Liputan6.com, Jakarta - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken akan menghadiri forum Menteri Luar Negeri di acara G20 Bali. Isu invasi Rusia turut menjadi isu yang akan dibawa oleh Blinken.
"Menlu Blinken akan meneguhkan kembali komitmen kami untuk bekerja sama dengan para mitra internasional dalam menghadapi tantangan global, termasuk kerawanan pangan dan energi, serta ancaman berlanjutnya perang Rusia melawan Ukraina terhadap tatanan internasional," tulis pernyataan resmi juru bicara Kemlu AS Ned Price, Rabu (6/7/2022).
Advertisement
Baca Juga
Menlu Antony Blinken dijadwalkan turut bertemu Menlu RI Retno Marsudi dan Menlu RRC Wang Yi di sela pertemuan G20.
Kunjungan Menlu Blinken menandakan hadirnya Menlu AS dan Menlu Rusia di forum G20. Sebelumnya, Menlu Rusia Sergey Lavrov juga menyatakan hadir di Bali.
Rencananya, Menlu Lavrov akan mengunjungi Vietnam dahulu, sementara Menlu Blinken akan mengunjungi Thailand sesudah acara G20. Isu Myanmar dan iklim turut menjadi pembahasan Menlu Blinken di Thailand.
"Di Bangkok, Thailand, Menlu Blinken akan bertemu dengan Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha dan Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Don Pramudwinai. Menlu Blinken berharap dapat mendiskusikan berbagai isu, termasuk menggunakan keberhasilan agenda APEC 2022 Thailand untuk semakin menyukseskan APEC 2023 di mana kami akan menjadi tuan rumah, memperluas kerja sama di bidang kesehatan dan iklim, dan mengatasi krisis di Burma," jelas Ned Price.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Rusia Rebut Luhansk
Beberapa hari setelah kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Rusia menyatakan kemenangan di Provinsi Luhansk milih Ukraina. Wilayah itu kini dikuasai Rusia.
Dilaporkan VOA Indonesia, Selasa (5/7), Presiden Rusia Vladimir Putin mendeklarasikan kemenangan atas Provinsi Luhansk di timur Ukraina hari Senin (4/7) ketika pasukan Ukraina mundur dari benteng terakhir mereka di kota Lysychansk.
Pasukan Moskow langsung mengalihkan perhatian mereka ke pertempuran di Provinsi Donetsk yang bersebelahan. Provinsi itu merupakan bagian dari wilayah industri Donbas yang ingin dikuasai Putin selama invasinya ke Ukraina, yang telah memasuki bulan kelima, setelah sebelumnya gagal menggulingkan pemerintahan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy atau merebut ibu kota, Kyiv.
Ukraina mengatakan bahwa pasukan Rusia kini mencoba untuk maju ke Siversk, Fedorivka dan Bakhmut di wilayah Donetsk, yang sekitar separuhnya dikuasai Rusia.
Gubernur Luhansk Serhiy Haidai mengatakan kepada Associated Press hari Senin (4/7) bahwa pasukannya, pasukan Ukraina, telah mundur dari Lysychansk untuk menghindari pengepungan.
“Terdapat risiko pengepungan di Lysychansk,” kata Haidai, yang menurutkan bahwa pasukan Ukraina bisa saja bertahan lebih lama, namun kemungkinan akan memakan lebih banyak korban.
“Kami berhasil melakukan penarikan terpusat dan mengevakuasi semua yang terluka,” tambahnya. “Kami mengambil kembali semua peralatan. Jadi dari sudut pandang ini, proses penarikan diatur dengan baik.”
Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu melaporkan kepada Putin dalam pertemuan yang disiarkan televisi hari Senin (4/7) bahwa pasukan Rusia telah menguasai Luhansk. Kemudian, Putin mengatakan bahwa unit militer “yang terlibat dalam pertempuran aktif dan telah mencapai keberhasilan dan kemenangan” di Luhansk, “harus beristirahat dan meningkatkan kemampuan tempur mereka.”
Advertisement
Pembangunan Kembali Ukraina Akibat Perang Rusia Diperkirakan Capai Rp 11,2 Kuadriliun
Senin 4 Juli 2022 dilakukan pembukaan Konferensi Pemulihan Ukraina di Swiss.
Konferensi selama dua hari dengan pengamanan ketat di Kota Lugano, Swiss, itu telah direncanakan sejak sebelum invasi Rusia. Pada mulanya dijadwalkan untuk mendiskusikan reformasi di Ukraina sebelum kemudian dialihkan untuk fokus membahas upaya rekonstruksi.
Dalam kesempatan tersebut, Perdana Menteri Ukraina Deny Shmyhal mengatakan bahwa diperlukan biaya sekitar $750 miliar (sekitar Rp 11,2 kuadriliun) untuk membangun kembali negaranya yang hancur akibat perang – sebuah tugas yang disebut Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sebagai tugas bersama negara-negara demokrasi.
"Kami percaya, sumber utama pemulihan seharusnya berasal dari aset-aset yang disita dari Rusia dan oligarki Rusia,” ungkapnya seperti dikutip dari laporan VOA Indonesia, Kamis (6/7/2022).
"Pihak berwenang Rusia melancarkan perang berdarah ini. Mereka menyebabkan kehancuran besar-besaran ini dan mereka lah yang harus bertanggung jawab," tambahnya.
Melalui sebuah pesan video, Zelensky menekankan bahwa "rekonstruksi Ukraina bukanlah tugas lokal satu negara."
"Ini adalah tugas bersama seluruh dunia demokrasi," tegasnya, bersikeras bahwa "reskonstruksi Ukraina merupakan kontribusi terbesar untuk mendukung perdamaian dunia."
Meski demikian, aliran bantuan dana bernilai miliaran dolar bagi Ukraina menjadi tantangan baru seiring masih adanya kekhawatiran tentang korupsi yang meluas di negara itu. Sehingga reformasi besar-besaran tetap menjadi fokus penting dan menjadi prasyarat dalam rencana pemulihan Ukraina.
LSI Sebut Kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia Dinilai untuk Cegah Krisis Ekonomi
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan menilai adanya motif lain dalam perhelatan Presiden Joko Widodo atau Jokowi ke Rusia dan Ukraina pada beberapa hari lalu.
Menurut dia, Jokowi yang diterima langsung oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy serta Presiden Rusia Vladimir Putin punya motif lain bukan sekedar perdamaian. Tetapi jadi tanda upaya langkah antisipasi bilamana krisis ekonomi terjadi.
"Saya kira ini bisa disebut jaga-jaga, kalau jadi krisis ekonomi presiden sudah setidaknya menunjukkan pernah upaya serius yang ditunjukkan pemerintah," kata Djayadi saat diskusi politik bersama Total Politik di Jakarta Selatan, Minggu (3/7).
Dia menilai, imbas perang dua negara tersebut bisa saja menimbulkan krisis ekonomi, akibat dilakukannya embargo negara-negara Eropa pada Rusia.
Tak hanya itu, perjalanan Jokowi terutama ke Rusia dan Ukraina juga dinilai sebagai bentuk komunikasi publik pemerintah kepada masyarakat bahwa saat ini sebagian besar negara sedang menghadapi masa sulit.
Terlebih, akibat pandemi Covid-19 menjadi salah satu penyebab dari kesulitan tersebut yang kian diperparah dengan perang yang masih berlangsung antara Rusia dan Ukraina.
"Tapi akibat adanya perang itu, kita menghadapi masalah lebih besar. Kalau anda bandingin, diesel, premium, di outlet luar negeri kan sudah 20 ribuan, di pertamina masih 13 ribuan. Artinya yang paling mahal pun disubsidi," jelas Djayadi.
Advertisement