016, Obama menjadi presiden AS pertama yang menginjakkan kaki di Kuba dalam rentang 90 tahun terakhir.

Dalam lawatannya tersebut ia membawa rombongan yang cukup besar, mulai dari sejumlah anggota Kongres, CEO perusahaan, dan tokoh Amerika-Kuba.

Obama bahkan sempat bercanda dengan mengatakan, "Pada tahun 1928, Presiden Calvin Coolidge datang ke Kuba dengan kapal tempur dan dibutuhkan waktu tiga hari untuk tiba. Sementara aku hanya membutuhkan waktu tiga jam untuk datang ke sini."

(Ki-ka) Presiden Kuba Raul Castro berbincang dengan Ibu Negara Amerika Serikat, Michelle Obama dan Presiden AS Barack Obama saat tiba untuk menghadiri makan malam kenegaraan di Istana Revolusi, Havana, Senin (21/3). (REUTERS/Jonathan Ernst)

Pada Januari mendatang, Negeri Paman Sam akan melangsungkan peralihan kekuasaan dari Obama ke Donald Trump dan Kuba sendiri saat ini tengah berkabung menyusul wafatnya sang pemimpin revolusioner, Fidel Castro. Pertanyaan pun mencuat tentang nasib hubungan kedua negara ke depannya.

Reince Priebus, calon kepala staf Gedung Putih yang ditunjuk Trump pun menguak penjelasan terkait hal tersebut. Ditegaskannya, Kuba harus membuat perubahan yang signifikan jika ingin melanjutkan normalisasi hubungan dengan AS.

"Jika kesepakatan untuk mencapai hubungan yang lebih baik di bawah pemerintahan Obama dilanjutkan, maka rezim Castro harus 'memenuhi tuntutan kami'," ujar Priebus dalam wawancara dengan Fox News Sunday seperti dikutip dari USA Today, Senin (28/11/2016).

Tuntutan yang dimaksudnya adalah membuka pasar ekonomi Kuba dan menunjukkan kemajuan dalam upaya mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Normalisasi hubungan kedua negara memang belum sampai pada tahap penghapusan embargo ekonomi terhadap Kuba. Langkah ini hanya dapat dilakukan melalui persetujuan Kongres. Dan Trump belum menyinggung apa pun soal ini.

Eks Direktur Kampanye Trump, Kellyanne Conway mengatakan bahwa presiden terpilih AS itu "terbuka untuk mengkaji dan, pada faktanya, mengatur ulang hubungan dengan Kuba."

Pasca-kematian Castro, Kuba mendominasi berbagai ruang pembicaraan publik di Negeri Paman Sam. Bagi sejumlah politisi AS yang berdarah Kuba, kematian Castro seharusnya tak perlu ditangisi melainkan dirayakan.

"Ini seharusnya menjadi saat di mana warga Kuba menari di jalanan karena mereka sedang dibebaskan, tapi jika Anda menari di jalanan, Anda akan dipenjara. Kuba tidak memiliki masyarakat yang bebas," ujar Senator Republik asal Texas, Ted Cruz.

Cruz menjelaskan bahwa ayahnya, bibinya, dan dua teman dekatnya di sekolah menengah atas dibui dan disiksa di bawah rezim Castro.

"Apa yang mereka lakukan kepada perempuan di penjara...sulit untuk diungkapkan," kata Cruz.

Sementara itu Senator Republik, Marco Rubio mengutarakan komentar serupa.

"Aku menentang perubahan sepihak di mana negara kita tidak mendapatkan keuntungan apa pun atau kebebasan bagi rakyat Kuba," tegas Rubio.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya