Liputan6.com, Washington, DC - Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) memasukkan seorang wanita Yordania bernama Ahlam Aref Ahmad al-Tamimi dalam daftar teroris paling dicari. Yang bersangkutan disebut terlibat dalam bom bunuh diri di sebuah restoran di Yerusalem pada tahun 2001.
Pada tahun 2013, kasus ini sempat ditutup. Namun pada Selasa lalu, Departemen Kehakiman AS membuka kembali kasus ini.
Baca Juga
Tuduhan terhadap al-Tamimi bermula pada 9 Agustus 2001 saat sebuah bom meledak di restoran piza Sbarro. Peristiwa itu menewaskan 15 orang dan melukai 120 lainnya.
Advertisement
Dua korban tewas dalam teror tersebut merupakan warga negara AS. Perempuan itu ditangkap dan di pengadilan Israel ia mengaku bersalah hingga akhirnya dihukum pada tahun 2003.
Dalam tuntutan pidana yang kembali dibuka pada Selasa lalu, al-Tamimi yang bekerja sebagai jurnalis di sebuah stasiun televisi di Tepi Barat dituduh bersekongkol menggunakan senjata pemusnah massal untuk menyerang warga AS.
Jaksa federal AS menyebutkan, pada musim panas tahun 2001, ia setuju untuk melakukan serangan atas nama sayap militer gerakan Hamas Palestina. Ia disebut-sebut bepergian dengan pelaku bom bunuh diri ke sebuah restoran di Yerusalem.
Menurut jaksa pula, perempuan itulah yang memerintahkan "pengantin" untuk meledakkan bom yang tersembunyi di sebuah gitar. Demikian seperti Liputan6.com kutip dari Al Jazeera, Jumat, (17/3/2017).
Al-Tamimi dibebaskan dari penjara pada tahun 2011. Kesempatannya menghirup udara bebas merupakan bagian dari pertukaran tahanan antara Israel dan Hamas.
Perempuan itu pun memutuskan kembali ke Yordania. Meski Departemen Kehakiman AS mengatakan, bahwa ia harus dihukum, namun pengadilan Yordania menegaskan, konstitusi mereka tidak memungkinkan untuk melakukan esktradisi terhadap warga Yordania.
Mary McCord, pejabat di Departemen Kehakiman AS melabeli al-Tamimi sebagai "teroris yang tidak pernah bertobat".
"Tuduhan yang dibuka kembali ini berfungsi sebagai pengingat bahwa ketika teroris menargetkan Amerika di mana saja di seluruh dunia, kami tidak akan pernah lupa dan kami akan terus memastikan bahwa mereka bertanggung jawab," kata dia.
Perempuan berusia 30-an tersebut kemungkinan akan menghadapi eksekusi mati atau kurungan penjara seumur hidup jika ia tertangkap, diadili, dan divonis di Negeri Paman Sam.