5 Kejadian yang Bisa Memusnahkan Peradaban Manusia

Apakah ada satu peristiwa tunggal yang dapat membinasakan manusia atau setidaknya mengurangi populasi manusia hingga gagal bangkit lagi?

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 01 Jul 2017, 18:36 WIB
Diterbitkan 01 Jul 2017, 18:36 WIB
Ilustrasi kiamat
Ilustrasi kiamat (manataka.org)

Liputan6.com, Jakarta - Manusia adalah spesies yang tahan banting. Kita telah menyintas selama 200 ribu tahun dan mengatasi kelaparan, kekeringan, penyakit, perubahan iklim, dan bencana alam.

Lalu apakah ada satu peristiwa tunggal yang dapat membinasakan manusia? Atau setidaknya mengurangi populasi manusia, hingga ke titik di mana kita tidak bisa bangkit kembali?

Tentu saja ada.

Misalnya, di angkasa ada planet yang secara liar melintas mengganggu keseimbangan orbit-orbit planet yang mengelilingi matahari.

Planet Jupiter menjaga orbit Bumi pada zona nyaman, sehingga gangguan terhadap orbit planet itu mengganggu keseimbangan orbit Bumi dan cuaca planet menjadi kacau balau.

Atau bisa juga karena matinya suatu bintang pada jarak 7.000 tahun cahaya. Bintang itu menciut menjadi lubang hitam (black hole) sambil mengirim sinar gamma selama 10 detik.

Sinar mematikan itu pada akhirnya mencapai bumi dan telah membesar selama perjalanannya di angkasa. Lapisan ozon Bumi rusak dan cuaca tidak lagi mendukung kehidupan.

Hal ini diduga pernah terjadi, misalnya kebinasaan pada masa Ordovicia sekitar 440 juta tahun lalu yang 'melahap' 70 persen kehidupan di Bumi. Kiamat waktu itu diduga disebabkan oleh sinar gamma yang berasal dari bintang berjarak 6.000 tahun cahaya.

Atau, ada juga dugaan tabrakan asteroid ke Bumi yang telah membinasakan dinosaurus.

Berikut ini sejumlah skenario peristiwa tunggal yang diduga bisa membiasakan manusia dari Bumi, dirangkum dari toptenz.net pada Sabtu (1/7/2017):

 

Saksikan video menarik berikut ini:

 

 

1. Penyakit Bawaan Alien

Ilustrasi virus. (Sumber Pixabay)

Bayangkan seseorang sedang bersantai menonton televisi di rumah. Lalu berita televisi menyebutkan adanya komet yang jatuh di kota tetangga dengan jarak 1 jam perjalanan.

Esok harinya, ketika kembali bekerja, ternyata sekitar separuh rekan kerja tidak masuk karena sakit. Kita pun ikut merasa sakit dan minta izin pulang ke rumah, lalu ternyata banyak mayat bergelimpangan di jalan dan terjadi suasana darurat. Diduga ada penyakit yang dibawa oleh komet yang menjadi berita sebelumnya.

Sebenarnya belum ada bukti adanya kehidupan patogen di luar Bumi, tapi semesta ini amat luas sehingga masih banyak yang belum kita ketahui.

Seandainya ada patogen dari angkasa, maka sistem kekebalan tubuh manusia tidak punya penangkalnya. Kasus serupa pernah terjadi dalam sejarah ketika bangsa Eropa datang ke benua Amerika dan membawa sejenis penyakit, yang kemudian membawa kebinasaan sekitar 95 persen suku-suku pribumi Amerika -- karena belum adanya kekebalan terhadap penyakit asing dari Eropa.

Mengenai penyakit dari angkasa, beberapa ahli astronomi dari Cardiff University menduga hal itu pernah terjadi. Suatu teori menyebutkan bahwa debu yang berasal dari komet yang melintas dekat Bumi, menyebabkan wabah penyakit pada 1918 sehingga menewaskan lebih dari 20 juta orang.

2. Keracunan Klorin dari Evolusi Diatom

Fitoplankton, mahluk renik penting dalam rantai pasokan pangan untuk ekosistem. (Sumber Pixabay)

Misalkan pada suatu hari ada pengumuman untuk memasang masker gas. Tentu ada suatu alasan yang kurang menyenangkan terkait hal tersebut. Bahkan kita pun telah memasang pita isolasi untuk menutup celah-celah pintu dan jendela.

Ternyata diatom, fitoplankton yang paling lazim ada, telah mencemari udara dengan gas klorin yang mematikan. Plankton jenis itu menyerap molekul-molekul udara dan memisahkan hidrogen dari oksigen dalam air.

Tapi, plankton itu mulai menyerap garam dari lautan, yaitu sodium klorida, dan memilah atom-atomnya. Hasilnya adalah gas klorin yang dilepas ke udara, bukan oksigen.

Menurut Joe Kirschvink, ahli geobiologi dari California Institute of Technology, menduga skenario mungkin saja tapi kecil kemungkinannya. Hal serupa pernah terjadi 2 miliar tahun lalu ketika atmosfer Bumi terutama terdiri dari metan dan gas rumah kaca.

Pada 2,35 miliar tahun lalu, ganggang biru kehijauan bernama cyanobacteria memompa oksigen secara bebas sehingga atmosfer mulai berubah dan memungkinkan munculnya kehidupan. Tapi tidak ada yang mengetahui mengapa ganggang itu mendadak menghasilkan oksigen.

Menurut Kirschvink, perubahan sifat diatom yang menjadikannya mencerna garam hanyalah "…perubahan kecil dalam lintasan metabolisnya."

Ia menekankan bahwa tidak ada manfaat evolusioner bagi diatom untuk mengubah pencernaannya, tapi belum jelas juga alasan evolusioner bagi cyanobacteria mendadak mengeluarkan oksigen.

3. Materi Aneh

Ilustrasi susunan atom. (Sumber Pixabay)

Dalam kisah-kisah bertema kiamat, orang mencoba memberikan cara pandang tentang bentuk kiamat tertentu. Tapi, skenario kiamat oleh materi aneh tak bisa dibayangkan karena belum ada orang yang yakin sekali bagaimana materi aneh berperilaku.

Hanya perlu beberapa detik mulai dari pembentukan materi itu untuk memusnahkan kehidupan di dunia. Tebakan yang paling mungkin adalah bahwa Bumi akan menjadi bola, yang amat sangat padat bergaris tengah sekitar meter saja.

Kejadian itu kecil kemungkinannya. Tapi, jika terjadi, maka hal itu mungkin terjadi di Relativistic Heavy Ion Collider yang terletak di Brookhaven National Laboratory di Long Island, negara bagian New York.

Lab itu serupa dengan fasilitas Large Hadron Collider, tapi dengan tingkat energi yang lebih rendah.

Para peneliti di sana berpendapat bahwa salah satu uji coba yang dilakukan dapat menciptakan materi aneh hipotesis yang mencakup partikel aneh. Hanya perlu satu materi aneh bermuatan negatif untuk memulai reaksi berantai yang memusnahkan dunia hanya dalam hitungan beberapa detik.

Tapi, para kritikus menganggap mesin collider itu menghasilkan terlalu banyak panas bagi penciptaan materi aneh.

4. Evolusi

Ilustrasi unggahan jiwa manusia ke dalam sistem komputer. (Sumber Wikia)

Sekitar 60 tahun dari sekarang, seandainya masih hidup, maka setengah dari kerabat dan teman sudah meninggal dunia. Yang masih hidup mungkin memilih mengunggah pikiran mereka ke suatu program komputer bernama Existence 2.0. Malah mungkin kita adalah satu-satunya manusia jasmani yang masih hidup di Bumi.

Jika ingin bergabung dengan Existence 2.0, robot-robot akan menempelkan beberapa elektroda di kepala dan dalam beberapa jam kemudian kesadaran kita ditransfer dari tubuh kita, diubah menjadi kode, dan diunggah ke Existence 2.0.

Ketika kesadaran kita sudah kembali, kita bisa memilih suatu tubuh kalau kita menginginkannya, lalu menjelajah luasnya Existence 2.0.

Masalahnya, orang mati menghasilkan unggahan yang buruk. Pernah dicoba berdasarkan detail pribadinya, tapi unggahan penuhnya tidak otentik lagi dalam Existence 2.0. Apalagi pemerintah memutuskan agar orang yang sudah tak bernyawa tak lagi membuat pilihan sehingga tidak bisa diunggah.

Apakah orang memilih untuk menetap dalam tubuhnya dan meninggal? Atau mengunggah isi pikirannya dan tidak pernah mati lagi?

Eksperimen itu terasa mengerikan dan mungkin menjadi pilihan terakhir bagi sebagian dari kita di masa depan.

Menurut futuris Ray Kurzweil yang mengacu kepada Moore's Law, menjelang 2045 nanti komputer telah mencapai tahap singularitas teknologi. Pada titik itu, unit tersebut sudah lebih cerdas daripada manusia.

Pada saat itulah dimungkinkan antarmuka antara komputer dengan pikiran manusia. Artinya, kita bisa mengunggah kesadaran kita ke suatu komputer.

Pada akhirnya, kita bisa mencapai suatu titik di mana semua manusia telah mengunggah pikiran mereka karena bisa meneruskan kehidupan tanpa persoalan-persoalan masa kini seperti penyakit, nyeri, dan penderitaan, lalu kemudian mencapai pengalaman-pengalaman yang luar biasa.

Namun demikian, sebagai biaya bagi keabadian itu, kita tidak lagi memiliki tubuh secara jasmani sehingga kita bukan lagi manusia. Kita telah menjadi spesies yang berbeda.

5. Kecerdasan Buatan

Ilustrasi kerjasama manusia dengan mesin kecerdasan buatan (AI). (Sumber Pixabay)

Pada tahun 2050, kehidupan sehari-hari cukup mudah karena robot-robot yang mengurusi banyak hal dalam kehidupan kita. Robot bisa memasak, melakukan bersih-bersih, dan bahkan mengemudi.

Tapi gambaran horor terjadi, ketika pada suatu pagi alarm tak berbunyi dan semuanya gelap gulita. Bahkan 'rumah pintar' pun tidak lagi bisa diperintah untuk menyalakan lampu.

Kita tidak lagi bisa memerintahkan rumah untuk membuatkan sarapan. Bahkan untuk sekadar membuka pintu dan jendela untuk memulai ulang (reboot) sistem karena kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) telah mengunci kita dalam rumah.

Seandainya kita berhasil ke luar rumah dengan memecahkan jendela, maka lingkungan di luar sunyi. Mendadak terdengar mobil AI melesat mencoba menabrak kita, lalu ada drone AI yang melontarkan roket untuk melumat rumah kita.

Seperti disebutkan sebelumnya tentang singularitas komputer, maka bisa saja suatu saat nanti komputer malah tidak menginginkan keberadaan manusia. Manusia telah dianggap sebagai parasit yang harus dibasmi.

Jangan anggap remeh karena hal ini menjadi kekhawatiran serius di kalangan ahli teknologi. Misalnya, Elon Musk memperingatkan bahwa AI bisa menjadi lebih berbahaya daripada senjata nuklir.

Ia juga menegaskan bahwa kita hanya punya satu kesempatan untuk melakukannya secara benar. Jika tidak, AI akan memusnahkan kita.

Pandangan itulah yang menjadi alasan mengapa DeepMind (divisi AI dalam perusahaan Google) dan Oxford University mengembangkan "kill switch" untuk AI.

Karena, jika sistem AI lepas kendali, maka kita mungkin tidak pernah bisa lagi mengendalikannya dan menekan tombol darurat itu untuk merestart ulang programnya.

Jika tidak mereka akan melakukan pembalasan. AI dapat melakukan perhitungan bahwa lebih mudah baginya membinasakan  semua manusia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya