Jelang Debat Final Capres AS, Survei Donald Trump Jeblok

Jelang debat final capres AS 2020, Donald Trump masih tertekan dalam survei.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 22 Okt 2020, 19:25 WIB
Diterbitkan 22 Okt 2020, 19:25 WIB
Donald Trump Lempar Masker ke Pendukung
Presiden Donald Trump melemparkan masker dari atas panggung ke kerumunan pendukung saat berkampanye di Bandara Internasional Orlando Sanford di Sanford, Florida, Senin (12/10/2020). Donald Trump kembali berkampanye untuk pertama kalinya usai dinyatakan negatif Covid-19. (AP Photo/Evan Vucci)

Liputan6.com, Washington, D.C. - Debat capres Amerika Serikat yang terakhir pada pemilu 2020 akan diadakan pada 22 Oktober 2020 malam waktu AS (Jumat pagi 23 Oktober 2020 WIB). Ini akan menjadi momen vital bagi capres petahana Donald Trump agar bisa lanjut berkuasa. 

Kendati demikian, Donald Trump terpantau lesu di survei terbaru. Berbagai survei menunjukan perolehan suaranya kalah di berbagai wilayah. 

Melansir situs FiveThirtyEight, Kamis (22/10/2020), Joe Biden secara umum unggul dari Donald Trump, termasuk di daerah swing states yang tidak condong ke satu partai tertentu.  

Survei dari Sienna College/The New York Times Upshot menyebut bahwa Joe Biden unggul 46 persen di Iowa yang merupakan swing state. Monmouth University juga memberikan hasil serupa.

Survei Fox News, yang notabene pro-Donald Trump, turut menunjukan kemenangan Joe Biden di Ohio, Wisconsin, Pennyslvania, dan Michigan. 

Ada satu survei yang tak memenangkan Joe Biden yakni dari Emerson College. Joe Biden dan Donald Trump disebut imbang di Iowa. 

Sementara, survei YouGov menyebut bahwa Joe Biden unggul secara nasional dengan perolehan 47 persen, sementara Donald Trump hanya mendapat 40 persen dukungan.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Sistem Pilpres AS

Debat capres antara Donald Trump dan Joe Biden pada Selasa 29 September 2020 yang berlangsung dengan kacau.
Debat capres antara Donald Trump dan Joe Biden pada Selasa 29 September 2020 yang berlangsung dengan kacau. (AFP / JIM WATSON, SAUL LOEB)

Sesuai tradisi, pemilu presiden (pilpres) di AS dilaksanakan pada Selasa pertama di bulan November. Tahun ini jatuh pada 3 November 2020.

Bagi rakyat Indonesia, pemenang pilpres adalah calon dengan suara terbanyak. Namun, berbeda dengan sistem pemilu AS.

Pilpres AS memiliki sistem pemilihan tidak langsung (indirect election). Artinya, ketika masyarakat AS datang ke tempat pemungutan suara, mereka sebenarnya memilih orang-orang yang bakal duduk dalam electoral college.

Tugas utama anggota electoral college atau elektor adalah memilih presiden dan wakil presiden. Elektor dicalonkan partai politik di tingkat negara bagian. Mereka biasanya petinggi partai atau sosok yang berafiliasi dengan kandidat presiden dari partainya.

Di tempat pemungutan suara, pemilih tidak hanya memberikan suara untuk calon presiden, tapi juga calon elektor. Di surat suara, nama mereka biasanya muncul di bawah nama kandidat presiden. Namun ada juga negara bagian yang tidak mencetak nama calon elektor. 

Total anggota electoral college berjumlah 538 orang. Setiap negara memiliki jumlah elektor yang berbeda berdasarkan jumlah perwakilan mereka di Kongres (anggota DPR dan senator). Perhitungan itu berdasarkan sensus setiap 10 tahun. 

Sebagai contoh, situs pemilu 270ToWin menyebut bahwa California memiliki 55 elektor. Angka itu berasal dari 53 anggota DPR plus dua senator California di Kongres. 

Contoh lain, Texas memiliki 38 elektor, sebab ada 36 anggota DPR di Texas plus dua senator. 

Apabila Donald Trump menang di Texas, maka ia mendapat 36 dukungan dari elektor. Bila Trump kalah di California, maka ia kehilangan 53 suara.  

Capres perlu mendapatkan total 270 suara elektor di pilpres AS agar bisa menang. 

Suara Elektor Kalahkan Suara Populer

20170121-Pelantikan-Donald-Trump-AS-Hillary-Clinton-AP
Mantan calon presiden dari partai Demokrat, Hillary Clinton bersama mantan Presiden AS, George Bush saat menghadiri upacara pelantikan Donald Trump menjadi Presiden AS ke-45 di Washington, DC, AS, (20/1). (Win McNamee/Pool Photo via AP)

Empat negara dengan populasi tertinggi memiliki elektor terbanyak, seperti California (55 elektor), Texas (38 elektor), serta Florida dan New York (29 elektor). 

48 negara bagian mengantu sistem winner-take-all. Contoh, bila capres A menang di California, maka semua elektor di sana berkomitmen memilih orang tersebut. 

Dua negara bagian seperti Maine dan Nebraska tidak menganut sistem itu, tetapi membagikan suara elektor ke level distrik. Alhasil, bisa saja elektor dari Maine tak memilih satu capres.

Kadang ada elektor yang berkhianat (faithless elector) tetapi itu tak sering terjadi.

Perlu diketahui, presiden AS yang mendapat suara total tertinggi tetap akan kalah ketimbang capres yang mendapat suara elektor terbanyak. 

Hal itu jarang terjadi karena biasanya capres yang mendapat suara terbanyak juga mendapat elektor terbanyak. 

Tetapi, hal langka itu terjadi pada pilpres 2016. Hillary Clinton sebetulnya unggul 3 juta suara tapi tetap kalah di pilpres AS. 

Hillary Clinton menang besar di California yang punya populasi tinggi dan jumlah elektor terbanyak, namun Donald Trump berhasil menyapu bersih elektor di negara-negara dengan populasi sedikit seperti North Dakota, South Dakota, Oklahoma, Arkansas, dan Iowa. 

Donald Trump juga menang di Texas dan Florida, sehingga kemenangannya seimbang di negara bagian dengan populasi tinggi dan rendah.

Akhirnya, Trump mendapat 304 suara elektor dan terpilih menjadi presiden. Contoh lainnya adalah Presiden George W. Bush yang kalah di suara populer, tetapi unggul di suara elektor.

Itulah alasan calon presiden AS fokus memenangkan swing states. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya