700 Tahanan Palestina di Israel Mogok Makan

700 tahanan politik asal Palestina yang ditahan di Israel lakukan mogok makan, tuntut pemenuhan hak-hak dasar.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 17 Apr 2017, 21:00 WIB
Diterbitkan 17 Apr 2017, 21:00 WIB
Pemuda Palestina Gelar Aksi di Tembok Perbatasan-AP Photo-20170217
Seorang pria membawa bendera Palestina saat aksi di perbatasan Palestina-Israel, Ramallah, Jumat (17/2). Aksi tersebut untuk memperingati 12 tahun protes mereka atas tembok pemisah tersebut. (AP Photo / Majdi Mohammed)

Liputan6.com, Tel Aviv - Sekitar 700 warga Palestina yang menjadi tahanan politik di Israel melakukan mogok makan -- yang dipimpin oleh pimpinan kelompok Fatah dan calon kuat presiden Palestina untuk periode selanjutnya, Marwan Barghouti.

Pengumuman mogok makan itu dilakukan pada Minggu, 16 April 2017 waktu setempat, seperti yang dilaporkan oleh Israel's Prison Service.

Petinggi kelompok Fatah, Marwan Barghouti, disinyalir sebagai dalang aksi. Hingga berita ini diturunkan, aksi mogok makan tersebut masih berlangsung.

Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah dan pemimpin Hamas di Jalur Gaza menyatakan dukungannya terhadap aksi mogok makan yang dilaporkan telah direncanakan oleh Barghouti selama beberapa bulan terakhir.

Direktur Palestinian Prisoners Club dan teman Barghouti, Qadura Fares, menjelaskan bahwa aksi tersebut akan dikampanyekan hingga muncul ke premukaan publik untuk beberapa hari ke depan.

Mogok makan akan dihentikan apabila Israel bersedia memerhatikan dan melakukan negosiasi dengan kelompok tahanan.

"Mereka memiliki sejumlah tuntutan dan akan terus menuntut hingga tujuan mereka terpenuhi. Para tahanan melihat aksi mogok tersebut sebagai cara untuk menuntut sejumlah hak mereka...hal ini harus dilakukan karena kondisi penjara politik di sana sangat buruk bagi para tahanan," kata Amina al-Taweel, juru bicara Palestinian Prisoners Center for Studies di Hebron, seperti yang dikutip oleh Al Jazeera, Senin, (17/4/2017).

Para tahanan menuntut pemasangan telepon umum di setiap fasilitas tahanan agar mereka mampu menjalin komunikasi dengan handai-taulan, memperjeas jadwal kunjungan per-dua bulan sekali, menuntut agar petugas penjara mengizinkan keluarg derajat kedua untuk berkunjung, menambah waktu kunjungan, dan mengizinkan tahanan untuk berfoto bersama dengan keluarga saat kunjungan.

Minim dan ketatnya perawatan medis juga menambah daftar kondisi buruk para tahanan.

Laporan adanya praktik penahanan soliter semena-mena para tahanan politik Palestina oleh petugas penjara di Israel juga sempat beredar. Jenis hukuman yang disebut 'administrative detention' tersebut akan diberikan oleh peradilan Israel kepada tahanan politik Palestina tanpa alasan yang jelas. Sehingga, muncul situasi penahanan tanpa preteks yang jelas dan tidak memberikan kesempatan bagi para tahanan untuk melakukan pembelaan secara hukum di persidangan.

Hingga 2017, jumlah warga Palestina yang menjadi tahanan politik di Israel diperkirakan mencapai angka 5.000 hingga 6.500 orang. Jumlah ini meningkat drastis selama 18 bulan terakhir sejak sejumlah insiden serangan penusukan dan penabrakan mobil (serangan menggunakan nama the lone-wolf intifada) yang terjadi di wilayah pemukiman Gaza dan cukup mempengaruhi kondisi keluarga di sana.

Menurut pengamat, apabila aksi mogok makan tersebut dapat ditangani dengan baik oleh pihak Israel, hasilnya dapat diprediksi mampu menurunkan tensi tegang di wilayah Gaza. Jika tidak berhasil ditangani dengan baik, maka akan memicu rangkaian kekerasan pada beberapa hari ke depan.

"Pemerintah Israel akan bertanggungjawab atas segala konsekuensi yang mungkin terjadi, seperti meninggalnya peserta mogokmakan karena kelaparan atau penyakit. Israel-lah yang harus bertanggungjawab," tambah al-Taweel.

Hingga berita ini diturunkan, pihak Israel belum memberikan komentar. Sejumlah pihak seperti Amnesty International dan Human Rights Watch menilai bahwa, jika terbukti benar melakukan seperti yang dituduhkan, maka Israel telah melanggar peraturan tahanan politik dalam Konvensi Jenewa.

"Apa yang dikhawatirkan adalah adanya dugaan pelanggaran Konvensi Jenewa ke-empat...seharusnya mereka ditahan di negerinya sendiri sesuai peraturan...tapi mereka ditempatkan dalam lembaga penahanan di Israel, jauh dari keluarga, dan sengaja untuk membatasi akses mereka dengan orang yang dicintai," tutup Omar Shakir, Direktur Human Rights Watch Israel dan Palestina.

 

 

 

 

 

 

 

 

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya