Liputan6.com, Washington DC - Apa yang terbesit dalam pikiran Anda saat mendengar kata Black Friday? Bagi sebagian besar orang di dunia, Balck Friday adalah hari di saat orang-orang bisa berbelanja dalam jumlah banyak dengan harga 'miring'.
Namun untuk beberapa orang, gagasan bahwa Black Friday harus didedikasikan untuk berbelanja, adalah ofensif. Rupanya, tidak semua masyarakat Amerika setuju untuk pergi ke supermarket atau pusat perbelanjaan, ketika hari setelah Thanksgiving itu tiba.
Advertisement
Baca Juga
Menurut artikel yang dikutip dari Washington Post, Sabtu (24/11/2018), setidaknya ada 5 mitos yang melekat pada Black Friday. Mitos-mitos ini erat kaitannya dengan ritel atau budaya penduduk Amerika.
Saksikan video pilihan berikut ini:
1. Penawaran Terbaik dari Seluruh Toko
Sekitar setengah dari populasi orang-orang di Amerika, berbelanja pada akhir pekan setelah Thanksgiving pada tahun lalu.
Dalam sebuah survei, sepertiga konsumen mengatakan bahwa mereka memborong pada Black Friday agar bsa mendapatkan barang-barang mahal dengan harga terjangkau, karena adanya diskon.
Sedangkan spertiga lainnya menyebut bahwa mereka ingin mendapatkan kesempatan untuk menemukan transaksi yang jarang ada setiap saat sepanjang tahun.
Memang benar bahwa beberapa barang dapat ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit pada Black Friday daripada pada hari lainnya.
Ana Serafin Smith dari National Retail Federation mengatakan, pelanggan jarang melihat mesin cuci, mesin pengering, dan televisi layar besar, sehingga item tersebut mendapatkan diskon.
Tapi kesepakatan itu tidak berlaku untuk semua benda yang dijual. Perusahaan menggunakan pendekatan loss leader selama Black Friday. Itu artinya, mereka menjual beberapa barang tertentu dengan kerugian, hanya demi membuat masyarakat masuk ke dalam toko pada Black Friday.
"Anda membeli satu barang murah, lalu Anda membeli lima barang yang tidak Anda butuhkan dengan harga penuh," kata Allen Adamson dari Stern School of Business, sebuah universitas di New York. Adamson menambahkan bahwa pembeli sering salah berasumsi bahwa segala sesuatu sedang diobral.
Penjual menerapkan taktik yang dapat membuat diskon pada saat Black Friday tampak lebih baik, yakni meningkatkan harga reguler dari suatu barang pada hari-hari sebelum penjualan, atau mereka cuma menjual barang-barang dengan kualitas rendah, seperti televisi yang diproduksi khusus untuk Black Friday.
Advertisement
2. Hari Terbaik untuk Berbisnis
Dengan adanya pemberitaan di banyak media, tentang 'hujan diskon' pada hari Black Friday, orang jadi mudah percaya bahwa pendapatan hari itu adalah yang tertinggi sepanjang tahun untuk sebuah perusahaan.
Satu cerita nyata yang banyak beredar dipublik tentang Black Friday adalah ketika peritel melihat keuangan mereka menjadi merah dan hitam.
Namun biasanya, Sabtu terakhir sebelum Natal --yang dikenal dalam dunia bisnis sebagai Super Saturday-- adalah hari penentuan rekor untuk penjualan ritel.
Pada Black Friday, banyak pedangang yang mengadopsi taktik penjualan serupa, seperti pembukaan awal, yang mengurangi efektivitas mereka.
"Mereka harus melakukannya agar tetap bisa bersaing," kata Adamson. "Tetapi itu tidak akan membuat mereka maju. Sulit untuk menang pada Black Friday, bila Anda adalah peritel. Satu-satunya yang bisa Anda harapkan hanyalah tidak kehilangan pelanggan atau penjualan."
3. Pembeli Berebut demi Mendapakan Barang Terbaik
Berdasarkan pencarian di internet, ketika Anda mengetik Black Friday, maka akan muncul banyak video yang menampilkan perkelahian terburuk sepanjang sejarah Black Friday.
Pembeli tak jarang saling mencakar dan berebut dengan ganasnya demi mendapatkan video game dan lemari es.
"Salah satu hal yang paling identik dengan budaya Amerika saat Black Friday adalah cara orang-orang saat menabung demi mendapatkan barang-barang material yang akan mereka perjuangkan secara langsung di toko-toko besar," kata salah satu penulis terkemuka Negeri Paman Sam, Philly Voice. "Mereka hanya mencoba untuk menghemat uang."
Namun faktanya, perkelahian yang kerap terjadi saat Black Friday, umumnya tidak ada hubungannya dengan kesepakatan dari penjualan barang-barang yang ditawarkan dari toko.
Contohnya saja, seperti yang diberitakan oleh New York Post: Dua gadis remaja saling pukul di sebuah toko Buckle di mal Colorado. Mereka tidak memperebutkan barang dagangan, kata polisi, melainkan karena masalah pribadi.
Surat kabar itu juga melaporkan adanya beberapa insiden penembakan dan penusukan, yang semuanya terjadi di tempat parkir dari sebuah pusat perbelanjaan di Los Angeles.
Pemerintah lokal dengan cepat menentukan bahwa kekerasan itu tidak ada hubungannya dengan Black Friday.
Advertisement
4. Calon Pembeli Rela Antre Berjam-Jam di Luar Toko
Mitos lain dari Black Friday yakni orang-orang rela bangun pagi demi mendapatkan barang diskonan lebih cepat. Memang, banyak peritel yang membuka toko mereka lebih awal pada hari itu, seperti Macy's, Lowe dan Kmart yang sudah berjualan pada pukul 06.00 waktu setempat.
Sedangkan toko peralatan olahraga Sears and Dick’s Sporting Goods mulai membuka pintu tokonya pada pukul 05.00 pada tahun ini.
"Orang-orang rela mengantre berjam-jam di depan toko, sebelum toko buka, hanya demi menjadi yang pertama mendapatkan barang bagus di toko, sehingga mereka dapat membeli TV seharga 1.000 dolar Amerika dengan diskon 50 persen," menurut How Stuff Works.
Meskipun ada calon-calon pembeli yang sudah berdiri di depan toko sebelum fajar menyingsing, namun mereka masih bisa dikalahkan oleh pembeli yang muncul lebih awal: sehari sebelumnya atau saat Thanksgiving.
Sebuah survei tentang Black Friday 2017 yang dilakukan oleh National Retail Federation menemukan bahwa 11% konsumen berbelanja sebelum jam 5 sore pada Thanksgiving, dan 11% lainnya pada jam 6 sore. Seperempatnya dimulai pada hari Jumat pukul 10 pagi atau lebih awal.
Sedangkan menurut sebuah studi yang dijalankan oleh Influenster mengungkapkan bahwa pada tahun ini, hanya sepertiga dari responden yang berniat berbelanja pada Black Friday, untuk bangun lebih awal dari jam 5 pagi. Sisanya masih memilih untuk tidur.
5. Dikalahkan oleh Pelapak Online
"Black Friday sekarat di era Amazon," Business Insider menyatakan. Media ini melanjutkan, yang mengutip seorang analis ritel, dengan menuliskan bahwa "seluruh ide dan konsep penawaran saat Black Friday di toko-toko akan berkurang seiring waktu."
Memang, 99 juta orang berbelanja di toko pada akhir pekan saat Thanksgiving pada tahun 2016, dibandingkan dengan 108 juta yang berbelanja online atau daring. Karena jumlah pembeli yang menginjakkan kaki di toko-toko kian menurun, maka penjualan online pun meningkat, naik dari US$ 3,34 miliar pada tahun 2016 menjadi US$ 5 miliar tahun lalu.
Tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi toko-toko yang menjual bata dan mortir. Dalam survei yang dilakukan oleh Bisnow, tentang masa depan Black Friday untuk ritel bata dan mortir, lebih dari 30 ahli menyusun gambaran yang lebih kompleks.
Mereka menunjukkan daya tarik yang bertahan lama, ketika belanja di toko pada Black Friday.
"Ini adalah ritual bagi banyak keluarga dan teman-teman, serta suatu bentuk hiburan. Toko-toko itu menawarkan kemudahan pengembalian, yang tidak banyak dilakukan oleh penjual online," tulis penelitian tersebut.
Advertisement