Liputan6.com, Kuala Lumpur - Dua orang warga "Sunda Empire" ditahan di imigrasi Malaysia sejak 2007 hingga kini. Status mereka adalah stateless alias tak punya negara.
Pihak KBRI Kuala Lumpur berkata dua orang wanita bernama Fathia Reza (36) dan Lamira Roro (34) menolak status Warga Negara Indonesia (WNI). Mereka pun nekat masuk negeri jiran dengan paspor Sunda Empire sehingga menimbulkan masalah.
Advertisement
Baca Juga
Keduanya harusnya dideportasi, tetapi petugas imigrasi Malaysia bingung mereka harus dikirim ke mana, sebab Sunda Empire tidak ada di peta dunia.
"Sdri. Fathia Reza dan Sdri. Lamira Roro memang ada di tahanan Imigrasi Malaysia sejak tahun 2007. Mereka ditahan karena melanggar aturan keimigrasian Malaysia dengan membawa paspor Sunda Empire yang tidak diakui otoritas Malaysia," ujar Koordinator Fungsi Pensosbud KBRI Kuala Lumpur, Agung Cahaya Sumirat kepada Liputan6.com, Rabu (1/7/2020).
Tidak jelas apakah kedua orang itu buruh migran atau bukan. Jenis visa mereka pun tidak diketahui.
Sebelumnya, KBRI Kuala Lumpur dan KJRI Kuching sudah mewawancarai kedua wanita itu untuk mengklarifikasi status kewarganegaraan mereka. Namun, mereka berkata bukan WNI.
"Mereka menolak mengaku sebagai WNI dan tetap bersikukuh mengaku sebagai WN Sunda Empire. Imigrasi Malaysia menyatakan status mereka sebagai stateless," jelas Agung.
Dua wanita Sunda Empire itu merupakan anak dari pendiri Sunda Empire. Mereka mendekam lama di imigrasi Malaysia karena petugas setempat bingung mereka harus dideportasi ke mana karena mereka mengaku warga Sunda Empire.
"(Mereka) mau dideportasi ke negara asal. Tapi pihak Malaysia tidak tahu mau dideportasi kemana," jelas Agung.
Lebih lanjut, tidak ada informasi kapan kedua wanita itu akan lepas dari tahanan imigrasi.
"Sejauh ini belum ada info vonisnya. Yang pasti mereka ditahan karena stateless dan mau dideportasi. Tapi tujuan deportasi belum jelas," pungkas Agung.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Pengacara Keberatan Terdakwa Sunda Empire Dipidana di Indonesia
Tim pengacara terdakwa kasus penyebaran informasi bohong atau hoaks kerajaan fiktif Sunda Empire menilai dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap kliennya dalam kasus ini kurang tepat.
Misbahul Huda selaku pengacara terdakwa mengatakan, pendekatan dalam konteks kasus Sunda Empire ini seharusnya bukan dilakukan pendekatan represif pemidanaan, melainkan pendekatan dialog atau musyawarah.
Dalam sidang pembacaan eksepsi di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa kemarin, Misbahul menyatakan bahwa kasus ini berasal dari klaim sejarah versi Sunda Empire. Para terdakwa dituduh menyebarkan berita bohong karena dianggap memanipulasi sejarah dan memutarbalikkan fakta.
"Tuduhan ini didukung pula dengan hasil pemeriksaan terhadap ahli sejarah, akademisi, budayawan dan saksi-saksi lainnya yang memberikan keterangan yang berbeda dengan keterangan klaim Sunda Empire," kata dia.
Penegakan hukum dalam kasus ini, menurut Misbahul, masih menimbulkan masalah. Hal itu karena aparat penegak hukum memilih versi yang dianggap benar. Acuan atau standar polisi dalam memilih versi ini berawal dari klaim sejarah.
"Di sisi lain, kasus yang berawal dari klaim sejarah ini masuk pada domain ilmu sejarah yang merupakan salah satu ilmu sosial yang potensi ketidakpastiannya lebih besar daripada ilmu hukum," dia menjelaskan.
Ia menerangkan, bahwa dalam kajian sejarah, cukup banyak peristiwa yang memiliki versi sejarah yang saling berbeda satu sama lain. Sehingga itu adalah hal yang lumrah.
"Maka dalam konteks kasus ini pendekatan yang lebih jelas dan tepat justru bukan pendekatan represif-pemidanaan, melainkan pendekatan dialog-musyawarah-debat akademis. Di situlah baik para pegiat Sunda Empire maupun tokoh atau akademisi bisa saling berargumentasi mengenai klaim sejarahnya masing-masing berdasarkan bukti-bukti yang ada," paparnya.
Meski begitu, tim pengacara Sunda Empire mengakui pihak Sunda Empire tak dapat membuktikan kebenarannya. Namun, konsekuensi dari kesalahannya pun bukan dengan pemidanaan melainkan dengan pembinaan dan pemahaman mengenai sejarah yang telah terbukti kebenarannya.
"Dengan demikian prinsip-prinsip restorative justice yang saat ini terus diupayakan dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia dapat terpenuhi," ucap Misbahul.
Advertisement
Dijerat Tiga Pasal
Dalam sidang perdana di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, Kamis (18/6/2020), Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat mendakwa tiga terdakwa yang mengaku sebagai pimpinan kekaisaran palsu Sunda Empire.
Ketiga terdakwa yakni, Nasri Bank, Raden Ratna Ningrum, dan Ki Ageng Rangga Sasana didakwa pasal penyebaran informasi bohong atau hoaks yang memicu keonaran di tengah masyarakat.
Selain membuat keonaran, JPU juga mendakwa ketiganya telah merusak keharmonisan masyarakat Sunda.
"Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat," kata jaksa, Suharja di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, Kamis, 18 Juni 2020.
Dalam surat dakwaan jaksa, ketiga terdakwa didakwa tiga pasal. Pertama, yaitu Pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946, tentang Peraturan Hukum Pidana Junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman 10 tahun penjara.
Jaksa Suharja mengatakan, Sunda Empire selalu menyampaikan materi tentang keberadaan Kekaisaran Sunda Empire yang dapat mengubah tatanan dunia. Materi tersebut disebarluaskan melalui akun Youtube Sunda Empire dengan nama Alliance Press Internasional.
"Hal tersebut dilakukan oleh para terdakwa dengan maksud untuk menerbitkan atau menimbulkan keonaran atau kegaduhan di masyarakat," ujar Suharja.
Penyebaran berita atau pemberitaan bohong yang terdapat di dalam video yang berisi kegiatan atau aktivitas Sunda Empire tersebut dinilai telah menimbulkan keonaran di kalangan masyarakat Sunda, karena telah mengusik keharmonisan masyarakat Sunda.
Sedangkan, dua pasal lainnya adalah Pasal 14 (2) UU Nomor 1 Tahun 1946 junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Serta Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 Junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.