Benarkah Manusia Menjadi Penyebab Utama Kematian Vertebrata di Dunia?

Manusia disebut menjadi penyebab terbesar atas kepunahan hewan-hewan vertebrata di dunia.

oleh Afra Augesti diperbarui 13 Feb 2019, 20:40 WIB
Diterbitkan 13 Feb 2019, 20:40 WIB
Ilustrasi beruang cokelat langka marsica (Ursus arctos marsicanus)
Ilustrasi beruang cokelat langka marsica (Ursus arctos marsicanus) (Wikipedia/Creative Commons)

Liputan6.com, Jakarta - Menurut sebuah survei baru, lebih dari seperempat dari semua kematian vertebrata di dunia disebabkan oleh manusia.

Para peneliti di SUNY College of Environmental Science and Forestry (ESF) menganalisis penyebab kematian yang dilaporkan untuk 42.755 hewan, sedangkan 1.114 studi telah dipublikasikan. Riset mereka menunjukkan, manusia adalah objek yang harus disalahkan atas 28 persen dari semua kematian vertebrata di darat.

Para ilmuwan menerbitkan hasil survei mereka dalam jurnal Global Ecology and Biogeography.

"Kita semua tahu manusia dapat memiliki efek besar pada satwa liar. Bahwa kita hanya satu di antara lebih dari 35.000 spesies vertebrata yang hidup di seluruh dunia," kata profesor ESF, Jerrold L. Belant, mengatakan dalam rilis berita, yang dikutip dari situs UPI.com, Rabu (13/2/2019).

"Namun mengetahui fakta bahwa kita-lah yang bertanggung jawab atas lebih dari seperempat kematian vertebrata, memberikan perspektif tentang seberapa besar dampak sebenarnya yang kita berikan," imbuhnya.

"Ketika Anda juga mempertimbangkan pengembangan kota dan memutuskan untuk membabat hutan atau lahan lainnya yang bisa mengurangi habitat, fakta ini kian menjelaskan bahwa manusia memang memiliki efek yang tidak proporsional pada vertebrata darat," ucapnya lagi.

Kematian hewan yang disurvei, tercatat ada di seluruh benua, antara lain Amerika Utara dan Selatan, Eropa, Asia, Afrika, dan Oseania, dan menampilkan beragam spesies, termasuk mamalia, burung, reptil, dan amfibi.

Para ilmuwan mendata temuan necropsy (pemeriksaan dan diseksi jasad untuk menentukan penyebab kematian atau perubahan yang disebabkan oleh penyakit) yang direkam antara tahun 1970 dan 2018.

Semua jenis kematian yang dilaporkan dalam studi itu melibatkan hewan yang sebelumnya telah ditandai atau dikelompokkan.

Tentu saja, tidak semua necropsy bersifat konklusif. Para ilmuwan harus mensurvei laporan tentang 120.657 kematian hewan untuk mengidentifikasi 42.000 kematian hewan lainnya.

Hilangnya habitat, terbatasnya keragaman genetik dan populasi mangsa yang menyusut, dapat membuat hewan lebih rentan terhadap kepunahan.

Temuan baru ini menggemakan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa manusia memiliki dampak yang menghancurkan pada sejumlah besar hewan.

Konsumsi berlebihan manusia, polusi dan penghancuran habitat, telah mengurangi populasi satwa-satwa itu secara drastis.

"Hewan yang lebih besar lebih mungkin dibunuh oleh manusia daripada spesies yang lebih kecil," kata Hill.

Manusia sudah memberikan efek buruk pada 75 persen daratan di Bumi. Ketika manusia terus menebangi pohon-pohon di hutan dan angka kelahiran terus naik, maka akan lebih banyak hewan yang menghadapi dampak buruk dari manusia.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Kawanan Beruang Kutub Menginvasi Sebuah Kota di Rusia

Langkah Pertama Bayi Beruang Kutub
Bayi beruang kutub ditemani sang induk menunjukkan langkah pertamanya di luar kandang kebun binatang di Gelsenkirchen, Jerman, 13 April 2018. Bayi beruang itu tampak sedikit malu-malu saat menjelajahi kandangnya. (AP Photo/Martin Meissner)

Sementara itu, sebanyak 52 beruang kutub (Ursus maritimus) yang diduga kelaparan telah menduduki Guba, sebuah pemukiman terpencil di kepulauan Arktik Rusia.

Hewan-hewan itu dilaporkan menyerang penduduk setempat, mengobrak-abrik tempat pembuangan sampah dan menerobos masuk ke dalam bangunan tempat tinggal warga, menurut pernyataan pemerintah yang diterjemahkan dari bahasa Rusia dan dirilis akhir pekan ini.

Invasi besar-besaran beruang kutub itu, mendorong pejabat daerah untuk menetapkan status darurat sejak hari Sabtu, 9 Februari 2019.

"Orang-orang khawatir, mereka takut meninggalkan rumah ... cemas melihat anak-anak mereka pergi ke sekolah," ungkap Zhigansha Musin, seorang pengurus sekolah setempat, seperti dikutip dari Live Science, Selasa 12 Februari 2019. "Secara konstan di desa ini ada enam hingga 10 beruang kutub."

Belushya Guba adalah pemukiman yang dihuni sekitar 2.000 orang di kepulauan Novaya Zemlya, Rusia. Kawasan ini terkenal karena menjadi lokasi uji bom nuklir apokaliptik pada masa lalu.

Orang-orang di sekitar daerah tersebut mengaku bahwa tidak jarang melihat beruang kutubberkeliaran di dekat pantai selatan, tempat satwa-satwa itu secara rutin berkumpul di musim dingin untuk berburu anjing laut, menurut situs berita pemerintah, TASS.

Namun, menipisnya lapisan es laut karena pemanasan global, kemungkinan menjadi penyebab utama beruang-beruang tersebut menggeruduk ke pedalaman untuk mencari makanan lain, menurut para peneliti dari A.N. Severtsov Institute of Ecology and Evolution, cabang dari Russian Academy of Sciences.

Daya pikat limbah yang dapat dikonsumsi di tempat sampah dan tempat pembuangan akhir di Belushya Guba, kemungkinan menghentikan beruang dari migrasi lebih jauh ke utara, kata para ilmuwan.

Mirisnya, kawanan beruang kutub itu tak hanya mengais sisa makanan di tempat sampah. Foto dan video yang diunggah di Twitter selama akhir pekan kemarin menunjukkan, beruang-beruang itu berjalan melalui halaman sekolah yang kosong. Bahkan sampai menyusup ke koridor gedung perkantoran untuk mencari makanan.

Untuk melindungi kota dan diri mereka sendiri, penduduk setempat telah membangun pagar tambahan di sekitar sekolah dan situs lainnya.

Sementara itu, patroli khusus diadakan untuk menakuti beruang dengan mobil dan anjing, meski langkah-langkah ini tidak membuahkan hasil nyata.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya