Liputan6.com, Santiago - Ilmuwan Chile tengah mengembangkan biofuel yang terbuat dari mikroalga. Biofuel tersebut dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar alternatif bagi kendaraan berbasis diesel.
Harapannya, biofuel berjenis diesel alternatif yang terbuat dari mikroalga itu dapat menekan emisi gas karbon di Chile hingga 80 persen, sebagai dampak dari penggunaan diesel secara berlebihan. Demikian seperti yang dikutip dari VOAIndonesia.com, Selasa (4/7/2017).
Para ilmuwan dari jurusan Teknik Kimia dan Proses Hayati, Catholic University, Chile, menjelaskan proses pembuatan biodiesel dari mikroalga.
Advertisement
Pertama, mereka menanam alga dalam jumlah tertentu. Alga itu kemudian dipanen, dicacah, dan diekstraksi minyaknya. Setelah itu, ilmuwan memisahkan minyak dari uap air dan serpihan-serpihan alga. Minyak hasil ekstraksi itulah yang selanjutnya diproses menjadi biodiesel.
"Tujuannya adalah untuk memproduksi biodiesel dari mikroalga juga beberapa varian mikroorganisme lain," kata Carlos Saez, peneliti dari jurusan Teknik Kimia dan Proses Hayati, Catholic University Chile.
Mereka menggunakan varietas alga air tawar dan air asin yang dapat ditemukan di sepanjang pantai di Chile, yang diberkahi garis pantai yang panjang di Samudra Pasifik.
Saez mengatakan, tantang utama ke depan dari inovasi bioteknologi itu adalah, bagaimana caranya untuk memproduksi mikroalga dan mikroorganisme yang cukup agar mampu menghasilkan biodiesel secara masif. Harapannya, biodiesel itu mampu menggeser atau menyubsitusi penggunaan diesel konvensional yang diolah dari minyak bumi.
Para ilmuwan Chile juga sedang mencoba teknologi budidaya alga menggunakan metode rekayasa genetika, guna mendorong produksi biodiesel secara lebih banyak dengan biaya rendah.
Indonesia Targetkan Biofuel untuk Pesawat
Indonesia juga berencana akan menggunakan bahan bakar alternatif berbasis biofuel pada pesawat. Rencananya, porsi biofuel akan mencapai 5 persen pada 2025.
Perwakilan Indonesia pada Committe on Aviation Enviromental Protection (CAEP), Yusfandri Gona mengatakan, hal tersebut merupakan upaya Indonesia untuk mengurangi pencemaran di udara. Penggunaan biofuel akan dilakukan secara bertahap.
"Ada alternatif bahan bakar berbasis bio, yang dapat menggantikan bahan bakar konvensional. Tapi kami merencanakan pencampuran itu 2 persen di 2016, kemudian 3 persen di 2020, kemudian 5 persen di 2025," kata Yusfandri di Hotel Mandarin Jakarta.
Namun penggunaan bahan bakar itu hingga saat ini belum terealisasi. Saat ini tengah berlangsung tahap penelitian dan pengembangan.
"Sekarang masih dalam tahap riset dan pengembangan. Jadi belum ada yang kami gunakan secara uji coba maupun secara komersial," ujar Yusfandri.
Saat ini, dia menuturkan, Indonesia tengah mengurangi pencemaran di udara tersebut dengan beberapa langkah. Di antaranya, penggunaan armada atau pesawat baru, lalu mengusung bandara konsep hijau. Tak sekadar itu, langkah lain yang dilakukan ialah efisiensi rute.
"Kami masih mencoba mereduksi dengan bermacam macam mitigasi tadi. Seperti armada yang baru, bandara 'hijau', energi terbarukan, memasang panel surya di beberapa bandara, serta melakukan efisiensi rute," ungkap perwakilan Indonesia pada CAEP itu.