4 Keputusan yang Mengubah Sejarah Dunia

Dari berbagai peristiwa, berikut empat momen historis yang mengubah dunia.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 06 Jul 2017, 20:20 WIB
Diterbitkan 06 Jul 2017, 20:20 WIB
6-8-1945: 'Little Boy' AS Luluh Lantakkan Hiroshima
Kondisi Hiroshima setelah dibom oleh AS. (AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Dalam chaos theory (teori kekacauan), dikenal sebuah konsep "efek sayap kupu-kupu" (the butterfly effect), yang menjelaskan bahwa sebuah perubahan insignifikan pada satu tempat dapat mengakibatkan perbedaan signifikan di tempat lain pada saat kemudian.

Dan dengan merujuk pada konsep tersebut, beberapa orang percaya bahwa momen remeh dalam sejarah, ternyata mampu memiliki dampak yang luar biasa bagi keberlangsungan hidup umat manusia di dunia.

Tak jarang sejumlah peristiwa besar dalam sejarah, ternyata disebabkan oleh beberapa kejadian kecil dan insignifikan. Misalnya, seperti perintah seorang presiden atau sebuah upaya diplomasi yang gagal terlaksana.

Beberapa momen insignifikan tersebut--meski dianggap remeh-temeh pada saat kejadian--tak disangka menyebabkan pengaruh besar dalam sejarah manusia.

Siapa yang mengira jika sebuah perintah yang dikeluarkan presiden ternyata ditujukan untuk mengebom dua kota dengan nuklir dan membinasakan ratusan ribu penduduk setempat. Atau, sebuah upaya diplomasi yang gagal dalam sebuah rapat pejabat pemerintah, tak dinyana memicu lahirnya sebuah hegemoni negara komunis terbesar di dunia.

Dari berbagai peristiwa, berikut empat momen historis yang mengubah dunia, seperti yang Liputan6.com rangkum dari Toptenz.net, pada Kamis (6/7/2017).

Saksikan juga video berikut ini

1. Bos FBI Kuak Skandal E-mail Hillary Clinton

Mantan calon presiden dari partai Demokrat, Hillary Clinton berjalan dengan suaminya, Bill Clinton untuk menghadiri upacara pelantikan Donald Trump menjadi Presiden AS ke-45 di Washington, DC, AS, (20/1). (Win McNamee/Pool Photo via AP)

Hasil Pemilu Presiden AS 2016 mengejutkan banyak pihak seantero dunia. Siapa sangka, Hillary Clinton yang dicalonkan kuat memenangi pilpres, harus kalah dari--sekarang presiden--Donald Trump.

Pada pilpres lalu, pakar sempat menyebut bahwa capres dari Partai Demokrat AS itu memiliki strategi kampanye yang mumpuni. Buktinya, ketika masa kampanye nyaris berakhir, sejumlah survei menunjukkan bahwa istri Bill Clinton itu akan memenangi pilpres dengan mudah.

Namun, entah bagaimana, ia harus kalah dan menerima kenyataan bahwa Donald Trump menjadi Presiden ke-45 AS. Meski Clinton memenangi popular vote (total suara dari rakyat yang memiliki hak pilih), ia ternyata kalah dalam Electoral College (total suara dari pemilih yang mewakili suara rakyat).

Namun, menurut lembaga survei FiveThirtyEight, kekalahan Clinton sebenarnya disebabkan oleh Direktur FBI pada saat itu, James Comey.

Pada Oktober 2016, jelang pemungutan suara, skandal surat elektronik yang melibatkan Clinton, memicu Comey untuk mewacanakan sebuah investigasi kepada sang capres. Clinton pun diperiksa oleh FBI atas tuduhan terlibat dalam sejumlah kebijakan politik kontroversial AS pada tahun-tahun sebelumnya, seperti intervensi di Libya, dan diduga melakukan pembocoran rahasia negara.

Muncul pula dugaan bahwa skandal surat elektronik yang melibatkan Clinton, ternyata didalangi oleh Rusia atas permintaan dari tim kampanye Donald Trump.

Peristiwa itu--yang hingga kini masih diselidiki kebenarannya--diduga kuat menyebabkan Donald Trump pada akhirnya memenangi Pilpres AS 2016, serta menandai momen historis yang sangat krusial dalam sejarah politik dunia modern.

 

2. Pembunuhan Presiden Abraham Lincoln

File arsip Arsip Nasional ini diambil antara 1861-1865 yang menunjukkan mantan Presiden AS Abraham Lincoln. Lincoln dilantik sebagai Presiden AS ke-16 pada tanggal 4 Maret 1861 (AFP)

Beberapa minggu jelang berakhirnya Perang Saudara Amerika Serikat, presiden AS saat itu, Abraham Lincoln, memutuskan untuk berkunjung ke Ford Theater demi menyaksikan sebuah pementasan drama. Dan seperti yang kita tahu, Presiden ke-16 Negeri Paman Sam itu tewas ditembak oleh John Wilkes Booth.

Peristiwa itu membuat masa kepresidenan Lincoln untuk periode ke-2 berakhir lebih cepat. Dan hal itu juga menimbulkan sejumlah gejolak politik di AS yang baru saja dilanda Perang Saudara.

Gejolak politik itu disebabkan oleh mandeknya kebijakan politik yang digagas oleh Lincoln. Padahal, kebijakan itu digadang-gadang mampu melancarkan proses rekonsiliasi antara Union dan Confederation--dua pihak yang berkonflik dalam Perang Saudara AS.

Namun, penerus Lincoln, Presiden Andrew Johnson, tak mampu melanjutkan kebijakan yang telah dicanangkan oleh Presiden ke-16 AS itu. Riwayat haluan politik Johnson--yang merupakan simpatisan Konfederasi--membuat pemerintahannya tidak didukung oleh dewan legislatif yang didominasi oleh partai Republik pro-Uni.

Bagai menabur garam pada luka, gejolak politik AS pada masa pemerintahan Presiden Johnson dipenuhi dengan kalut saling mengingat dosa lama di kalangan politisi pro-Uni dan pro-Konfederasi. Akibatnya, proses rekonsiliasi antara kedua pihak yang berkonflik harus mengalami hambatan besar.

Gejolak itu berujung pada pemakzulan Andrew Johnson, dan isu yang menjadi penyebab Perang Saudara terpelihara untuk sekian lama. Pakar menilai, jika Lincoln tidak dibunuh, proses rekonsiliasi antara Union (Uni) dengan Confederation (Konfederasi) dapat berlangsung dengan cepat.

 

3. Konferensi Yalta, Pemicu Hegemoni Uni Soviet

(duduk, kiri ke kanan) Churchill, Roosevelt, dan Stalin (Wikimedia Commons)

Meski Perang Dingin telah berakhir beberapa waktu silam, alangkah baiknya jika penyebab proxy wars atau perang proxi yang berlangsung menahun itu dapat dicegah. Menurut pakar dan sejarawan, penyebab Perang Dingin dapat dicegah dalam sebuah konferensi pada Februari 1945.

Pakar menilai bahwa penyebab munculnya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dipicu oleh kegagalan diplomasi dalam Konferensi Yalta pada 4-11 Februari 1945.

Khususnya ketika Presiden AS Franklin Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill gagal melakukan upaya diplomasi untuk menekan pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin yang haus akan kekuasaan.

Pada konferensi tersebut, Stalin berhasil mendesak Roosevelt dan Churchil, membuat Uni Soviet mampu menguasai hampir seluruh daratan Eropa Timur.

Alhasil, pasca-Konferensi Yalta, dengan berstatus sebagai negara pemenang pada Perang Dunia II, keberhasilan meraup separuh daratan Benua Biru, serta berkembangnya paham komunis, membuat Uni Soviet tumbuh menjadi salah satu hegemoni kekuasaan digdaya di dunia pada masa Perang Dingin.

Andai saja Roosevelt dan Churchil berhasil melakukan diplomasi serta menahan Stalin yang haus akan kekuasaan, Perang Dingin--yang juga mengakibatkan berbagai perang lain di banyak belahan dunia pada masa itu-- mungkin saja dapat dicegah.

 

4. Bom Atom Hiroshima-Nagasaki

Kerusakan pada Pembangkit Listrik Hidrolik di area Pabrik Mitsubishi akibat ledakan Bom Nagasaki (Foto: nationalarchives.gov.uk).

Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki atas perintah Presiden Amerika Serikat Harry Truman merupakan momen paling krusial dalam sejarah yang tetap akan diingat untuk beberapa generasi.

Bagi sebagian orang, peristiwa itu dianggap sangat signifikan, karena dinilai mengakhiri Perang Dunia II secara keseluruhan. Namun, sebagian yang lain mengutuk serangan bom atom itu, dan menganggapnya sebagai sebuah kejahatan perang.

Terlepas dari perbedaan penilaian tersebut, peristiwa Hiroshima dan Nagasaki atas perintah Presiden Truman, sangat signifikan membentuk riwayat dunia pada waktu-waktu ke depan. Banyak negara mulai berlomba membuat sebanyak mungkin bom nuklir. Tak hanya itu, tingkat radiasi pasca-bom atom 6 dan 9 Agustus 1945, mengalami peningkatan.

Peristiwa itu juga menjadi salah satu penyebab tensi tegang pada Perang Dingin serta membuat perlombaan sejumlah negara untuk memproduksi misil dan rudal nuklir, hingga sekarang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya