Liputan6.com, Rakhine - Di Medan, Indonesia, sejumlah peserta aksi bela Rohingya pada 6 September lalu terlihat membawa spanduk bertuliskan 'Aung San Suu Kyi, The Real Terrorist'.
Sementara di Peshawar, Pakistan, peserta unjuk rasa untuk tajuk demonstrasi yang serupa, memegang spanduk yang menampilkan wajah Suu Kyi, dilengkapi keterangan yang bertuliskan 'The Nobel Devil, Stop Killing Muslims in Burma'.
Advertisement
Baca Juga
Di negara lain, ada pula peserta aksi bela Rohingya yang membakar dan mengelu-elukan nama Aung San Suu Kyi, sembari mencaci karena putri mendiang Jenderal Aung San itu dianggap bungkam menyikapi krisis Rohingya.
Begitulah pamor sang pemenang Nobel Perdamaian di mata dunia, yang kini juga menganggap Suu Kyi sebagai subjek paling bertanggung jawab atas krisis kemanusiaan yang menimpa etnis minroitas tersebut.
Akan tetapi, ketika riuh kritik mengalir deras kepada Suu Kyi, ada sosok jenderal militer Myanmar yang diyakini merupakan dalang paling bertanggung jawab atas gelombang kekerasan di Burma, termasuk Rakhine.
Ia adalah Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Lahir pada 1956 dan dibesarkan di Dawei, sang jenderal sempat menikmati pendidikan hukum di Yangon sebelum mengabdi pada militer.
Seperti dikutip dari The Irrawaddy, Minggu (10/9/2017), kiprahnya di angkatan bersenjata melejit pada 2009, setelah berhasil menumpas gerakan pemberontak Myanmar Nationalities Democratic Alliance Army di Kokang.
Peristiwa itu mengakibatkan eksodus 37.000 warga sipil ke China serta mengawali kecurigaan PBB bahwa sang jenderal melakukan kejahatan perang dan kemanusiaan pada operasi tersebut.
Dua tahun berikutnya, tepatnya pada 30 Maret 2011, ia diangkat menjadi Commander in Chief (Panglima) Angkatan Bersenjata Myanmar, menggantikan Jenderal Than Shwe.
Than Shwe merupakan kepala negara terakhir era junta Myanmar, sebelum dilengserkan lewat reformasi 30 Maret 2011, hari yang sama ketika Aung Hlaing menjabat sebagai Panglima.
Akan tetapi, meski Myamnar telah melakukan reformasi dari sistem junta, Jenderal Aung Hlaing menekankan, militer akan tetap melakukan campur tangan besar dalam politik Myanmar.
"Tentara yang duduk sebagai legislator dapat bekerja untuk kepentingan terbaik negara dengan melakukan tugas politik nasional," jelas Aung Hlaing seperti dikutip dari Associated Press.
Militer memiliki 56 kursi dari total 224 di House of Nationalities (Senat) dan 110 kursi dari total 440 di Region Assembly (Kongres).
Kehadiran Jenderal Aung Hlaing yang dominan, jumlah kursi untuk militer yang cukup signifikan di parlemen, dan kuatnya hubungan tentara yang aktif di politik dengan petinggi eks-junta militer, diyakini membuat angkatan bersenjata Myanmar memiliki pengaruh yang sangat kuat di pemerintahan.
"Tugas tentara (Myanmar) adalah untuk melayani negara dalam setiap peran apa pun," jelas Aung Hlaing dalam sebuah wawancara dengan BBC pada 2015.
Sang Jenderal, Dalang Krisis Rohingya?
Kini diduga kuat, dominasi Jenderal Aung Hlaing yang didukung oleh kuatnya pengaruh militer di pemerintahan membuat Aung San Suu Kyi --yang sejatinya merupakan pemimpin de facto Myanmar-- tak berdaya menghentikan kiprah kekerasan tentara di Rakhine.
"Sebagai pimpinan tertinggi unsur militer dan memiliki suara mutlak di parlemen, tentunya akan sangat berpengaruh terhadap keputusan yang akan diambil oleh State Councellor (Suu Kyi), terutama dalam hal penanganan masalah gangguan keamanan," ujar Duta Besar Indonesia untuk Myanmar Ito Sumardi, lewat keterangan tertulis kepada Liputan6.com.
"Ia (Aung Hlaing) adalah tokoh militer yang tentunya memiliki kedekatan dengan pemerintah lama (junta), dan saat ini sangat berperan untuk menjalankan pengaruh militer dalam politik nasional Myanmar," tambahnya.
Sementara itu, menurut organisasi pegiat HAM, Burma Campaign, sang jenderal memiliki kuasa untuk menghentikan tindak kekerasan militer terhadap Rohingya.
"Hanya ada satu orang di Burma yang dapat memerintahkan tentara untuk menghentikan pembunuhan dan aksi kekerasan terhadap etnis Rohingya, ia adalah Min Aung Hlaing," jelas Mark Farmaner, Direktur Burma Campaign, organisasi pegiat HAM yang berbasis di Inggris.
Sang jenderal juga disebutkan sebagai salah satu figur yang menyuburkan persekusi, diskriminasi, dan dugaan tindak kekerasan yang dilakukan oleh militer terhadap kelompok etnis Rohingya.
"Biarkan dunia tahu bahwa tidak ada etnis Rohingya di negara kita," kata Aung Hlaing seraya menegaskan status tanpa kewarganegaraan etnis tersebut di hadapan para prajurit Myanmar dalam sebuah pidato Hari Angkatan Bersenjata pada 27 Maret 2017, seperti dikutip dari Al Jazeera.
Sementara, pada 25 Agustus 2017, hari dan pekan yang sama ketika konflik bersenjata kembali meletus di Rakhine, sang jenderal menegaskan komitmennya bahwa Rohingya bukanlah warga Myanmar.
"Penyebutan mereka sebagai warga harus diselaraskan dengan hukum yang ada di Myanmar. Etnis itu (Rohingya) tidak terkategori dan teridentifikasi dalam hukum negara. Mereka yang tidak teridentifikasi, harus dibatasi," jelasnya seperti dikutip dari media Myanmar, Mizzima.com.
Hasil laporan Human Rights Watch dan Burma Campaign menyebut bahwa sebagai komandan angkatan bersenjata Myanmar, Aung Hlaing diyakini bertanggung jawab atas aksi tentara yang melakukan tindakan kekerasan dan pembunuhan ekstra-yudisial terhadap warga sipil etnis Rohingya.
Tim pencari fakta PBB kini juga tengah melakukan investigasi atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan, yang dilakukan militer Myanmar yang dipimpin oleh Aung Hlaing terhadap etnis Rohingya.
Burma Campaign juga menekankan agar komunitas internasional juga harus menyoroti Jenderal Aung Hlaing, figur yang diyakini sebagai dalang utama atas rangkaian kekerasan yang terjadi di Rakhine.
"Min Aung Hlain adalah hambatan besar bagi reformasi HAM dan demokrasi di Burma. Ia memerintahkan prajuritnya membantai, lalu menembak warga sipil tak bersenjata dan bayi, serta memerkosa warga sipil," demikian menurut pernyataan tertulis dari Burma Campaign.
Saksikan Video Pilihan di Bawah ini:
Advertisement