Skandal Cambridge Analytica: Bobol Facebook, Intel Israel, dan Gadis Ukraina

Perusahaan konsultan politik asal Inggris, Cambridge Analytica menghadapi tuduhan serius, yang diduga melibatkan pencurian data Facebook hingga taktik kotor.

oleh Elin Yunita KristantiRizki Akbar Hasan diperbarui 20 Mar 2018, 19:29 WIB
Diterbitkan 20 Mar 2018, 19:29 WIB
Cambridge Analytica Alexander Nix
Chief Executive Officer Cambridge Analytica Alexander Nix saat KTT Web 2017 di Lisbon, Portugal, 9 November 2017. (PATRICIA DE MELO MOREIRA/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan konsultan politik asal Inggris, Cambridge Analytica sedang menghadapi tuduhan serius. Mereka diduga mencuri informasi dari 50 juta profil pengguna Facebook tanpa izin, dalam apa yang disebut sebagai kasus pembobolan data terbesar di perusahaan besutan Mark Zuckerberg itu.

Data-data tersebut diduga kuat digunakan untuk membantu mereka merancang perangkat lunak (software) untuk memprediksi sekaligus memengaruhi pilihan para pemilih di bilik suara.

Cambridge Analytica pernah disewa jasanya dalam kampanye Donald Trump di Pilpres AS 2016.

Tak hanya itu, sejumlah taktik kotor juga diduga dilakukan perusahaan tersebut.

Skandal Cambridge Analytica terkuak berkat investigasi reporter media Inggris, Channel 4 News yang bertemu dengan sejumlah eksekutifnya dengan berpura-pura sebagai klien potensial dari Sri Lanka.

Berkedok perwakilan dari sebuah keluarga tajir di Sri Lanka, wartawan yang menyamar mengaku ingin mengubah hasil pemilu di negara Asia Selatan itu.

Dalam rekaman kamera tersembunyi, CEO Cambridge Analytica Alexander Nix terekam membeberkan cara kerja perusahaannya.

Meski awalnya membantah bahwa Cambridge Analytica menggunakan teknik 'jebakan' untuk lawan, Nix dalam rekaman kemudian justru membeberkan trik-trik 'kotor' yang lazim mereka gunakan.

Seperti dikutip dari News.com.au, Selasa (20/3/2018), Nix juga berkoar bahwa adalah hal yang mudah untuk menyebarkan informasi pernyataan seorang politisi agar dipercaya banyak orang, meski itu sejatinya tak benar.

"Terdengar mengerikan, namun informasi-informasi tersebut tak perlu sepenuhnya benar, yang penting mereka (pemilih) meyakininya," kata CEO Cambridge Analytica, Alexander Nix dalam rekaman yang beredar.

"Kami menggunakan perusahaan-perusahaan Inggris, beberapa perusahaan Israel," kata Nix. "Yang dari Israel, sangat efektif untuk mengumpulkan data intelijen."

Menurut media Inggris, Guardian, Nix juga menjelaskan secara rinci tentang layanan yang diberikan para eks mata-mata yang mereka pekerjakan. "Kami punya dua projek saat ini, yang melibatkan riset mendalam tentang pihak oposisi dan menyediakan sejumlah sumber...materialy ang bersifat sangat merusak, yang akan kami putuskan bagaimana cara untuk menerapkannya dalam kampanye," kata dia seperti dikutip dari Haaretz.

CEO Cambridge Analytica mengklaim mampu merekam pihak oposisi sedang menerima suap, atau menggunakan jasa gadis cantik pekerja seks komersial (PSK) asal Ukraina untuk menjebak target.

Perusahaan itu juga mengklaim bisa menganalisis data konsumen, termasuk dari media sosial dan menggelar jajak pendapat atau pooling -- untuk menyampaikan materi pemasaran ke orang-orang yang jadi sasaran.

Cambridge Analytica mengaku pernah bekerja di Italia, Kenya, Afrika Selatan, Kolombia and Indonesia.

Curi Data Facebook Lewat Kuis Kepribadian

Facebook
Ilustrasi Facebook (iStockPhoto)

Media New York Times dan The Observer of London melaporkan, Cambridge Analytica diduga mengeksploitasi informasi dari 50 juta pengguna Facebook dan menggunakannya untuk mengembangkan teknik yang bisa digunakan untuk mendukung kampanye Donald Trump dalam Pilpres 2016. Tujuannya, untuk mempengaruhi para pemilih.

Perusahaan yang terafisilasi dengan Strategic Communication Laboratories (SCL) itu punya kantor di London, New York, Washington DC, juga di Brasil dan Malaysia. Sementara, miliarder pengelola investasi global (hedge fund) sekaligus pendukung Donald Trump, Robert Mercer adalah pemiliknya.

Cambridge Analytica memiliki keterkaitan dengan dengan mantan kepala penasihat Trump Steve Bannon dan manajer kampanye Trump 2020, Brad Parscale.

Seperti dikutip dari thejournal.ie, Psikolog Universitas Cambridge, Aleksandr Kogan menciptakan aplikasi prediksi kepribadian, thisisyourdigitallife, yang diunduh oleh 270.000 orang.

Aplikasi tersebut memungkinkan Kogan untuk mengakses informasi seperti konten seperti apa yang disukai pengguna Facebook, asal kota yang mereka dalam data profil.

Informasi-informasi tersebut kemudian diteruskan ke Strategic Communication Laboratories (SCL) dan Cambridge Analytica.

Kepada saluran televisi Kanada, CBC, Christopher Wylie, mantan karyawan Cambridge Analytica mengaku, perusahaan tersebut menggunakan data-data pribadi yang didapatkan tanpa persetujuan.

Itu adalah salah kasus pencurian data paling parah dalam sejarah Facebook.

Sejak kabar mengejutkan itu menyeruak, Facebook telah memblokir laman Strategic Communication Laboratories (SCL) dan Cambridge Analytica, juga akun milik Christopher Wylie dan Aleksandr Kogan.

Pihak Facebook berpendapat bahwa aplikasi thisisyourdigitallife berstatus resmi, namun menuduh Kogan kemudian melanggar persyaratan Facebook dengan mengirimkan data ke SCL atau Cambridge Analytica.

Perusahaan raksasa media sosial itu mengaku telah mengetahui insiden yang terjadi pada 2016 tersebut dan meminta semua pihak yang terkait untuk menghapus data-data yang mereka dapatkan.

"Klaim bahwa ini adalah pembobolan data sepenuhnya salah," kata pihak Facebook, Sabtu 17 Maret 2018.

Perusahaan tersebut mengatakan, pengguna aplikasi diduga dengan sadar memberikan informasi mereka.

Meski demikian, wakil kepala bagian Legal Facebook, Paul Grewal mengaku pihaknya terus menyelidiki klaim tersebut.

"Kami akan mengambil langkah hukum bila perlu untuk menuntut pertanggungjawaban dan akuntabilitas mereka atas perilaku apapun yang melawan hukum," ujar pihak Facebook, seperti dikutip VOA.

Sementara, pihak Cambridge Analytica membantah keras tuduhan yang diarahkan pada mereka.

Perusahaan itu mengaku telah menghapus data-data Facebook dari pihak ketiga pada 2014, setelah mengetahui bahwa informasi-informasi tersebut tak memenuhi aturan.

Saksikan juga video menarik di bawah ini: 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya