Liputan6.com, Tbilisi - Para penduduk di Georgia kembali mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memilih presiden mereka dalam putaran kedua, pada hari ini, Rabu 28 November 2018.
Pemilu tahun ini 'mengadu' seorang kandidat yang didukung oleh partai berkuasa, Salome Zurabishvili (pendukung hubungan Moskow dan Barat), dan pendukung garis keras negara Barat, Grigol Vashadze.
Vashadze adalah mantan Menteri Luar Negeri dan kandidat untuk oposisi utama Georgia, United National Movement (UNM). Partai ini didirikan oleh mantan Presiden Mikheil Saakashvili, yang dijatuhi hukuman in absentia pada awal tahun ini karena menyalahgunakan kekuasaan.
Advertisement
Sementara itu, Zurabishvili juga merupakan mantan Menteri Luar Negeri Georgia dan calon independen, namun ia didukung oleh partai berkuasa di negara pecahan Soviet tersebut. Partai ini didirikan oleh mantan Perdana Menteri Bidzina Ivanishvili.
Untuk bisa menang, salah satu calon presiden (capres) harus mengantongi lebih dari 50% suara. Jika tidak, akan ada pemungutan suara lagi. Demikian seperti dikutip dari Deutsche Welle, Rabu (28/11/2018).
Zurabishvili mengambil garis pragmatis. Ia menyeimbangkan aspirasi Georgia agar lebih dekat dengan Barat, demi menghindari pertentangan Moskow.
Sedangkan bila Vashadze menang, dia kemungkinan akan menggunakan kekuasaan kepresidenan untuk mendorong integrasi dengan aliansi NATO yang dipimpin AS dan Uni Eropa. Ini adalah masalah sensitif di Georgia.
Sebagaimana diketahui, kewenangan presiden di Georgia kini telah dikurangi oleh perubahan konstitusi. Karenanya, sebagian besar kekuasaan ditempatkan di tangan perdana menteri, yang sekarang dipimpin oleh seorang loyalis Georgian Dream, Mamuka Bakhtadze.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Diawasi Ketat
Pada putaran pertama, Zurabishvili (mantan diplomat dan Menteri Luar Negeri Georgia yang menjabat dari 2004-2005) menerima 38,7% suara pada 28 Oktober.
Sedangkan saingannya tertinggal satu poin. Vashadze meraih 37,7% suara. Dia adalah seorang Menteri Luar Negeri pada 2008-2012 di pemerintahan pro-Barat yang jelas yang berkuasa ketika konflik dengan Rusia pecah di wilayah yang terbelah Moskow.
Pemilu putaran kedua diadakan di bawah pengawasan ketat, dari oposisi dan pengamat internasional, agar tak ada lagi laporan yang menyebut bahwa partai berkuasa menggunakan kontrol atas mesin negara untuk membantu Zurabishvili menang.
Pengamat internasional yang berada di lapangan untuk melihat langsung proses pemungutan suara putaran pertama mengatakan, ada beberapa penyimpangan yang terjadi. Seperti misal penyalahgunaan sumber daya negara, penggunaan media massa pribadi, dan sejumlah pemilih palsu.
Advertisement