Liputan6.com, Washington, DC - Petinggi pemerintahan dan militer Amerika Serikat dilaporkan semakin khawatir dengan situasi seputar Korea Utara dan Semenanjung Korea. Mereka menilai, kesalahan sekecil dan dalam bentuk apapun -- yang diambil oleh para negara yang terlibat konflik -- akan memicu Perang Dunia III.
Seperti dikutip dari Politico (8/1/2018), aspek pemicu dapat bermacam-macam. Bisa berupa provokasi tes rudal Korut yang tak menunjukkan tanda-tanda usai, meruncingnya respons retorika dan sanksi agresif AS, atau bahkan peristiwa sepele lain yang bersifat ketidaksengajaan.
"Saat ini, miskalkulasi berada pada titik tertingginya sejak Krisis Misil Kuba pada 1962," kata Ernest Moniz, Menteri Energi AS pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama, mengomentari krisis seputar Korea Utara dan Semenanjung Korea.
Advertisement
Hal tersebut diutarakan Moniz beberapa hari usai Presiden AS Donald Trump melontarkan sesumbar di Twitter pribadinya bahwa tombol nuklir Amerika Serikat 'lebih besar dan kuat' jika dibandingkan dengan milik Korea Utara.
Sesumbar itu diutarakan oleh Presiden Trump sebagai bentuk respons atas pernyataan Kim Jong-un yang mengatakan bahwa 'tombol nuklir Korea Utara selalu tersedia di meja kantornya'.
Jika saling balas retorika agresif itu diprediksi dapat memicu tensi tinggi hingga konflik bersenjata, lantas, bagaimana dengan faktor lain?
Dari berbagai contoh, berikut 5 hal yang mampu membuat AS dan Korea Utara memicu serta terlibat dalam Perang Dunia III, seperti Liputan6.com rangkum dari Politico.
1. Peristiwa Sepele yang Tak Disengaja
Sebuah ketakutan umum akan eskalasi seputar krisis di Semenanjung Korea dapat berakar pada sejarah kekerasan antara Utara dan Selatan. Usai Perang Korea 1950 dan gencatan senjata pada 1953, Korut dan Korsel kerap di ambang perang untuk kedua kalinya.
Peristiwa pemicu 'nyaris konflik' itu biasanya merupakan hal-hal yang sepele dan bersifat kecelakaan murni, kata Michael Mazarr, pakar Asia-Pasifik yang juga pernah menjabat sebagai asisten khusus untuk Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata AS pada 2008 - 2010.
Salah satu contoh utama adalah pada 1994. Saat itu, sebuah helikopter AD AS yang terbang tersasar melintasi Zona Demiliterisasi Korea (DMZ) ditembak jatuh oleh pasukan Korut. Satu awak helikopter AS tewas.
Pada 2003, empat jet tempur Korea Utara juga pernah mengonfrontasi pesawat mata-mata AS yang terbang di langit Semenanjung Korea. Kemudian pada pada 2015, dua tentara Korea Selatan tersandung ranjau darat yang ditanam di dekat DMZ di Utara dan kedua belah pihak saling menukar tembakan mortir dan artileri.
Pasukan Korea Utara dan Korea Selatan juga pernah melakukan baku tembak pada bulan lalu ketika seorang tentara Korea Utara membelot ke selatan.
Untuk tahun 2018 dan seterusnya, Mazarr memprediksi, tes rudal Korut yang mengalami kecelakaan dan salah sasaran bisa menjadi penyulut perang yang paling potensial.
"Korea Utara meluncurkan rudal yang mereka anggap sebagai ujian, kemudian mengalami malfungsi dan mulai mengarah ke Jepang. AS dan Jepang menganggap itu sebagai sebuah kemungkinan serangan, sehingga AS mengeluarkan sistem anti-rudalnya dan kemudian tensi semakin meningkat dari," kata Mazar.
Sementara Kelsey Davenport, direktur non-proliferasi untuk Arms Control Association yang berbasis di Washington DC mengatakan, presensi alutsista militer AS di dekat wilayah laut dan udara Korea Utara juga diprediksi berpotensi menyulut perang.
Advertisement
2. Eskalasi Aktivitas Korea Utara
Korea Utara juga telah menunjukkan pola peningkatan aktivitas yang memprovokasi AS atau Korea Selatan untuk mengambil langkah militer yang lebih agresif.
Contoh yang paling menonjol terjadi pada tahun 1968, ketika Korea Utara menyerang USS Pueblo -- kapal mata-mata AL AS berawak 82 orang -- dan menahannya selama satu tahun.
The Rogue State -- julukan Korut yang disematkan media Barat -- juga pernah melakukan torpedo dan menenggelamkan kapal perang Korea Selatan di Laut Kuning, menewaskan 46 pelaut Negeri Ginseng pada 2010.
Mengingat retorika dan sikap agresif yang semakin meningkat, serta fakta bahwa Amerika Serikat memiliki 30.000 personel militer di perbatasan Korea Selatan, banyak ahli menilai bahwa konfrontasi sekecil apapun yang dilakukan oleh The Rogue State akan memicu Perang Dunia III.
"Mereka (Korut) bisa melakukan sesuatu seperti insiden kapal selam Korea Selatan pada 2010. Dan, AS serta Korsel mampu merespons dengan cara yang lebih berbeda," kata Abraham Denmark, direktur program Asia di Wilson Center, think-tank yang berbasis di Washington DC.
3. AS Mengambil Opsi Militer
Michael Mazarr, pakar Asia-Pasifik yang juga pernah menjabat sebagai asisten khusus untuk Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata AS pada 2008 - 2010, mengatakan, sekecil apapun opsi militer yang akhirnya diambil oleh Negeri Paman Sam terkait isu Korea Utara, diprediksi akan menyulut perang besar.
Faktor yang satu ini dinilai cukup mengkhawatirkan. Apalagi mengingat, telah banyak pejabat AS, termasuk Presiden Donald Trump, yang memiliki niat untuk menggunakan opsi militer sebagai solusi.'
"AS telah menyebut akan mengambil tindakan militer terbatas. Namun, akan suliy untuk mengendalikan eskalasi jika Korea Utara merespons dengan serangan militer yang lebih hebat," tambah Kelsey Davenport, direktur non-proliferasi untuk Arms Control Association yang berbasis di Washington DC.
Advertisement
4. Serangan Siber
Ernest Moniz, Menteri Energi AS pada masa Presiden Barack Obama, yang kini menjabat sebagai kepala organisasi think-tank Nuclear Threat Initiative mengatakan, aktivitas siber yang tak bertanggung jawab diprediksi mampu memicu konflik bersenjata terbuka antara AS - Korea Utara.
Contohnya bisa termasuk hacker yang menginfiltrasi sistem komunikasi Korea Utara atau AS. Hacker itu kemudian memasukkan data dan informasi palsu, yang memicu AS - Korut mencurigai satu sama lain atas potensi serangan militer yang dilakukan oleh masing-masing negara.
Selain itu, potensi serangan siber yang langsung dilakukan oleh Amerika Serikat dan Korea Utara juga menjadi salah satu pemicu.
Sementara itu, Jon Wolfsthal, seorang ilmuwan di Carnegie Endowment for International Peace yang memegang portofolio nuklir di Dewan Keamanan Nasional selama pemerintahan Obama, juga menyatakan keprihatinannya tentang skenario "aktor pihak ketiga".
"Selalu ada sesuatu yang tidak dapat kami kendalikan, seperti sebuah pesawat terbang yang menyalip wilayah udara Korea Utara karena kesalahan, peretas yang memilih waktu yang salah untuk mencoba mengacaukan sistem komunikasi Korea Utara, atau sistem perbankan Korea Selatan, atau sistem radar Amerika di Korea Selatan," kata Wolfsthal.
5. Miskomunikasi Korea Utara - AS
Sejatinya, AS telah mencoba untuk menghindari miskomunikasi dengan Korea Utara dengan memanfaatkan diplomat sebagai ujung tombak untuk melakukan dialog dan penyampaian pesan.
Pesan tersebut terlebih dahulu disaring secara saksama oleh beberapa instansi pemerintah dan sekutu, untuk kemudian disampaikan ke Korea Utara, kata pensiunan Jenderal Marinir AS, James Cartwright.
Tapi, ketika berbicara soal relasi komunikasi yang dilakukan antara Donald Trump dan Kim Jong-un, Cartwright mengatakan, "Kita berurusan dengan dua orang yang memiliki kehendak serupa. Bedanya, Trump melakukannya melalui Twitter."
"Sangat mudah terjadi miskomunikasi ketika kedua pemimpin saling terlibat dialog satu-lawan-satu seperti yang terjadi belakangan ini," lanjutnya.
Retorika agresif yang saling dilakukan oleh Trump dan Kim justru akan menambah panas situasi yang terjadi.
"Kata-kata penting," kata pensiunan Jenderal AU AS, Robert Kehler.
Advertisement