Pecahan Asteroid 470 Juta Tahun Lalu Bikin Bumi Beku, Penyebab Zaman Es Terkuak

Asteroid selebar 93 mil itu terpecah di antara Mars dan Jupiter, melemparkan debunya ke Bumi.

oleh Afra Augesti diperbarui 19 Sep 2019, 16:05 WIB
Diterbitkan 19 Sep 2019, 16:05 WIB
Ilustrasi Zaman Es
Ilustrasi Zaman Es (pbs.org)

Liputan6.com, California - Debu dari tabrakan asteroid raksasa di angkasa luar menyebabkan Bumi membeku, yang memicu tumbuhnya keanekaragaman hayati pada 466 juta tahun lalu, kata para ilmuwan.

Asteroid selebar 93 mil pecah di antara Mars dan Jupiter, yang melontarkan debu-debunya dalam jumlah besar ke Bumi, menghalangi cahaya dari matahari dan menyebabkan pendinginan global yang dramatis atau Zaman Es.

Debu melayang turun ke Bumi selama periode 2 juta tahun, yang mengakibatkan pendinginan bertahap. Spesies-spesies di planet ini lalu beradaptasi. Kemudian, seluruh makhluk berevolusi demi bertahan hidup dalam suhu yang amat berbeda.

Mungkin, manusia waktu itu berupaya untuk melakukan rekayasa geologi (geoengineering) kuno untuk menciptakan hujan debu serupa agar bisa memerangi pemanasan global, tetapi para peneliti berhati-hati tentang proposal semacam ini.

"Proposal rekayasa geologi harus dievaluasi dengan sangat kritis dan sangat cermat, karena jika terjadi kesalahan, ada hal-hal lebih buruk yang mungkin terjadi daripada sebelumnya," kata peneliti Philipp Heck, seorang kurator di Field Museum dan associate professor di University of Chicago.

Sebelum melakukan riset, Heck menegaskan penyebab Zaman Es masih menjadi sebuah misteri, menurut makalah yang diterbitkan di Science Advances, yang dikutip dari The Independent, Kamis (19/9/2019).

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

Pengujian Materi Angkasa Luar

Teori Baru Kepunahan Dinosaurus
Beberapa saat setelah asteroid menabrak Bumi, gunung berapi mulai meletus dengan intensitas tak biasa dan amat kuat. (AFP)

Debu angkasa luar dari asteroid dan komet adalah peristiwa normal -- Bumi memperoleh sekitar 40.000 ton material antariksa setiap tahun. Namun, ledakan planetoid tersebut (yang menyebabkan Zaman Es di Bumi) muncul berlipat ganda hingga 10.000 kali.

"Hipotesis kami adalah bahwa debu-debu angkasa luar dalam jumlah besar, selama jangka waktu minimal 2 juta tahun, memainkan peran penting dalam mengubah iklim di Bumi, berkontribusi pada pendinginan global," ungkap Heck.

"Kami mempelajari materi antariksa, meteorit, dan mikrometeorit dalam jejak sedimen Bumi. Kemudian kami mengekstraksi materi-materi tersebut untuk menemukan apa sesungguhnya itu dan dari mana asalnya," imbuhnya.

Tim ilmuwan mengekstraksi materi angkasa luar dengan menguji batu dan sebuah zat asam yang menggerogoti batu itu sendiri. Mereka kemudian mencari elemen yang jarang muncul di bebatuan Bumi.

Sebagai contoh, atom helium biasanya memiliki dua proton, dua neutron dan dua elektron, tetapi beberapa yang terlempar dari ruang angkasa telah kehilangan sebuah neutron.

Kehadiran isotop helium ini --serta keberadaan logam langka yang sering ditemukan di asteroid-- membuktikan debu berasal dari angkasa luar.

Pemanasan Global

Willamette Wonder
Para peneliti menduga, meteorit Willamette mendarat secara perdana di tempat lain dan terseret ke Oregon melalui gletser selama Zaman Es, sebab tidak dijumpai adanya kawah bekas tumbukan di Oregon. (Wikimedia Commons)

Penulis utama lainnya, Birger Schmitz dari Lund University di Swedia, mengatakan: "Keberadaan debu ekstra di atmosfer Bumi membantu menjelaskan terjadinya Zaman Es. Debu-debu ini menghalangi sinar matahari dan menyebabkan pendinginan global."

Meskipun proses ini terbukti bermanfaat bagi kehidupan di Bumi, tetapi perubahan iklim yang cepat pun memantik bencana besar.

"Ini sangat berbeda dari perubahan iklim yang disebabkan oleh meteorit pada 65 juta tahun lalu, yang membunuh dinosaurus, dan ini tak sama dengan pemanasan global sekarang. Pendinginan global pada tempo dahulu merupakan dorongan yang lembut. Ada sedikit tekanan," lanjutnya.

Sementara itu, Heck menambahkan, tidak dapat dipungkiri bahwa dunia kini sedang mengalami pemanasan global.

Dalam konteks rekayasa geologi, dia berkata: "Kita perlu memikirkan cara mencegah dampak yang datang dari bencana, atau meminimalkannya."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya