Pertemuan Terakhir Obama dan Putin Diwarnai Jabat Tangan Dingin

Pertemuan terakhir Obama dan Putin sama sekali jauh dari kesan bersahabat. Dua pemimpin dunia itu bahkan nyaris tak saling menatap.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 21 Nov 2016, 12:03 WIB
Diterbitkan 21 Nov 2016, 12:03 WIB

Liputan6.com, Lima - Tak ada tatapan hangat dan senyum bersahabat. Kira-kira begitulah gambaran suasana canggung ketika Presiden Barack Obama bertemu dengan Presiden Vladimir Putin di sela-sela KTT APEC 2016 di Lima, Peru.

Seperti dikutip dari News.com.au, Senin (21/11/2016) dua pemimpin dunia ini bahkan nyaris tidak memandang satu sama lain ketika berjabat tangan. Kecanggungan ini tertangkap kamera setelah Obama dan Putin terlibat dalam pembicaraan singkat tentang konflik Suriah.

Lantas, dalam sebuah konferensi pers, Obama menyampaikan ia sangat prihatin tentang pertumpahan darah dan kekacauan di Suriah "yang dipicu serangan bom konstan" oleh militer Suriah dan Rusia. Orang nomor satu di AS itu pun menegaskan, Suriah memerlukan gencatan senjata dan transisi politik.

"Seperti biasa, saya jujur dan sopan namun sangat jelas tentang perbedaan yang kita miliki soal kebijakan," kata Obama seperti dikutip dari Reuters.

Sementara itu, dalam konferensi pers terpisah, Putin mengucapkan terima kasih atas kerjasama selama delapan tahun di bawah kepemimpinan Obama.

"Saya katakan, kami akan senang jika dia berkunjung ke Rusia, kapan saja dia mau," ujar Putin yang tidak menyinggung isi pertemuannya dengan Obama.

Obama dan Putin tak saling bertatap ketika berjabat tangan (AFP)

Namun melalui sebuah keterangan tertulis yang diterima kantor berita Rusia, Russian Today, Sekretaris Pers Putin, Dmitry Peskov mengatakan, bahwa kedua presiden kecewa menyusul tak ada kemajuan dalam pembicaraan terkait Ukraina.

"Pada saat yang sama, menggarisbawahi bahwa waktu dua bulan yang tersisa (masa jabatan Obama) harus digunakan untuk menemukan resolusi konflik Suriah," ujar Peskov.

"Demi tercapainya tujuan ini, disepakati pula bahwa Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov dan Menteri Luar Negeri AS, John Kerry harus terus berkomunikasi," imbuhnya.

Ketegangan yang mewarnai pertemuan ini disebut-sebut tak lepas dari sikap Negeri Beruang Merah yang lebih memilih untuk melanjutkan dialog dengan pemerintah AS berikutnya yang kelak akan dipimpin oleh Donald Trump.

Sebelumnya, Duta Besar Rusia untuk Inggris, Alexander Yakovenko mengatakan bahwa negosiasi negaranya dengan Barack Obama atas konflik Suriah menemui jalan buntu.

"Kami telah mencoba berkoordinasi dengan pemerintahan AS saat ini. Dan kami akan melanjutkannya dengan pemerintahan berikutnya," ujarnya seperti dilansir Sunday Mirror.

Beberapa waktu lalu, tepatnya setelah Trump diketahui menjadi pemenang pilpres AS, Putin dilaporkan telah menelepon miliarder itu untuk mengucapkan selamat. Namun tak hanya sekadar mengucapkan selamat, keduanya juga membahas upaya untuk membasmi ISIS.

Dalam kesempatan yang sama, Putin dan Trump sepakat bahwa hubungan bilateral antar dua negara selama ini berjalan dengan "sangat tidak memuaskan".

Selama ini, Obama dan Putin memiliki hubungan yang "menantang". Pekan lalu saja, Presiden Obama telah memperingatkan Putin tentang konsekuensi dari serangan siber Moskow yang disebutnya telah berusaha memengaruhi pilpres AS.

Selain itu, Obama juga mendesak Putin untuk membantu pelaksanaan perjanjian damai Minsk melalui jalinan kerjasama dengan Prancis, Jerman, Ukraina, dan AS demi menghentikan konflik di Donbass, Ukraina.

Berbeda dengan Obama, Trump justru menunjukkan sikap sebaliknya. Ia tak menutupi usahanya untuk membangun hubungan baik dengan Putin. Ini tampak melalui sejumlah pujiannya terhadap orang nomor satu di Rusia itu.

KTT APEC ini merupakan pertemuan resmi terakhir Obama sebagai presiden AS sebelum ia menyerahkan estafet kepemimpinannya kepada Trump. Ini berarti menjadi pertemuan terakhir pula bagi Obama dan Putin.

Pekan lalu, Obama sendiri telah melakukan kunjungan perpisahan ke Eropa di mana ia bertemu dengan sejumlah kepala negara dan meyakinkan mereka bahwa AS akan tetap berkomitmen terhadap NATO.

Hal tersebut tak lepas dari pernyataan kontroversial Trump yang beberapa kali mengatakan ia akan mengurangi keterlibatan AS di NATO karena menganggap pakta pertahanan Atlantik Utara itu sudah usang.

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya