Waspada, Pornografi Memiliki Efek Mengerikan pada Otak dan Tubuh

Konsekuensi paling diketahui akibat konsumsi pornografi berlebihan adalah semakin berkurangnya kenikmatan seks dalam dunia nyata.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 18 Sep 2017, 21:00 WIB
Diterbitkan 18 Sep 2017, 21:00 WIB
Ilustrasi Pornografi
Ilustrasi Pornografi (iStockphoto)​

Liputan6.com, Jakarta - Pada akhir 1980-an, dianggap hanya ada tiga jenis orang yang menggunakan internet, yaitu pegawai sipil, akademisi, dan orang-orang pencari pornografi. Tapi, bisa juga gabungan dari ketiganya. 

Sejak awal, internet dikembangkan di kampus-kampus Amerika dan dipakai untuk keperluan pendidikan. Tetapi juga berbagi gambar-gambar dari industri pornografi. Ketika ada permintaan, maka pasokan pun mengikuti.

Selama beberapa tahun kemudian, seks mulai menjadi pelopor pengembangan teknologi-teknologi baru. Mulai dari teks dan visual sebelum lazim dalam sektor-sektor lain, berbagi file secara inovatif, hingga caranya meraup untung dalam jumlah besar.

Menjelang 1995, ketika wiraswastawan bernama Gary Kremen dari Amerika Serikat mendaftarkan sex.com, industri itu sudah menjadi kekuatan dominan.

Di masa kini, sektor pornografi daring diduga bernilai sekitar US$ 15 miliar. Jangkauannya pun meluas setiap tahun, terutama di kalangan kaum muda. Demikian yang dikutip dari The Telegraph pada Senin (18/9/2017).

Pada 2016, laporan analitik untuk situs web Pornhub mengungkapkan bahwa video-video mereka ditonton 92 miliar kali pada tahun sebelumnya. Angka itu setara dengan 64 juta penonton setiap hari.

Jika mempertimbangkan jumlah penduduk Bumi, maka ada 12,5 video untuk setiap penduduk. Jika seseorang mencoba menonton seluruh video, ia perlu 524.641 tahun untuk tuntas menyaksikan semuanya.

Laporan itu lengkap dan mencengangkan. Peringkat kata yang paling lazim dicari di situs itu adalah 'lesbian', diikuti dengan pencarian 'step mom' (ibu tiri) yang untuk pertama kalinya menggeser kata 'MILF' dan 'teen' (remaja).

Sementara itu, para pengguna di Filipina menghabiskan waktu terlama ketika berkunjung ke situs dengan rata-rata waktu kunjungan selama 12 menit 45 detik.

Pengunjung situs yang berasal dari Inggris meluangkan waktu 9 jam 40 menit, lebih lama daripada warga Prancis tapi kalah dibandingkan warga Australia.

Dengan segala kemudahan akses dan minat yang terus meningkat, apakah dampak pornografi terhadap otak penikmat tayangannya?

 

 

 

Dampak Pada Para Penonton

Ilustrasi Disfungsi Ereksi

Tak dapat disangkal bahwa keseringan menonton internet porno dapat membawa konsekuensi yang jelas, terutama pada mereka yang condong kepada perilaku seksual yang bersifat kompulsif.

Pada 2014, penelitian Cambridge University mengungkapkan bahwa pornografi memicu kegiatan otak dalam diri seorang yang ketagihan seks sebagaimana halnya narkoba memicu kegaitan otak serupa dalam diri pecandu obat-obatan.

Menurut Dr. John Williams, Kepala Ilmu Syaraf dan Kesehatan Mental di Wellcome Trust yang menjadi penyandang dana, "Perilaku-perilaku kompulsif, termasuk menonton pornografi secara berlebihan, makan berlebihan, dan judi menjadi semakin sering."

"Penelitian ini maju selangkah untuk menemukan alasan kita terus melakukan perilaku yang kita sadar berpotensi merusak diri."

"Dalam upaya mengatasi ketagihan seks, penyalahgunaan narkoba, atau gangguan makan, pengetahuan tentang cara dan waktu terbaik untuk intervensi pemutusan siklus menjadi tujuan yang penting."

Memang benar, tidak cukup dukungan untuk menyatakan pornografi membuat ketagihan dengan sendirinya. Tapi penelitian yang sama memaparkan korelasi antara kegiatan otak dan usia.

Semakin muda penggunanya, semakin besar tanggapan neural terhadap pornografi, bahkan bisa selama jangka panjang. Tahun lalu terungkap bahwa 53 persen remaja berusia 11 – 16 tahun setidaknya pernah sekali melihat tayangan demikian.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Seks Kehilangan Kenikmatannya

Konsekuensi paling diketahui akibat konsumsi pornografi berlebihan adalah semakin berkurangnya kenikmatan seks dalam dunia nyata. Hal ini telah menjadi persoalan yang lazim dalam abad ini.

Pada 1980-an, para pengunjuk rasa anti-pornografi berpendapat bahwa ketagihan pornografi dapat mengubah kaum pria menjadi monster. Ternyata, yang terjadi justru sebaliknya.

Jangan heran bahwa sekitar setengah pria muda terlalu terbiasa menonton pornografi segala jenis, setiap saat mereka mau, sehingga susah payah melakukan seks sungguhan justru dianggap tidak berguna.

Lalu ada dampak fisiologis. Penelitian pada 2015 oleh para peneliti University of California mengungkapkan adanya korelasi positif yang langka antara menonton pornografi dan libido (dorongan seks). Tapi, konsensus yang ada justru sebaliknya.

Tahun lalu, para pakar National Health Services (NHS) di Inggris mengamati peningkatan jumlah disfungsi ereksi pada kaum muda yang secara umum sehat-sehat saja. Ada dugaan bahwa pornografi yang berlebihan menjadi faktor yang sangat berperan.

"Para pria muda ini tidak mengidap penyakit organik, sehingga pertanyaan pertama untuk penilaian adalah bagaimana kebiasaan mereka terkait pornografi dan masturbasi, karena hal itu bisa menjadi penyebab masalah ketika mempertahankan ereksi bersama pasangan," demikian menurut ahli terapi psikoseksual bernama Angela Gregory kepada BBC.

Dengan demikian, tidak mengherankan kalau organisasi seperti NoFap semakin populer. Organisasi itu adalah komunitas dukungan secara daring kepada para pria yang mencoba terlepas dari kekangan pornografi, seks, dan masturbasi.

Tapi ada masalah dengan pernyataan luas tentang dampak-dampak pornografi terhadap para konsumennya yaitu bahwa suatu jenis pornografi berbeda dari jenis pornografi lainnya.

Misalnya, membaca majalah Playboy tidak sama dengan menonton Pornhub. Demikian juga sesekali menonton Pornhub tidak sama dengan menonton situs tayangan penyiksaan secara ilegal di toilet tempat kerja.

Banyak pihak berpendapat bahwa kekuatan pornografi itu tidak berpengaruh selama sifatnya sekadar fantasi dan saling sepakat (consentual). Tapi ada kemungkinan konsumsi secara ringan pun dapat secra mendasar mengubah pandangan seseorang terhadap seks.

Beberapa penelitian membenarkan bahwa peningkatan dopamin akibat pornografi berpotensi meyebabkan pengguna untuk terus meningkatkan sensasi dari seks sungguhan agar menyamai apa yang mereka akses dengan mudah.

Seorang eksektuif periklanan bernama Cindy Gallop menjelaskan melalui perbincangan TED pada 2009, "Seluruh generasi bertumbuh kembang dengan pandangan bahwa apa yang dilihat dalam pornografi hardcore adalah caranya orang meraih seks."

"Karena industri pornografi didorong, dibiayai, dikelola, diarahkan oleh, dan dibidik kepada kaum pria, pornografi cenderung mewakili cara pandang tunggal, seakan begitulah adanya."

Pada 2009, Gallop meluncurkan suatu 'revolusi sosial tentang seks' bertajuk Make Love Not Porn dengan maksud memberikan pandangan lain terhadap video-video yang berfokus kepada kaum pria.

Pengaruh Pada Dunia Nyata

Ilustrasi Hubungan Seks (iStockphoto)

Pada umumnya, penelitian-penelitian sepakat bahwa pornografi secara mengkhawatirkan telah mempengaruhi praktik dalam kehidupan nyata.

Misalnya, suatu laporan 2014 menemukan kaitan antara menonton aksi seks tanpa pelindung dengan peningkatan kegiatan seks tak berpelindung dalam dunia nyata.

Sementara itu, jumlah wanita AS yang melakukan labiaplasty – bedah menyempitkan bukaan vagina – meningkat 40 persen dan diduga dilakukan lebih karena alasan kosmetik.

Suatu penelitian lain di Amerika juga mengungkapkan bahwa kebiasaan menonton pornografi juga terkait dengan perselingkuhan.

Banyaknya pasangan seksual dalam tayangan secara tidak sadar mengoyak hubungan karena membujuk penonton bahwa 'rumput di halaman tetangga tampak lebih hijau.'

Divonisnya Jamie Reynolds karena pembunuhan Georgina Williams pada 2013 di Shropshire mengangkat persoalan ini ke publik. Menurut kesaksian pengadilan, Reynolds baru saja menonton pornografi ekstrem sebelum mencekik Williams (17) hingga tewas.

Hakim Agung Lord Thomas, ketika mengajukan bukti kepada parlemen, tidak serta merta menyalahkan pornografi, tapi "tidak meragukan bahwa semua hal terkait pornografi di internet memiliki dampak dramatis pada orang tersebut."

Mungkin kita teringat adanya penelitian pada 2014 yang menengarai bahwa otak seseorang menciut ketika kerap menonton pornografi. Tapi, penelitian itu banyak dibantah.

Pimpinan penelitian itupun mencoba memperjelas, "Tidak jelas…apakah menonton pornografi menyebabkan perubahan pada otak atau orang yang terlahir dengan jenis otak tertentu lebih banyak menonton pornografi."

Para penelitian lain pun kemudian melontarkan kritik karena penelitian itu berskala terlalu kecil disertai dengan pengambilan kesimpulan yang terlalu dini.

Dr. Gregory Tau dari Columbia University mengatakan, "Segala sesuatu adalah buruk kalau berlebihan dan mungkin tidak seburuk itu kalau sedang-sedang saja."

"Mungkin saja ada individu-individu dengan jenis otak tertentu yang lebih rentan terhadap perilaku ini. Atau, mungkin saja pornografi yang berlebihan yang berulang menyebabkan perubahan otak. Bisa saja keduanya benar."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya