China Tunda Pembayaran Utang 77 Negara Berpenghasilan Rendah Akibat Corona

Pandemi Virus Corona COVID-19 telah memukul ekonomi global, termasuk perekonomian China.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Jun 2020, 08:03 WIB
Diterbitkan 12 Jun 2020, 08:03 WIB
Pasar Saham di Asia Turun Imbas Wabah Virus Corona
Orang-orang berjalan melewati layar monitor yang menunjukkan indeks bursa saham Nikkei 225 Jepang dan lainnya di sebuah perusahaan sekuritas di Tokyo, Senin (10/2/2020). Pasar saham Asia turun pada Senin setelah China melaporkan kenaikan dalam kasus wabah virus corona. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Liputan6.com, Jakarta - China mengumumkan akan menangguhkan pembayaran utang dari 77 negara berpenghasilan rendah. Kebijakan itu untuk memperbaiki citranya setelah pandemi Corona COVID-19 yang kini tersebar di seluruh dunia berasal dari negaranya.

Dikutip dari laman VOA Indonesia, Jumat (12/6/2020), keuntungan politik yang diperoleh China itu masih belum jelas. China adalah pemberi kredit terbesar di seluruh dunia.

Jumlah pinjaman yang diberikannya kepada luar negeri lebih dari enam persen PDB global. Studi yang diterbitkan oleh majalah Harvard Business Review menunjukkan, dari 50 negara berkembang yang paling banyak punya hutang, kira-kira 15 persen hutangnya diberikan oleh China.

Pandemi Virus Corona telah memukul ekonomi global, termasuk perekonomian China. Perdana Menteri Li Keqiang mengatakan bulan lalu dalam Kongres Nasional Rakyat China, bahwa semua jajaran pemerintah harus memperketat anggaran, termasuk pemerintah pusat.

Tingkat pengangguran di China pada April tercatat sebesar enam persen, naik sedikit dari Maret. Namun para pakar memperkirakan pengangguran di negara itu mencapai 20,5 persen, dan sedikitnya 70 juta orang menganggur.

Pandemi Virus Corona menimbulkan "guncangan besar dan cepat" yang menyebabkan keambrukan ekonomi global terbesar sejak 1870 meskipun pemerintah sudah memberi dukungan besar dan belum pernah terjadi sebelumnya, demikian dikatakan Bank Dunia pada Senin, 8 Juni 2020.

Ekonomi dunia diperkirakan menyusut sampai 5,2 persen tahun ini -- resesi terburuk dalam 80 tahun terakhir, tetapi akibat banyaknya negara yang mengalami keterpurukan ekonomi ini, berarti skala keanjlokan ekonomi ini lebih buruk daripada semua resesi dalam 150 tahun terakhir, kata Bank Dunia dalam laporan Prospek Ekonomi Global terbarunya.

"Ini adalah proyeksi yang sangat suram dimana krisis tampaknya akan mewariskan kerugian jangka panjang dan menciptakan tantangan global yang besar," kata Ceyla Pazarbasioglu, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Pertumbuhan, Keuangan, dan Kelembagaan.

Simak video pilihan berikut:


Krisis Buat Miskin

FOTO: Selain Corona, India Hadapi Gelombang Panas dan Krisis Air Bersih
Warga membawa air bersih bantuan pemerintah dalam wadah plastik di perkampungan kumuh di Secunderabad, Hyderabad, India, Rabu (20/5/2020). Gelombang panas membuat negara berpenduduk 1,3 miliar tersebut mengalami krisis air bersih. (NOAH SEELAM/AFP)

Krisis yang parah akan menyebabkan 70 hingga 100 juta orang jatuh ke dalam kemiskinan yang ekstrem, lebih buruk dari perkiraan 60 juta sebelumnya, katanya kepada wartawan.

Meskipun lembaga pemberi pinjaman internasional yang berbasis di Washington memproyeksikan pemulihan pada 2021 namun ada risiko terjadinya gelombang wabah kedua yang bisa mengancam pemulihan dan mengubah krisis ekonomi menjadi krisis keuangan yang mengarah pada "gelombang kegagalan membayar utang."

Para ekonom kesulitan mengukur dampak krisis yang mereka setarakan dengan sebuah bencana alam global, dampaknya sedemikian luas dan terjadi di banyak sektor dan negara sehingga menyulitkan perhitungan dan prediksi pemulihan.

Berdasarkan skenario terburuk, menurut laporan Bank Dunia ini, resesi global bisa mengakibatkan penyusutan ekonomi sebesar delapan persen.

Namun Pazarbasioglu memperingatkan, "Mengingat ketidakpastian ini, sangat besar kemungkinan akan terjadi penurunan lebih jauh."

Meskipun Pendapatan Bruto China akan naik hanya satu persen, Bank Dunia mengatakan perkiraan negara lainnya lebih suram lagi, AS -6,1 persen, zona Euro -9,1 persen, Jepang -6,1 persen, Brasil -8 persen, Meksiko -7,5 persen dan India - 3,2 persen.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya