Liputan6.com, Irak - Irak memberlakukan jam malam di beberapa wilayah pada Kamis (3/10/2019). Hal itu adalah imbas dari protes rakyat di seluruh Irak pada Rabu 2 Oktober.
Ribuan demonstran menantang tembakan langsung dan gas air mata dari aparat kepolisian.
Peristiwa tersebut menyebabkan sembilan orang tewas dalam kurun waktu 24 jam. Satu demonstran tewas di Nasiriyah pada Selasa. Sedangkan dua orang tewas dalam demo besar di Baghdad yang berubah menjadi kekerasan.
Advertisement
Kemudian, lima pengunjuk rasa dan seorang polisi ditembak mati di daerah selatan kota Nasiriyah pada Rabu. Jumlah korban tewas jika ditotal hingga saat ini adalah sembilan orang, seperti dilansir timesofisrael.com.
Perdana Menteri Irak, Adel Abdel Mahdi mengalami tantangan besar dalam pemerintahannya yaitu demonstrasi. PM Irak secara kontroversial menyalahkan kekerasan yang terjadi pada 'agresor' atau penyerang di antara para pengunjuk rasa.
Jam malam kemudian diberlakukan di ibukota Irak, Baghdad. Hal tersebut setelah bentrokan hari kedua antara pemrotes anti pemerintah dan pasukan keamanan Irak, seperti dilansir bbc.com.
Pembatasan akan tetap berlaku sampai pemberitahuan lebih lanjut. Jam malam juga diberlakukan di tiga kota lain di Irak.
Sementara itu, platform media sosial dan akses internet diblokir oleh pemerintah di beberapa daerah di Irak.
* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.
Pemberlakuan Jam Malam
PM Irak dalam sebuah pernyataan menyatakan pelarangan bagi alat transportasi dan siapa saja untuk berpindah dalam jam malam.
"Semua kendaraan dan individu benar-benar dilarang untuk pindah (di Baghdad)," kata Adel Abdel Mahdi. Diketahui, jam malam mulai diberlakukan jam 5 pagi waktu setempat pada hari Kamis 3 Oktober 2019.
Pembatasan jam malam diberlakukan di kota-kota bagian selatan Nasiriya, Amara, dan Hilla, seperti dilansir bbc.com.
Namun, jam malam tidak berlaku untuk wisatawan dari dan ke bandara kota, serta layanan ambulans. Begitu juga dengan pegawai pemerintah di rumah sakit, kelistrikan, departemen air, bahkan hinga peziarah agama dibebaskan dari jam malam.
Sementara itu, Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) telah meminta pihak berwenang di Irak untuk menahan diri. Perwakilan khusus PBB, Jeanine Hennis-Plasschaert menyatakan sikap atas protes yang terjadi.
"Setiap individu memiliki hak untuk berbicara secara bebas sesuai dengan hukum," kata Jeanine Hennis-Plasschaert.
Advertisement
Pengabaian Tuntutan Rakyat
Pada lingkungan selatan Baghdad di Zaafaraniya, pengunjuk rasa membakar ban di jalan-jalan yang dipenuhi kendaraan polisi.
Salah seorang demonstran, Abdallah Walid memberikan pernyataan terkait sikap pemerintah yang dianggap mengabaikan aspirasi mereka.
"Kami menginginkan pekerjaan dan layanan publik yang lebih baik. Kami telah menuntut mereka (pemerintah) selama bertahun-tahun, dan pemerintah tidak pernah menanggapi," kata Abdallah Walid.
Sementara itu, hal lain diungkapkan oleh salah seorang demonstran, Mohammad Jubury. Ia mengatakan tindakan pemerintah semena-mena atas protes yang mereka lakukan, seperti dilansir timesofsirael.com.
"Tidak ada negara yang akan menyerang rakyatnya sendiri seperti ini. Kami damai, tapi mereka menembak," ujar pengangguran, Mohammad Jubury.
Dilaporkan sekitar 60 orang terluka di Baghdad pada Rabu. Sembilan di antaranya terkena peluru, dan sisanya terkena gas air mata.
Namun, yang menyorot perhatian adalah protes yang berjalan pada Selasa. Tembakan keras terdengar hingga malam hari di Kota Sadr. Kota tersebut diketahui tempat di mana pemakaman diadakan bagi pemrotes yang terbunuh di ibukota.
Masih belum diketahui peluru yang ditembakkan mengarah pada kerumunan massa atau ke udara.
Pertumpahan darah tersebut mengundang kecaman dari Presiden Irak, Barham Saleh. Ia meminta aparat untuk menahan diri dan menghormati hukum yang berlaku.
"Protes damai adalah hak konstitusional yang diberikan kepada warga," kata Presiden Irak.
Reporter: Hugo Dimas