Liputan6.com, Jakarta - Amnesty International di Indonesia melaporkan, militer Myanmar diduga kuat melakukan pembakaran terhadap sejumlah desa yang dihuni oleh etnis Rohingya dan kelompok minoritas.
Dugaan tersebut muncul dari hasil laporan tim pencari fakta Amnesty International yang berada di Myanmar dan Bangladesh. Laporan itu disampaikan kepada media di Jakarta, Jumat, 15 September 2017.
Advertisement
Baca Juga
Menurut Laura Haigh, ketua tim pencari fakta untuk Amnesty Internasional di Myanmar, bukti yang berhasil dikumpulkan oleh rekan sejawatnya di lapangan menunjukkan keterlibatan militer Myanmar dalam aksi serangan dan pembakaran desa yang dihuni oleh etnis Rohingya.
Bukti itu diperoleh dari hasil wawancara tim Amnesty International dengan sejumlah etnis Rohingya yang telah mengungsi di Bangladesh, pencitraan satelit terhadap area desa yang diduga dibakar oleh militer, dan dokumentasi foto serta video.
"Kami berhasil menemukan bukti secara nyata mengenai keterlibatan militer Myanmar dalam indikasi kejahatan kemanusiaan dan pembersihan etnis di Rakhine," jelas Haigh lewat sambungan Skype di kantor Amnesty International, Jakarta (15/9/2017).
"Militer Myanmar melakukan operasi pembersihan di sejumlah desa untuk menangkap pelaku dan meminta pertanggungjawaban mereka yang terlibat dalam penyerangan pos polisi pada 25 Agustus lalu."
Haigh mengklaim, timnya telah menemukan suatu pola secara jelas bahwa pada dan setelah 25 Agustus, militer Myanmar menembakkan peluru ke udara di sejumlah desa yang dihuni etnis Rohingya. Akibatnya, etnis minoritas yang menduduki desa tersebut berusaha untuk melarikan diri, yang menyebabkan eksodus massal.
"Pola itu ditemukan setelah mewawancarai seorang etnis Rohingya dari Desa Inn Din. Ia menggambarkan, pada dan setelah 25 Agustus, tentara serta sekelompok massa mengepung dan memasuki wilayah desa. Kemudian, mereka menembakkan peluru ke udara serta warga sipil secara acak," jelas Haigh.
Haigh melanjutkan, serangan serupa turut terjadi di wilayah lain, salah satunya Yae Twin Kyun. Serangan dilakukan secara terkonsentrasi di wilayah yang dihuni oleh etnis Rohingya.
"Serangan ini jelas sistematis sengaja ditujukan untuk mengeluarkan orang Rohingya dari wilayah tersebut," jelasnya.
Sementara itu, berdasarkan hasil pencitraan satelit, Amnesty International menemukan sekitar 80 titik wilayah yang diduga dibakar secara sengaja oleh militer Myanmar serta etnis Rakhine anti-Rohingya.
Pembakaran itu dilakukan pascakonflik bersenjata 25 Agustus dan setelah militer Myanmar melakukan penyerangan terhadap sejumlah desa dan wilayah yang dihuni etnis Rohingya.
Pembakaran dilakukan beberapa hari pascakonflik bersenjata 25 Agustus. Wilayah yang bekas terbakar mencakup total luas sekitar 3.300 km persegi. Kebanyakan merupakan desa yang dihuni penduduk.
Salah satu desa yang dibakar secara sengaja adalah di Kyee Kan Pyin selatan. Citra satelit yang diambil oleh Amnesty International pada 2 September menunjukkan, ada sejumlah bangunan yang habis terbakar.
"Sebelum 25 Agustus, bangunan itu masih terlihat utuh. Namun, pada 2 September, seminggu pascakonflik bersenjata, bangunan yang sama habis terbakar," jelas Haigh.
"Citra satelit membantu kita meyakini bahwa pembakaran itu sengaja dilakukan pada area berpopulasi Rohingya."
Selain Kyee Kan Pyin, wilayah yang menjadi sasaran pembakaran meliputi Myo Thu Gyi, Kyein Chaung, dan Pan Kyiang.
"Informan kami yang berasal dari Kyein Chaung mengaku bahwa aparat setempat sempat membeberkan rencana pembakaran dan mengimbau kepada penduduk desa untuk segera meninggalkan rumah mereka," jelas Haigh.
Bukti yang diperoleh tim yang dipimpin Laura Haigh juga menyebut, aksi pembakaran itu turut dilakukan oleh polisi Myanmar dan etnis mayoritas di Rakhine yang anti-Rohingya.
Menurut laporan Amnesty International, hingga kini pemerintah Myanmar masih menyangkal mengenai keterlibatan militer dalam aksi pembakaran tersebut. Dan justru mereka balik menuding bahwa pembakaran dilakukan oleh etnis Rohingya sendiri.
Militer Diduga Menebar Ranjau
Selain itu, Amnesty International juga menyebut, militer Myanmar turut melakukan penanaman ranjau di sekitar perbatasan Myanmar - Bangladesh yang kerap dilintasi oleh gelombang pengungsi Rohingya.
Laporan itu merupakan hasil temuan tim pencari fakta di Bangladesh yang dipimpin oleh Tirana Hassan, Direktur Penanggulangan Krisis Amnesty International. Hasil temuan itu disampaikan oleh Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
"Menurut laporan tim kami yang dipimpin oleh Tirana Hassan, gelombang pengungsi dari Rakhine ke Bangladesh terus berdatangan," jelas Usman.
"Tim juga menemukan ranjau darat anti-personel yang sengaja ditanam oleh militer Myanmar untuk mencegah kembalinya pengungsi Rohingya ke negara bagian Rakhine," tambahnya.
Menurut Usman, ranjau itu telah memakan korban, baik luka hingga tewas.
"Kami mendapat laporan mengenai temuan kaki seorang perempuan. Dan anak-anak yang berusia 15-17 tahun yang tewas akibat ranjau."
Hal itu juga didukung dengan hasil temuan tim pencari fakta Amnesty International di Myanmar yang dipimpin oleh Laura Haigh.
"Kami memiliki bukti bahwa militer Myanmar telah menanam ranjau di suatu petak tanah kecil di perbatasan Myanmar - Bangladesh. Saksi mata juga melihat tentara melakukan patroli di sekitar pagar pembatas untuk kemudian menggali tanah. Diduga menanam ranjau," jelas Haigh.
Saat ini, PBB memperkirakan telah lebih dari 370.00 warga sipil terdampak konflik melarikan diri dari Rakhine ke Bangladesh sejak 25 Agustus. Puluhan ribu lainnya diperkirakan mengungsi dan dalam pelarian domestik.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement