HEADLINE: Akihito Turun Takhta, Naruhito Sang Kaisar Baru Jepang

Lembar era kekaisaran Jepang yang baru dibuka pada Rabu 1 Mei 2019. Naruhito meneruskan takhta sang ayah Kaisar Akihito.

oleh Rizki Akbar HasanHappy Ferdian Syah UtomoSiti Khotimah diperbarui 03 Mei 2019, 00:00 WIB
Diterbitkan 03 Mei 2019, 00:00 WIB
Banner Infografis Naruhito Kaisar Baru Jepang
Banner Infografis Naruhito Kaisar Baru Jepang. (Sumber Foto: AFP)

Liputan6.com, Tokyo - Jepang secara resmi membuka lembar era kekaisaran yang baru pada Rabu 1 Mei 2019, ketika Putra Mahkota Naruhito mulai menduduki Takhta Bunga Krisan (The Chrysantemum Throne) sebagai kaisar ke-5 Periode Jepang Modern.

Sehari sebelumnya, ayah Naruhito, Kaisar Akihito, menjadi kaisar Jepang pertama yang turun takhta dalam lebih dari 200 tahun, mengakhiri era kekaisaran Heisei. Faktor umur dan kesehatan menjadi alasan bagi pria berusia 85 tahun untuk turun dari The Chrysantemum Throne.

Naruhito yang berusia 59 tahun secara teknis menjadi kaisar pada 1 Mei 2019 lepas tengah malam, sehari setelah kekuasaan monarki ayahnya berakhir usai turun takhta pada Selasa 30 April.

Statusnya baru diresmikan dalam sebuah seremoni pada Rabu 1 Mei pagi, ketika ia secara simbolis mengambil kepemilikan 'harta suci' --sebuah pedang, permata, dan cermin-- yang diturunkan dari generasi ke generasi sebagai simbol kekaisaran.

Kaisar Jepang tidak mengenakan mahkota sehingga 'harta suci' itu bertindak sebagai simbol kekuatan pemimpin monarki. Bagaimanapun, barang-barang yang digunakan dalam upacara tersebut adalah duplikat, sementara yang asli disimpan di sejumlah tempat suci di Negeri Matahari Terbit dan tak pernah terlihat.

Proses pengukuhan yang khidmat itu secara resmi menandai dimulainnya era Reiwa baru di bawah Kaisar Naruhito.

Sang Kaisar Akademisi

Infografis Naruhito Kaisar Baru Jepang. (Liputan6.com/Triyasni)

Tidak seperti ayahnya, Kaisar Naruhito memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan dan impiannya sendiri ketika ia masih muda.

Setelah lulus dengan gelar sejarah dari Universitas Gakushuin yang bergengsi di Tokyo, ia belajar dari tahun 1983 hingga 1985 di Merton College di Oxford University.

Bidang studi pilihannya adalah sejarah transportasi di Sungai Thames, menyoroti minat pada saluran air, yang kemudian dilanjutkan dengan penelitian doktoral di Gakushuin.

Studinya di Oxford meninggalkan jejak kuat pada Pangeran Naruhito muda. Dalam memoarnya tahun 1993, "The Thames and I", ia menggambarkan periode itu sebagai waktu paling bahagia dalam hidupnya.

Setelah ayahnya naik takhta pada tahun 1989 dan ia menjadi putra mahkota, Naruhito mempertahankan hasratnya untuk akademisi dan masalah air global. Hal itu ia buktikan dengan menjabat sebagai presiden kehormatan Dewan Penasihat untuk Air dan Sanitasi PBB dari 2007 - 2015.

Sosok Penyayang Keluarga

Pangeran Naruhito tinggal bersama keluarganya sampai usia 30 tahun, sebuah penyimpangan dari tradisi kekaisaran yang mewajibkan kaisar masa depan untuk tumbuh di dekat orang-orang yang akan ia pimpin.

Tradisi itu bertujuan untuk menanamkan sang calon kaisar rasa perhatian kepada orang-orang di tempat ia akan memimpin. Tetapi sejak sang putra mahkota lahir, kehidupan keluarga dianggap sama pentingnya dengan kehidupan monarki.

Pentingnya keluarga bagi Putra Mahkota Naruhito kemudian semakin diperkuat ketika istrinya berjuang dengan gejala stress yang berhubungan dengan "gangguan penyesuaian" di lingkungan kekaisaran.

Putri Mahkota Masako, seorang mantan diplomat, didiagnosis menderita gejala stress itu pada tahun 2004 karena tekanan kehidupan kekaisaran dan tekanan untuk menghasilkan seorang keturunan --pewaris takhta masa depan.

Merespons hal tersebut, sang pangeran memutuskan untuk mengambil bagian aktif dalam membesarkan anak mereka, Putri Aiko, dan dengan gigih membela istrinya dari kritik bahwa dia mengabaikan tugas-tugas publik.

Kaisar Generasi Modern

Kaisar Akihito dan Putra Mahkota Pangeran Naruhito
Kaisar Naruhito (kiri) dan sang ayah, Kaisar Emeritus (kanan) (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Salah satu monarki herediter (berbasis keturunan) yang tertua dalam sejarah manusia modern, Dai Nippon Teikoku (Kekaisaran Jepang) punya rekam jejak yang dapat ditelisik kembali hingga sekitar 600 SM dengan kaisar pertama saat itu, Kaisar Jimmu.

Secara tradisi, Kaisar Jimmu dipandang sebagai titisan Sang Amaterasu (Dewi matahari) menjadikan para pewarisnya dipercaya sebagai 'keturunan ilahiah'.

Tetapi, Kaisar Hirohito --ayah Akihito dan kakek Naruhito-- secara terbuka meninggalkan status 'ke-ilahi-annya' pada akhir Perang Dunia II, sebagai bagian dari syarat menyerahnya Jepang kepada Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat.

Tak hanya itu, status kaisar juga direduksi menjadi simbol kepala negara semata, seremonial, dan non-politis berdasarkan Konstitusi 1947. Ia tak lagi memiliki peran dan kekuasaan dalam pemerintahan, yang sepenuhnya dijalankan oleh parlemen (National Diet atau Kokkai) dan kabinet (Naikaku).

Meski demikian, Kaisar Akihito dipandang telah memberi makna baru pada status kekaisaran, di mana ia membantu merehabilitasi reputasi Negeri Matahari Terbit setelah Perang Dunia II.

Kaisar Jepang Akihito dan Permaisuri Michiko seusai berjalan-jalan di pantai dekat Hayama Imperial Villa, Prefektur Kanagawa, Senin (21/1). Akihito akan menjadi kaisar pertama yang turun takhta dalam 200 tahun terakhir. (Kazuhiro NOGI/AFP)

Kedekatan Akihito dengan masyarakat Nippon juga dianggap sebagai sumbangsih tersendiri bagi reformasi kekaisaran, yang mana pada era-era sebelumnya, para penyandang titel jarang berinteraksi dengan publik. Ia juga meruntuhkan penghalang sosial antara kelas bangsawan dan publik, serta dikenal karena belas kasihnya.

Dia juga mengambil peran sebagai diplomat, menjadi duta tidak resmi untuk Jepang dan bepergian ke luar negeri secara konsisten --sebuah peran yang diperkakan akan dilanjutkan oleh penerusnya kini, Kaisar Naruhito.

Namun, status Naruhito sebagai generasi modern dari kekaisaran memicu munculnya harapan bahwa dirinya mampu mencetak sejarah baru dan membawa modernitas bagi monarki Jepang di masa depan.

"Saya percaya dia akan mencoba memodernisasi keluarga kekaisaran", kata Dr Hideya Kawanishi, seorang profesor yang berspesialisasi dalam sistem kekaisaran Jepang di Universitas Nagoya, seperti dikutip dari The Telegraph.

"Misalnya, sampai sekarang permaisuri mempunyai tugas mendukung kaisar," katanya. "Tapi mulai sekarang, kaisar juga akan mencoba mendukung permaisuri. Saya pikir dia akan mencoba membuat hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga kekaisaran lebih dekat dengan bagaimana di masyarakat modern."

Saksikan juga video berikut ini:

PR Masa Depan Kaisar Modern

Foto pernikahan Kaisar Jepang, Naruhito dan Permaisuri Masako tahun 1993 (Imperial Household Agency / AFP PHOTO)
Foto pernikahan Kaisar Jepang, Naruhito dan Permaisuri Masako tahun 1993 (Imperial Household Agency / AFP PHOTO)

Kaisar Naruhito berbeda dalam banyak hal dari pendahulunya yang lebih terikat tradisi, dan telah secara konsisten menantang harapan dengan memprioritaskan keluarga dan kehidupan akademiknya.

Sebagai lulusan Oxford University, Kaisar Naruhito, bersama dengan istrinya, Permaisuri Masako, yang merupakan seorang mantan diplomat dengan gelar sarjana dari Harvard, menunjukkan kesan kosmopolitan di tengah masyarakat Jepang yang kerap memandang tradisional terhadap kehidupan kekaisaran.

Keduanya kini diharapkan membawa modernitas bagi Dai Nippon Teikoku di mata domestik dan internasional.

Dalam pernyataan publiknya yang singkat pada 2017, setelah Akihito mengumumkan rencana turun takhta, Naruhito telah mengindikasikan bahwa dia percaya monarki harus menyesuaikan diri dengan modernitas.

Naruhito memiliki keyakinan "seperti angin baru yang bertiup di setiap zaman, bahwa peran keluarga kekaisaran berubah di setiap masa."

"Saya ingin belajar berbagai hal dari masa lalu, sambil juga mengejar peran ideal yang harus diambil oleh Keluarga Kekaisaran di masa depan," kata sang kaisar.

Namun, sang pemimpin Era Reiwa juga diharapkan untuk meneruskan warisan ayahnya dan bekerja untuk meniru rasa kedekatan kaisar dengan publik yang telah dibangun oleh Akihito.

Semasa bertakhta, sang Kaisar Emeritus --titel Akihito pasca-turun takhta-- telah disukai banyak orang di Negeri Sakura, berkat kedekatan dan interaksinya dengan masyarakat Jepang yang tengah bangkit pasca-ketepurukan pada Perang Dunia II, serta mereka yang menderita penyakit dan bencana.

Dan kini, sang penyandang titel yang secara tradisi dikaitkan sebagai titisan Amaterasu (Dewi Matahari dalam mitologi Shintoisme Jepang) menyatakan akan memenuhi harapan itu.

Kaisar Jepang, Naruhito (AFP PHOTO)

Dalam pidatonya yang pertama sebagai kaisar kemarin, Naruhito memberikan penghargaan kepada sang ayah sambil berjanji untuk menunjukkan pengabdian yang sama seperti pendahulunya kepada rakyat Negeri Matahari Terbit.

Ia juga mengatakan bahwa meski merasakan beban atas jabatannya yang serius, Naruhito bersumpah untuk menjadi simbol persatuan bagi bangsa.

"Akihito menunjukkan belas kasih sayang yang mendalam melalui sikapnya sendiri," kata Naruhito, seperti dikutip dari BBC, Kamis (2/5/2019).

"Saya bersumpah akan mengikuti secara dekat jalan yang ditempuh sang Kaisar Emeritus," ujarnya mereferensi titel sang ayah kini, "dan memenuhi tanggung jawab saya sebagai simbol negara dan persatuan rakyat Jepang."

Profesor I Ketut Surajaya, Guru Besar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia mengatakan bahwa publik juga berharap kepada Naruhito untuk mengambil peranan sebagai pemersatu bangsa.

"Selepas Perang Dunia II usai, posisi Kaisar Jepang tidak lebih dari simbol, yang menunjukkan bagaimana ideologi sosial masyarakat di sana seharusnya ditampilkan. Setelah ayahnya menyampaikan permintaan maaf kepada China atas imperialisme di Abad ke-20, kini publik berharap Naruhito dapat meneruskan kesan damai sekaligus menjalankan fungsi pemersatu bangsa," ujar Profesor I Ketut Surajaya.

"Beban sebenarnya dari Naruhito adalah mempertahankan kedekatan dengan rakyat biasa sebagai manusia, bukan lagi sebagai titisan Dewi Matahari seperti kakek (mendiang Kaisar Hirohito) dan para leluhurnya," lanjutnya kepada Liputan6.com via wawancara telepon.

Sependapat dengan hal tersebut, pengamat kebudayaan Jepang yang juga merupakan mahasiswa program doktoral pada Tokyo University of Foreign Studies, Himawan Pratama, mengatakan bahwa domestikasi peran Kaisar menjadikannya lebih rasional di mata publik Negeri Matahari Terbit.

Menurutnya, peran simbol budaya Jepang akan berkembang lebih jauh di era modern ini, di mana turut memicu munculnya ideologi sosial. Ini adalah istilah untuk menggambarkan bagaimana sebuah keluarga monarki menjadi panutan dan identitas kebanggaan bagi masyarakat yang berada di bawah kekuasaannya.

"Meski tidak punya peran politik, namun seorang Kaisar seyogyanya bisa membuat bangga rakyatnya, dan di era modern ini, dia dituntut bisa ikut bersikap progresif dalam menghadapi berbagai isu," jelas Himawan kepada Liputan6.com.

Pereformasi Kekaisaran untuk Suksesi Perempuan

Pangeran Naruhito dan Putri Masako akan meneruskan takhta Kekaisaran Jepang pada April 2019. (AFP)
Pangeran Naruhito dan Putri Masako akan meneruskan takhta Kekaisaran Jepang pada April 2019. (AFP)

Pengamat kebudayaan Jepang yang juga merupakan mahasiswa program doktoral pada Tokyo University of Foreign Studies, Himawan Pratama, mengatakan bahwa sejatinya tidak semua rakyat Jepang menaruh perhatian luas terhadap keberadaan Kaisar Jepang.

Ada cukup banyak kritik yang menyasar padanya, seperti penggunaan uang negara untuk membiayai kehidupan istana, hingga tarik ulurnya pemberian kesempatan kepada perempuan untuk mewarisi takhta penguasa.

Pangeran Naruhito bersama dengan Putri Masako dan Putri Aiko dalam foto keluarga putra mahkota terbaru (AP)

Putri Aiko, anak semata wayang Kaisar Naruhito, telah menjadi subjek perdebatan yang lebih luas tentang suksesi kekaisaran. Di bawah Hukum Rumah Tangga Kekaisaran 1947, hanya laki-laki yang bisa naik takhta.

Pada tahun 2004, Perdana Menteri Junichiro Koizumi mengusulkan revisi untuk memungkinkan permaisuri, yang berpotensi menjadikan Putri Aiko sebagai penguasa masa depan.

Namun, rencana ini terhenti setelah kelahiran sepupunya Pangeran Hisahito pada tahun 2006. Dengan adanya kehadiran pewaris laki-laki, urgensi sebelumnya yang hendak mempertimbangkan garis suksesi perempuan menjadi kembali terabaikan.

"Saya kurang tahu detailnya seperti apa, tapi setahu saya di Undang-Undang Kekaisaran pasca-kalah dalam Perang Dunia II, dan konstitusi Jepang dirumuskan oleh Sekutu sebagai pihak pemenang, sepertinya tidak disebutkan tentang bisa atau tidaknya perempuan duduk di kursi tertinggi kekaisaran. Padahal dulu penguasa ke-33 Jepang adalah seorang perempuan, yakni Ratu Suiko," nilai Himawan Pratama kepada Liputan6.com.

Pangeran Hisahito sering dijaga oleh petugas polisi. (AFP)

Himawan menambahkan, rakyat Negeri Sakura sudah berkali-kali mendesak pemerintah Jepang untuk membuka jalan bagi perempuan untuk naik takhta sebagai Ratu, tapi keengganan yang bermuatan patriarki tetap dominan di lingkungan Kekaisaran Jepang.

Di lain pihak, menurut Siti Daulah Khoiriati, salah seorang tenaga pengajar senior di Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, bahwa hampir saja desakan garis pewaris takhta disetujui jika benar-benar tidak ada keturunan laki-laki dalam keluarga besar Akihito.

"Kelahiran Pangeran Hisahito, dari pasangan Pangeran Akishino dan Putri Kiko, memberi kelegaan terhadap keluarga Kekaisaran Jepang, karena akhirnya ada generasi muda yang masuk ke dalam barisan pewaris takhta," jelas Siti kepada Liputan6.com.

Siti melanjutkan, Pangeran Akishino, yang merupakan adik kandung dari Kaisar Naruhito, berpotensi mewarisi takta di masa senja, yang berarti performanya bisa saja terhalang oleh faktor usia.

"Takhta diwarisi sesuai urutan, dan di sini dengan kehadiran Pangeran Hisahito, muncul harapan bahwa masih ada generasi muda yang dapat menjadi kaisar selanjutnya di masa depan. Calon kaisar yang tumbuh di era modern, dengan pandangan yang juga tidak lagi sekonservatif para pendahulunya," ujar Siti.

"Tapi, lagi-lagi posisi Kaisar Jepang adalah simbol negara, yang berarti bahwa dia harus bisa menjadi panutan bagi rakyat untuk bersikap secara sosial," lanjutnya, seraya enggan memprediksi bagaimana dampak peran Kaisar Naruhito bagi Jepang di kemudian hari.

Putri Masako bersama Pangeran Naruhito bersiap untuk kunjungan ke Brasil, 16 Maret 2018. (TOSHIFUMI KITAMURA / POOL / AFP/Asnida Riani)

Tapi dari aspek sosial dan keluarga, Naruhito telah menunjukkan kepeduliannya tentang kesejahteraan istrinya, Masako, yang sebagian besar telah menjaga jarak dari publik sejak menderita apa yang digambarkan Badan Rumah Tangga Kekaisaran sebagai gejala stress emosional.

Penyakit sang permaisuri secara luas diyakini berasal dari kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di keluarga kekaisaran dan tekanan untuk memiliki seorang putra dan pewaris takhta, tetapi sang pangeran telah menegaskan kembali dukungannya untuknya di setiap kesempatan.

Dr Hideya Kawanishi dari Universitas Nagoya mengatakan, dia mengantisipasi bahwa kaisar baru akan "menekankan keluarga daripada pekerjaan" dan segera memenangkan rasa hormat dari publik yang secara tradisional memegang monarki dalam hal yang tinggi.

"Naruhito akan diminta untuk mencerminkan pendapat orang-orang dan dia memiliki karakter yang serius, yang berarti dia akan bekerja keras untuk memenuhi harapan mereka," kata Dr Kawanishi, penulis sejumlah buku tentang keluarga kekaisaran, seperti dilansir The Telegraph.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya