Liputan6.com, Jakarta - Komisioner Tinggi HAM PBB (OHCHR) Zeid Ra'ad Al Hussein kembali menegaskan bahwa beragam aksi kekerasan yang dialami oleh Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, adalah sebuah bentuk pelanggaran berat hak asasi manusia yang sesuai dengan indikasi genosida serta pembersihan etnis.
Pernyataan itu diutarakan oleh Al Hussein saat menyampaikan opening remarks pada Jakarta Conversation on Human Rights 2018, di Gedung Kemlu RI Jakarta, 5 Februari 2018. Menteri Luar Negeri Ri Retno Marsudi dan Wamenlu RI Abdurrahma M Fachir, serta para delegasi asing turut hadir dalam perhelatan tersebut.
Advertisement
Baca Juga
"Kesaksikan para pengungsi Rohingya yang diwawancarai oleh berbagai lembaga PBB menunjukkan bahwa etnis tersebut mengalami pembunuhan yang brutal, penghilangan paksa, detensi tanpa proses hukum, kekerasan seksual, serta rumah-rumah mereka dirusak," kata Al Hussein pada Senin (5/2/2018).
"Kami, UNHCHR menilai bahwa apa yang mereka alami sesuai dengan definisi genosida dan pembersihan etnis -- sebuah kulminasi dari lima dekade diskriminasi dan kekerasan terstruktur yang dihadapi oleh etnis Rohingya," lanjutnya.
Mengkritik Myanmar
Dalam pidatonya, Al Hussein juga menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di Myanmar yang tergolong pesat, justru tidak sebanding dengan pertanggungjawaban negara tersebut untuk menjamin pemenuhan hak asasi manusia bagi warga negaranya -- yang tecermin pada bagaimana Naypyidaw menangani krisis kemanusiaan etnis Rohingya.
"Padahal, pemenuhan terhadap HAM akan memberikan kesejahteraan, tak hanya bagi Myanmar, namun juga negara lain yang menerapkan prinsip tersebut."
Lebih lanjut, Al Hussain justru mengkritik bagaimana pemerintah Myanmar mengemas isu yang menimpa etnis Rohingya di Rakhine ke dalam sebuah narasi "kesemerawutan sosial-ekonomi", ketimbang isu pelanggaran hak asasi manusia.
"Namun, ada sejumlah negara, seperti Myanmar, yang menganggap HAM adalah aspek yang tidak penting ketimbang pertumbuhan ekonomi. Bahkan sebegitu meremehkan, hingga mereka sendiri mengabaikan dan melanggarnya," papar Al Hussain.
Menutup komentarnya soal krisis di Rohingya, Sang Komisioner Tinggi HAM PBB itu mendesak agar Myanmar dan komunitas internasional untuk segera menyelesaikan krisis kemanusiaan Rohingya -- jika tak ingin permasalahan tersebut menjadi sebuah konflik dan polemik yang berkepanjangan di kawasan.
Temuan Kuburan Massal Etnis Rohingya di Rakhine, Bukti Kejahatan HAM?
Komentar Al Hussain muncul beberapa hari usai kantor berita Amerika Serikat Associated Press mengklaim mengenai eksistensi lima kuburan massal etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar.
Laporan itu merupakan hasil penelusuran AP yang mewawancarai puluhan pengungsi Rohingya di Bangladesh. Sejumlah video yang kredibel juga turut menguatkan testimoni tersebut.
Seperti dilansir ABC Australia (2/2/2018) yang mengutip AP, lima kuburan massal itu berisi sedikitnya sekitar 75 hingga 400 jasad etnis Rohingya.
Hampir dari setiap warga desa yang diwawancarai oleh AP mengatakan bahwa tiga dari lima kuburan massal itu berada di jalan raya gerbang masuk utara pedesaan Gu Dar Pyin, Rakhine.
Adapun dua sisanya berada di dekat pemakaman di lereng bukit Gu Dar Pyin.
Sementara itu, sejumlah pengungsi juga mengatakan, ada sejumlah kuburan massal etnis Rohingya berskala kecil yang tersebar di beberapa titik di Gu Dar Pyin.
Advertisement
Pencari Fakta PBB: Rohingya Mengalami Diskriminasi yang Melembaga
Sebelumnya, anggota Tim Pencari Fakta Komite HAM PBB untuk Myanmar (TPF Myanmar), Marzuki Darusman, menyampaikan bahwa krisis kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya merupakan hasil dari diskriminasi yang melembaga di dalam pemerintah Myanmar.
Hal itu disampaikan oleh Marzuki di Jakarta pada November 2017 silam, saat hadir sebagai penanggap presentasi hasil investigasi independen Amnesty International seputar krisis kemanusiaan Rohingya.
"Kondisi diskriminatif yang dialami oleh kelompok etnis Rohingya tidak bersifat insidental, namun melembaga di pemerintahan Myanmar. Meski tidak ditetapkan dalam kebijakan secara resmi, namun dalam praktiknya, eksistensi diskriminasi yang melembaga itu benar-benar ada dan terjadi," kata Marzuki.
"Atas dasar itu dan sejumlah temuan lain, sesungguhnya TPF bisa melihat semua kondisi (yang dialami oleh Rohingya) itu sebagai indikasi pelanggaran kemanusiaan dan memenuhi unsur-unsur pidana kejahatan HAM berat," paparnya.
Marzuki juga mengatakan bahwa TPF Myanmar mengamini pernyataan Komisioner Tinggi Dewan HAM PBB Zeid Ra’ad Al Hussein yang menyebut bahwa krisis yang menimpa etnis Rohingya merupakan "a textbook example of ethnic cleansing".
"Memang jelas kejadian yang menimpa krisis Rohingya merupakan 'a textbook example of ethnic cleansing'. Tapi kita tidak serta-merta berhenti pada definisi itu. Perlu ada proses pembuktian lebih lanjut yang bersifat empiris."
Marzuki melanjutkan, tugas TPF Myanmar saat ini adalah berfokus untuk menemukan penjelasan mengenai penyebab "diskriminasi yang melembaga" tersebut, yang -- menurut Marzuki -- memicu "tercerabutnya etnis Rohingya dari tempat mereka hidup selama ratusan tahun di luar kemauannya."
"Penjelasannya bisa disimpulkan jika TPF Myamar sudah menemukan temuan yang lebih komprehensif. Sementara ini, itu semua hanya indikasi. Karena kita tidak bisa menggunakan definisi spesifik tertentu, seakan-akan memberikan kesan bahwa penyelidikan kita sudah mendekati kesimpulan akhir," tambah pria yang pernah menjabat sebagai Jaksa Agung RI itu.