Liputan6.com, Jakarta - Ketegangan geopolitik dunia kian hari makin panas.
Invasi yang digencarkan Rusia terhadap Ukraina sejak tahun 2022 belum menunjukkan titik terang. Serangan yang dilakukan Israel terhadap Palestina juga belum berakhir. Junta militer di Myanmar juga belum berhenti melemparkan serangan, bahkan usai gempa bumi dahsyat melanda negara itu. Terbaru, perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China akibat tarif impor yang ditetapkan Donald Trump membuat kondisi politik dunia semakin kusut.
Advertisement
Dengan kondisi demikian, tak heran jika muncul pertanyaan: mungkinkah Perang Dunia III pecah? Atau akankah perang nuklir terjadi?
Advertisement
Potensi Perang Dunia III pecah mungkin saja terjadi. Melihat ketegangan negara-negara di dunia, semakin besar kemungkinannya untuk menggunakan senjata terkuat mereka.
Hal itu dibenarkan salah satu pengamat Hubungan Internasional Universitas Airlangga, Irma.
"Sama halnya ketika terjadi Perang Dunia Kedua, ada tokoh populisme yang muncul, Hitler waktu itu, dan kemudian ada Great Depression, ada situasi kelesuan ekonomi, kemudian ditambahkan ada isu pertahanan keamanan, jadi klop," kata Irma saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (11/4/2025).
"Jadi semua situasi yang begitu chaos tadi, itu memunculkan potensi-potensi perang besar. Karena dengan situasi yang chaos seperti itu, banyak munculnya aktor-aktor yang mikirnya out of the box. Apakah kemudian mereka melakukan sebuah aneksasi dan sebagainya itu semakin besar untuk potensi ke arah sana."
Sementara di sisi lain, Pengamat Hubungan Internasional Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah justru menilai bahwa yang lebih mungkin terjadi adalah konflik terbatas, seperti apa yang terjadi pada Rusia dan Ukraina saat ini.
"Andaikan hal ini terjadi, maka tetap akan terjadi kerusakan infrastruktur dan kematian umat manusia dalam jumlah besar," jelas dia.
Relevansi Politik Luar Negeri Indonesia
Di tengah kondisi tersebut, prinsip politik luar negeri (polugri) Indonesia, bebas aktif, bagaimanapun seharusnya dapat menjadi harapan dan kekuatan baru terhadap konflik global.
"Polugri Indonesia bebas aktif tetap relevan karena dunia sangat membutuhkan adanya kekuatan menengah dan mandiri, sehingga dapat meredakan konflik antar kekuatan besar, dengan sekaligus pula menggalang solidaritas dunia guna penyelesaian konflik," tambah Rezasyah.
Irma pun setuju dengan hal tersebut, asalkan Indonesia dapat melakukan lebih banyak aksi konkret untuk meredakan tensi geopolitik dunia.
"Seharusnya ini tidak hanya menjadi gema. Memang Indonesia harus benar-benar menginvestasikan dan memberikan sebuah langkah konkret untuk kemudian menunjukkan itu," tutur Irma.
"Indonesia harus bisa memunculkan sebagai figur yang leading dalam konteks itu."
Upaya tersebut sebelumnya sudah dilakukan dalam periode Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi yang sangat vokal dalam menyuarakan keadilan bagi Palestina, maupun aksi nyata mantan Presiden Jokowi Ketika mengunjungi Rusia dan Ukraina.
"Kelihatan Indonesia begitu sangat konsisten dan kemudian sangat signifikan dalam memberikan advokasinya terhadap isu-isu global. Dan itu seharusnya tetap konsisten dilakukan," jelas Irma.
Advertisement
