Liputan6.com, Beijing - Tiongkok berencana membangun sebuah sistem pengamatan bawah laut masif di Laut China Timur dan Laut China Selatan yang disengketakan sejumlah negara.
Para ahli mengatakan, sistem tersebut dapat digunakan untuk mendeteksi pergerakan kapal asing.
Menurut media pemerintah Tiongkok, CCTV seperti dikutip CNN, Selasa (30/5/2017) sistem pengamatan bawah laut tersebut menyedot biaya 2 miliar yuan atau US$ 290 juta. Kelak, itu akan berfungsi untuk menyediakan data observasi jangka panjang dan mendukung penelitian lingkungan maritim di dua lautan tersebut.
Advertisement
Tiongkok terlibat dalam sengketa, baik di Laut China Timur maupun di Laut China Selatan. Selama ini, Beijing saling adu klaim dengan lima negara lainnya di Laut China Selatan.
Pada tahun 2016, Tiongkok dikabarkan telah memasang sistem persenjataan di tujuh pulau buatannya di Laut China Selatan.
Sementara di Laut China Timur, sudah sejak beberapa dekade, Beijing bersengketa dengan Jepang. Ketegangan antar pesawat dan kapal tempur kedua negara juga beberapa kali terjadi.
Seorang analis keamanan regional dan profesor dari University of New South Wales, Carl Thayer mengatakan bahwa pembangunan sistem pengamatan tersebut adalah pernyataan sepihak atas klaim kedaulatan Tiongkok di Laut China Selatan.
Langkah Beijing dikhawatirkan akan memicu kemarahan dari negara lain.
"Kabel bawah laut ditempatkan di di dasar laut di daerah yang disengketakan atau terkait dengan fasilitas di salah satu pulau buatan China," tutur Thayer.
Thayer lebih lanjut menjelaskan, bahwa sistem pemantauan bawah laut China dapat memiliki fungsi yang sama dengan sistem pengawasan suara (SOSUS) milik AS yang digunakan untuk mendeteksi dan memantau aktivitas kapal selam.
Laporan CCTV yang dikutip CNN juga mengisyaratkan bahwa rencana China untuk membangun sistem pengamatan bawah laut masif lebih dari sekadar diperuntukkan bagi kepentingan sains.
Jian Zhimin, seorang ilmuwan kelautan di Tongji University, Shanghai mengatakan, langkah pembangunan sistem pengamatan tersebut untuk memperkuat status China sebagai "kekuatan di laut".
"Sebuah kekuatan di laut harus mampu menjangkau laut lepas dan unjuk gigi secara global," ungkap Jian.
Zhou Huaiyang, seorang rekan Jian menambahkan bahwa sistem tersebut dapat memberi manfaat bagi "pertahanan nasional." Menurut Thayer, China dapat meletakkan sensor yang dirancang untuk mendeteksi pergerakan kapal perang dan kapal selam pada sistem pengamatan tersebut.
Tak hanya Beijing yang dinilai menjadi lebih agresif terkait klaim di Laut China Selatan. Dalam bulan ini, Filipina mengungkapkan rencananya untuk memperkuat dan meningkatkan fasilitas di Pagasa Island yang termasuk dalam rantai Kepulauan Spratly.
Selain aktivitas di permukaan, Vietnam, Malaysia, dan Filipina juga memperluas kemampuan kapal selamnya. Terkait Laut China Timur, Jepang sendiri dikabarkan memiliki armada bawah laut yang substansial.
Pada bulan Februari tahun ini, Dewan Negara China mengeluarkan sebuah rancangan undang-undang untuk merevisi Undang-Undang Keselamatan Lalu Lintas Maritim. Jika RUU disetujui, maka akan memungkinkan Tiongkok untuk mencegah kapal-kapal asing melewati wilayah perairannya.
Menurut draf yang diusulkan, semua kapal selam asing diharuskan melakukan perjalanan di permukaan, menampilkan bendera nasional dan melapor ke administrasi pengelolaan maritim China saat melewati perairan yang ditentukan.
"Dari sudut pandang China, diperlukan informasi yang akurat tidak hanya mengenai penempatan dan patroli kapal selam regional, tapi juga kapal selam nuklir AS," kata Thayer.