Liputan6.com, Washington DC - Skandal Cambridge Analytica, yang melibatkan pencurian data pribadi penggunaan Facebook, memicu naiknya popularitas tanda pagar (tagar) #DeleteFacebook di Twitter sejak Selasa, 20 Maret 2018.
Tagar tersebut pertama kali ditwit oleh salah seorang pendiri WhatsApp, Brian Acton, dari akun Twitter atas namanya yang belum terverifikasi. Demikian dilansir dari Cnet.com pada Rabu (21/3/2018).
Tagar #DeleteFacebook mendunia karena berkaitan dengan terkuaknya skandal pencurian data pribadi pengguna Facebook oleh konsultan politik Cambridge Analytica, yang dituding menggunakannya sebagai upaya memenangi Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat 2016 lalu.
Advertisement
Hingga berita ini ditulis, tagar #DeleteFacebook telah hampir menyentuh angka 1.000 kali unggah pasca-twit pertamanya pada Selasa malam waktu Amerika Serikat (AS), atau pagi hari waktu Indonesia bagian barat.
Baca Juga
Kicauan yang diunggah oleh Acton itu dianggap penting mengingat posisi WhatsApp sebagai aplikasi berkirim pesan terbesar di dunia saat ini. Penjualannya ke Facebook pada 2014 lalu bernilai fantastis, yakni mencapai hampir US$ 19 miliar, atau sekitar Rp 261 triliun.
Facebook telah mengalami kecaman luas usai munculnya pemberitaan skandal Cambridge Analytica oleh The New York Times, The Guardian, dan stasiun televisi Channel 4.
Terungkapnya skandal ini mencuatkan nama Aleksandr Kogan, analis utama pada firma konsultan politik Cambridge Analytica, yang membocorkan informasi lebih dari 50 juta pengguna Facebook untuk kepentingan politis di beberapa negara.
Konon, Facebook telah mengetahui upaya pencurian tersebut pada 2015, tapi belum juga membahasnya secara terbuka hingga mulai terkuaknya skandal terkait pada akhir pekan lalu.
Simak video tentang ulasan bocornya data Facebook oleh Tim Digital Forensik berikut:
Kongres AS Desak Bos Facebook Beri Kesaksian
Sementara itu, Senator Amerika Serikat (AS) untuk Komite Kehakiman, Dianne Feinstein, yang berasal dari Partai Demokrat, mengatakan bahwa pemimpin Facebook, Mark Zuckerberg, harus memberi kesaksian di hadapan Kongres mengenai layanan pengelolaan data para penggunanya.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Feinstein pada Selasa, 20 Maret 2018, terkait menguaknya skandal Cambridge Analytical yang diduga diam-diam berperan dalam memenangi Donald Trump dalam Pilpres AS 2016 lalu.
Dilansir dari Channel News Asia pada Rabu (21/3/2018), Feinstein menyebut sebanyak 50 juta pengguna Facebook kehilangan data pribadinya di Facebook.
Hal itu dikemukakan lantaran munculnya desakan dari para anggota Konggres, yang meminta raksasa media sosial itu menjelaskan dugaan penambangan data pribadi penggunanya untuk kampanye Donald Trump pada Pilpres AS terakhir.
"Saya pikir kita harus menghadirkan pemimpin Facebook, bukan pengacara mereka, bukan perwakilan mereka, tetapi orang nomor satu di sana … datang, menyatakan jika mereka benar-benar siap untuk memimpin industri (teknologi informasi), sekaligus melakukan kontrol ketat agar semua ini tidak lagi terjadi,” jelas Feinstein di hadapan media.
Advertisement