Liputan6.com, Seoul - Korea Selatan dan AS telah menandatangani perjanjian pendahuluan baru pada Minggu 10 Februari 2019, yang menyepakati peningkatan jumlah yang akan dibayar oleh Seoul agar pasukan AS tetap berada di Korea Selatan.
Korea Selatan akan membayar sekitar $890 juta berdasarkan perjanjian jangka pendek yang baru itu, sekitar $60 juta lebih banyak dari tahun lalu.
Baca Juga
Berbeda dengan perjanjian sebelumnya, yang berlangsung selama lima tahun, perjanjian hari Minggu hanya ditetapkan untuk satu tahun, yang dapat membuat kedua negara kembali ke meja perundingan hanya dalam beberapa bulan mendatang.
Advertisement
Menurut kantor berita Korea Selatan, Yonhap seperti dikutip dari VOA Indonesia, Senin (11/2/2019), perjanjian itu masih harus disetujui oleh parlemen Korea Selatan, yang diperkirakan akan terjadi pada bulan April.
Kesepakatan baru ini merupakan kenaikan bayaran 8,2 persen oleh Seoul untuk membantu mempertahankan 28.500 tentara AS di Korea Selatan.
Militer AS secara konsisten ditempatkan di Korea Selatan sejak Perang Korea 1950 - 1953. Presiden AS Donald Trump telah berulang kali mengeluh tentang biaya pasukan Amerika di semenanjung itu, dan meminta Korea Selatan untuk meningkatkan kontribusi mereka.
Ketidaksepakatan telah menimbulkan kekhawatiran bahwa Trump mungkin memilih untuk menarik pasukan AS.
Kesepakatan awal ini dicapai menjelang pertemuan yang diantisipasi antara Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Hanoi akhir bulan ini.
saksikan juga video berikut ini:
Simbol Pencegahan
Selama bertahun-tahun, kehadiran Amerika Serikat di Semenanjung Korea dianggap sebagai simbol pencegahan dibanding sebagai kekuatan tempur. Saat ini, jumlah pasukan juga sudah turun sekitar sepertiga dari tahun 1990-an.
The New York Times memuat bahwa jumlah pasukan Amerika Serikat di Korea Selatan sebanyak 23.500 personel, sementara CNBC menulis jumlahnya mencapai 28.500.
Pasukan Korea Selatan sendiri telah menjadi kekuatan tempur utama hingga menyebabkan mereka kurang bergantung pada Amerika Serikat. Hal itu juga menyebabkan pasukan Negeri Paman Sam mundur ke selatan Seoul.
Sejak Presiden George H. W. Bush mencabut senjata nuklir taktis dari Korea Selatan pada awal 1990-an, penangkal nuklir Korea Utara juga telah ditempatkan jauh, di silo rudal di daratan Amerika Serikat, kapal selam di Pasifik atau pengebom yang berbasis di Guam.
Donald Trump bukanlah presiden Amerika Serikat pertama yang mendorong pengurangan pasukan. Jimmy Carter mencalonkan diri dengan janji untuk menarik semua pasukan tempur darat, sebagian untuk memprotes pemerintah otokratis Korea Selatan pada saat itu. Perlawanan dari militer dan Kongres menghalangi usahanya. Pada 2004, Menteri pertahanan era George W. Bush, Donald H. Rumsfeld, menggeser hampir 10.000 pasukan dari Korea Selatan ke perang Irak.
Selama pemerintahan Obama, mantan pejabat di Washington mengatakan, Pentagon selalu enggan untuk mempertimbangkan pengurangan pasukan atau penangguhan latihan militer bersama terkait Korea Utara.
"Akan sangat bodoh untuk memberikan semua itu di awal diskusi, mengingat rekam jejak Korea Utara yang panjang untuk melanggar perjanjian," kata Christine Wormuth, mantan pejabat kebijakan Kementerian Pertahanan pemerintahan Obama.
Donald Trump, bagaimanapun, telah lama berpendapat bahwa kehadiran militer Amerika Serikat di Semenanjung Korea bukanlah aset tetapi tanggung jawab -- tidak hanya di Korea Selatan tetapi juga di Jepang. Karena kedua negara tersebut kaya, katanya, maka mereka seharusnya lebih banyak menanggung beban untuk pertahanan mereka.
Selama kampanye presiden 2016, ia bahkan menyarankan agar kedua negara memperoleh senjata nuklir mereka sendiri sehingga mereka tidak harus bergantung pada payung nuklir Amerika.
Pada satu sisi, Donald Trump mengakui bahwa pasukan Amerika Serikat telah menjaga perdamaian di Semenanjung Korea. Namun, di lain sisi ia mengatakan, mereka tidak berbuat apa-apa untuk mencegah Korea Utara memperoleh senjata nuklir atau mengancam tetangganya.
Advertisement