Liputan6.com, Hong Kong - Para demonstran terus menekan pemimpin Hong Kong, Carrie Lam, dalam serangkaian aksi protes besar-besaran menolak RUU ekstradisi, yang memungkinkan tersangka ditangkap dan diadili sepihak oleh otoritas China.
Setelah dikembalikan dari koloni Inggris pada 1997 silam, Hong Kong mendapat keistimewaan dari pemerintah China berupa aturan "Satu Negara, Dua Sistem".
Aturan itu memberikan kemungkinan untuk mempertahankan beberapa kebebasan kunci, seperti hak bersuara dan peradilan independen, hingga 2047 mendatang.
Advertisement
Baca Juga
Selama bertahun-tahun, Hong Kong terus berupaya menangkal pengaruh China yang semakin kuat d berbagai sektor. Tidak jarang aksi protes berujung menjadi gerakan penolakan masif, seperti yang pernah terjadi pada Gerakan Payung pada 2014 lalu.
Kini, aksi protes besar-besaran kembali terulang dengan klaim diikuti seitar dua juta orang, yang sepakat menuntut penghapusan RUU ekstradisi yang dinilai tidak adil.
Sebagaimana dikutip dari The Straits Times pada Senin (17/6/2019), banyak pengamat memprediksi bahwa Hong Kong dan China akan terus berseteru karena pandangan politik dan tatanan kehidupan yang bertolak belakang.
Untuk mengetahui sejarah perseteruan Hong Kong dan China, berikut adalah daftar aksi protes besar-besaran yang pernah terjadi di bekas koloni Britania Raya itu.
2003: RUU Hukum Keamanan Nasional
Sekitar setengah juta orang berunjukrasa menentang upaya kontroversial pemerintah Hong Kong dalam memperkenalkan RUU keamanan nasional, yang dikhawatirkan bisa membatasi kebebasan berbicara.
Proposal yang muncul pasca-wabah mematikan sindrom pernapasan akur (SARS) itu adalah demonstrasi besar pertama yang dihadapi para pemimpin pro-Beijing sejak penyerahan Hong Kong dari Inggris.
Aksi protes tersebut berhasil menangguhkan pembahasan RUU keamanan nasional, yang diikuti oleh pengunduran diri kepala eksekutif Hong Kong kala itu, Tung Chee Hwa.
Advertisement
2013: Protes Kurikulum Pendidikan
Puluhan ribu demonstran --kebanyakan anak muda-- mengepung kompleks gedung pemerintah Hong Kong di distrik Admiralty selama 10 hari.
Sasaran kemarahan mereka adalah perintah agar sekolah mengajar kelas "Pendidikan Moral dan Nasional", yang memuji sejarah komunis dan nasionalis China, seraya mengkritik gerakan republikanisme dan demokrasi.
Peda akhirnya pemerintah tetap pada pendiriannya, dan memutuskan mrevisi beberapa materi "yang disesuaikan dengan sejarah Hong Kong".
Aksi protes ini juga memunculkan sosok Joshua Wong, yang saat itu berusia 15 tahun, sebagai aktivis demokrasi terkemuka.
2014: Gerakan Payung
Selama dua bulan di akhir 2014, puluhan ribu pengunjuk rasa melumpuhkan berbagai sudut kota Hong Kong melalui demonstrasi massa yang dipimpin mahasiswa.
Mereka juga melakukan aksi pendudukan di bagian luar kompleks gedung pemerintah Hong Kong untuk menuntut reformasi demokratis, termasuk hak memilih pemimpin kota.
Aksi protes tersebut memicu bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi, sesuatu yang sebelumnya jarang terjadi di wilayah semi-otonom itu.
Adapun alasan mengapa dikenal sebagai gerakan payung, karena banyak demonstran memakai payung guna melindungi diri dari semprotan merica dan gas air mata, yang digunakan polisi untuk membubarkan unjuk rasa.
Tidak lama setelahnya, polisi membongkar paksa markas kelompok pro-demokrasi, dan menangkap serta memenjarakan beberapa pemimpinnya.
Advertisement
2019: Penolakan RUU Ekstradisi
Pada bulan Februari, pemerintah Hong Kong mengumumkan proposal undang-undang yang akan memungkinkan, untuk pertama kalinya, ekstradisi ke China daratan.
Langkah tersebut membuah khawatir pihak oposisi dan penggiat hukum setempat, bahwa cengkeraman Beijing memungkinannya untuk mengejar musuh-musuh politiknya di Hong Kong.
Puluhan ribu orang menyerbu jalan-jalan di Pulau Hong Kong pada 28 April lalu, di mana kemudian menjadikannya sebagai demonstrasi terkuat setelah Gerakan Payung.
Pemerintah Hong Kong membuat konsesi pada 30 Mei, dengan mengatakan undang-undang ekstradisi hanya akan berlaku untuk kasus-kasus yang melibatkan kemungkinan hukuman penjara setidaknya tujuh tahun.
Pada 9 Juni, lebih dari satu juta orang, menurut penyelenggara, turun ke jalan dalam demonstrasi terbesar sejak kota itu kembali ke kekuasaan China.
Kemudian pada Rabu 12 Juni, pembahasan kedua terhadap RUU ekstradisi tersebut resmi ditunda tanpa batas waktu, setelah kerumunan besar bersatu, memblokir jalan-jalan utama dan berusaha menyerbu Parlemen.
Polisi menggunakan gas air mata, semprotan merica, peluru karet dan putaran kantong kacang dalam bentrokan terburuk sejak penyerahan tahun 1997, yang menyebabkan hampir 80 orang terluka.
Sabtu lalu, pemimpin Hong Kong Carrie Lam mengumumkan bahwa RUU itu akan ditangguhkan, dan menyampaikan permintaan maaf secara terbuka. Meski begitu, ia menolak tuntutan untuk mengundurkan diri.
Terlepas dari keputusan Lam, penyelenggara mengumumkan demonstrasi baru terus berlanjut dan orang-orang berduyun-duyun ke jalan-jalan kota pada hari Minggu.
Penyelenggara mengatakan dua juta orang berbaris dalam protes, berpakaian hitam dan menyerukan penarikan penuh RUU tersebut. Polisi menyebut angka itu di 338.000 orang.