Jubir Parlemen Korsel Sebut Jepang Pencuri Kurang Ajar, Mengapa?

Juru bicara parlemen Korea Selatan menyebut Jepang sebagai pencuri kurang ajar. Ini alasannya.

oleh Siti Khotimah diperbarui 18 Feb 2019, 18:02 WIB
Diterbitkan 18 Feb 2019, 18:02 WIB
Ilustrasi bendera Korea Selatan (AP/Chung Sung-Jun)
Ilustrasi bendera Korea Selatan (AP/Chung Sung-Jun)

Liputan6.com, Seoul - Juru Bicara Majelis Nasional Korea Selatan, Moon Hee Sang menyebut Jepang sebagai "pencuri kurang ajar" karena menyuruhnya meminta maaf atas sebuah pernyataan beberapa waktu lalu.

Dalam sebuah wawancara dengan asosiasi media Korea Selatan yang dilaporkan pada Senin, 18 Februari 2019, Moon mengecam sikap Jepang yang menyuruhnya menarik kembali pernyataan, terkait permohonan agar Kaisar Akihito berjabat tangan dan meminta maaf secara langsung kepada korban budak seks atau Comfort Women.

Sebelumnya, Moon menginginkan simbol pemersatu Jepang melakukannya sebelum turun tahta pada akhir April 2019. Ia juga meminta Perdana Menteri Shinzo melakukan hal yang sama, dikutip dari Nikei Asian Review pada Senin (18/2/2019).

Istilah "pencuri kurang ajar" diberikan karena Negeri Sakura menyuruh Moon untuk meminta maaf, padahal menurutnya Jepang justru merupakan pihak yang bersalah dalam isu Comfort Women pada Perang Dunia II, khususnya tahun 1910 - 1945.

Moon juga mengatakan bahwa Perdana Menteri Shinzo Abe telah melakukan politisasi atas pernyatannya dalam rangka menarik dukungan domestik. Kasus ini tentu menghambat usaha kedua negara untuk berfokus pada pertemuan kedua Donald Trump dan Kim Jong-un demi perdamaian Asia Pasifik. 

Tokyo tidak tinggal diam atas pernyataan sang jubir parlemen Korea Selatan.

Kepala Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga menyayangkan Moon telah memberikan kembali pernyataan yang "tidak pantas."

Atas masalah ini, Jepang hendak mengambil "posisi tegas", sebagaimana dikatakan oleh juru bicara kabinet.

Simak pula video pilihan berikut:

Menlu Jepang Mengecam

Menlu Jepang temui Sekjen ASEAN
Menteri Luar Negeri Jepang Taro Kono didampingi Sekjen ASEAN, Lim Jock Hoi melihat-lihat Gedung Sekretariat ASEAN dalam kunjungannya di Jakarta, Selasa (26/6). Pertemuan ini menandai hubungan Jepang dan ASEAN yang ke-45. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya pada 10 Februari 2019, Menteri Luar Negeri Jepang, Taro Kono, mengingatkan petinggi parlemen Korea Selatan untuk tidak membuat pernyataan yang memecah belah.

Hal itu menanggapi sikap anggota MPR Korsel yang meminta Kaisar Akihito (85), berjabat tangan dengan korban Comfort Women --istilah untuk kasus perbudakan seksual yang dilakukan Jepang dalam Perang Dunia II--, serta meminta maaf atas nama "keturunan dari pelaku kejahatan".

"Bukankah dia putra pelaku kejahatan perang? Jadi jika dia memegang tangan orang tua (korban) dan mengatakan benar-benar meminta maaf, maka satu kata itu akan menyelesaikan masalah," tutur Moon.

Kono meminta Moon untuk berhati-hati dengan ucapannya. Karena menurutnya, kasus itu telah diselesaikan secara penuh dengan adanya kesepakatan 2015 lalu.

Dalam kesepakatan itu, Kono mengklaim bahwa Perdana Menteri Shinzo Abe meminta maaf dengan tulus dan memberikan kompensasi.

"Saya ingin dia (Moon) untuk membuat pernyataan berdasarkan persepsi yang benar di masa yang akan datang," ujar Kono.

Menanggapi hal itu, Menteri Luar Negeri Korea Selatan, Kang Kyung-wha, menyatakan bahwa Moon melakukan hal itu karena turut merasakan penderitaan korban.

Perlu diketahui bahwa di bawah kepemimpinan Presiden Moon Jae-in, Korsel ingin menegosiasikan kembali kesepakatan Comfort Women yang telah disetujui oleh pendahulunya.

Saat ini Seoul telah memutuskan untuk membubarkan sebuah yayasan yang didanai Jepang di mana merupakan pilar utama perjanjian 2015. Korea Selatan di bawah Moon Jae-in berkomitmen untuk memperbaiki sejarah bagi 23 korban perbudakan seksual.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya