Liputan6.com, Yerusalem - Sebuah keluarga asal Palestina dirundung duka setelah salah satu anak perempuannya terbunuh oleh pasukan paramiliter Israel di Tepi Barat, Gaza, perbatasan Palestina, Israel.
Gadis malang itu bernama Fatima Hjeiji. Ia merupakan anak Palestina ketujuh yang terbunuh oleh pasukan Israel sepanjang 2017.
Baca Juga
Fatima Hjeiji (17) tewas ditembak oleh paramiliter Israel di Gerbang Damaskus, Yerusalem, pada Senin, 8 Mei 2017 waktu setempat, seperti yang diwartakan oleh Al Jazeera, Rabu (10/5/2017).
Advertisement
District Coordination Office (DCO)--lembaga koordinasi Palestina-Israel di Tepi Barat Gaza--melaporkan kabar kematian Fatima kepada keluarganya pada 8 Mei 2017. Organisasi itu mengabarkannya ke Afeef Hjeiji, ayah Fatima.
Tak lama setelah mendengar kabar dari DCO, Afeef ditelepon oleh seorang atase intelijen Israel. Sang atase meminta Afeef datang ke kantor intelijen Israel untuk mengidentifikasi jenazah Fatima dan menjalani interogasi selama sekitar 3 jam perihal kejadian tersebut.
Menurut penjelasan pihak Israel, saat penembakan, Fatima sedang membawa sebilah pisau dan mencoba untuk menyerang salah satu anggota paramiliter Israel yang berada di dekatnya. Peristiwa itu berlangsung di Kota Lama Yerusalem.
Merasa terancam dengan gerak tubuh Fatima, anggota paramiliter Israel itu menyarangkan timah panas ke tubuh gadis berusia 17 tahun tersebut.
Pihak Israel juga menambahkan bahwa di tubuh Fatima terdapat secarik kertas bertuliskan ayat Alquran, nama keluarganya, dan tulisan "Martir".
Keluarga Fatima sangat kecewa dengan tindakan sang paramiliter Israel. Ibu sang gadis menilai bahwa aksi penembak untuk menyarangkan timah panas pada anak perempuannya tidak dapat dibenarkan.
"Aku tak pernah membayangkan anakku mampu melakukan perbuatan itu. Aku juga tidak percaya dengan ucapan sang paramiliter tersebut," kata ibunda Fatima.
Sejumlah saksi mata menilai bahwa Fatima berjarak sekitar 10 meter dari tempat berdiri sang anggota paramiliter Israel, seperti yang diwartakan oleh kantor berita lokal Maan News dan dikutip oleh Al Jazeera.
Sejak tensi di Tepi Barat meningkat pada Oktober 2015, Amnesty International --organisasi humaniter dan HAM internasional-- menilai bahwa pasukan Israel kerap melakukan tindakan kekerasan yang berlebihan saat mengkonfrontasi warga Palestina yang terlibat konflik di Tepi Barat Gaza.
Pada Desember 2015, pasukan Israel diperintahkan untuk menembak warga Palestina dengan peluru tajam jika diduga melakukan penyerangan menggunakan bom molotov atau bahkan batu sekalipun.
"Pasukan Israel secara rutin menggunakan tindakan kekerasan yang berlebihan pada remaja Palestina," kata Ayed Abu Eqtaish, direktur program Defense for Children International Palestine, sebuah lembaga pendukung hak anak.
Sepanjang 2017, sudah tujuh anak Palestina yang menjadi korban atas tindakan pasukan Israel yang eksesif. Pada April 2017, dua bersaudara keluarga Qweider, Omar Ismael dan Mohammad Mahmoud Qweider dari Bedouin, Medev, Palestina, tewas setelah tertembak oleh pasukan Israel di tengah sebuah latihan militer.