Menkeu Inggris Kwasi Kwarteng Dipecat, Padahal Baru Menjabat 1 Bulan

Kebijakan Kwasi Kwarteng di Inggris tidak populer.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 14 Okt 2022, 19:36 WIB
Diterbitkan 14 Okt 2022, 19:10 WIB
Poundsterling Jatuh Ke Level Terendah Terhadap USD Sejak 1971
Orang-orang berjalan melewati biro penukaran mata uang di London, Senin, 26 September 2022. Merosotnya nilai tukar poundsterling terhadap dolar AS itu terjadi setelah Menteri Keuangan Inggris Kwasi Kwarteng pada Jumat mengumumkan pemangkasan pajak terbesar dalam 50 tahun terakhir. (AP Photo/David Cliff)

Liputan6.com, London - Menteri Keuangan Inggris Kwasi Kwarteng dipecat dari kabinet pemerintah Liz Truss. Padahal, Kwarteng baru dilantik pada 6 September 2022. 

Berdasarkan laporan The Times, Jumat (14/10/2022), Kwasi Kwarteng menjalani proses pemecatan pada hari ini. Ia dipecat oleh Perdana Menteri Inggris Liz Truss yang juga diprediksi bakal meninggalkan rencana anggaran Kwarteng. 

Anggaran mini yang diumumkan Kwarteng menuai kontroversi karena ingin memangkas pajak besar-besaran. Langkah tersebut dikhawatirkan menambah utang pemerintah dan menguntungkan kalangan kaya raya saja. 

Investor juga tidak menyambut baik rencana Kwarteng. Baru sebentar Liz Truss berkuasa, nilai pound sterling terhadap dolar AS langsung anjlok, serta menambah kekhawatiran resesi

Sebelumnya, pihak Liz Truss berkata tidak peduli dengan kritikan yang menghantam. Ia mengaku ingin membuat kebijakan jangka panjang. Akan tetapi, Liz Truss kini diprediksi turut meninggalkan kebijakan Kwarteng agar kondisi pasar menjadi lebih tenang.

Pemecatan Kwarteng ini menjawab kenapa ia mendadak pulang dari Amerika Serikat ketika sedang berkunjung ke markas IMF pekan ini. 

Sebagai Menteri Keuangan (Chancellor of the Exchequer), Kwarteng bertugas untuk mengurus kebijakan fiskal, moneter, serta respons kementerian keuangan negara terhadap COVID-19.

Sebagai informasi, Kwarteng adalah anggota parlemen dari Spelthorne yang berada dekat ibu kota Inggris. Ia dulu kuliah S1 di Universitas Cambridge mengambil jurusan sastra klasik dan sejarah. Selanjutnya, ia mempelajari sejarah ekonomi di Cambridge.

Reaksi Dunia Soal Krisis Ekonomi Inggris, Banyak yang Kecewa

Inggris Perketat Pembatasan Covid-19
Seorang pria bermasker melintasi Jembatan Westminster di London, Kamis (9/12/2021). Perdana Menteri Inggris Boris Johnson kembali mendesak orang untuk bekerja dari rumah dan kewajiban menunjukkan sertifikat vaksin untuk memasuki klub malam dan tempat dengan kerumunan besar. (AP Photo/Frank Augstein)

Sebelumnya dilaporkan, dunia internasional bereaksi terhadap gejolak di pasar keuangan yang membuat nilai poundsterling jatuh ke level terendah yang pernah ada terhadap dolar. Hal ini menghancurkan kebijakan pemerintah yang baru.

Menanggapi hal tersebut, dunia pun terkejut terlebih karena terfokus pada kesediaan kanselir Kwarteng untuk bereksperimen dengan salah satu dari ekonomi paling stabil di dunia.

Dilansir The Guardian, Rabu (28/9/2022), di salah satu wilayah AS, kritik dipimpin oleh mantan menteri keuangan AS Larry Summers, yang menggunakan Twitter dan menyebut “kebijakan Inggris yang sama sekali tidak bertanggung jawab”, sekaligus mengungkapkan keterkejutannya bahwa pasar telah bereaksi begitu cepat dan kasar.

Dia mengatakan ini dengan sendirinya menunjukkan hilangnya kredibilitas.

Utas panjangnya diakhiri dengan prediksi suram bahwa krisis keuangan di Inggris tidak hanya akan berdampak pada "kelangsungan hidup London sebagai pusat keuangan global", tetapi "juga dapat memiliki konsekuensi global".

Di New York, John Cassidy menulis bahwa krisis itu semakin mengganggu Inggris karena datang begitu cepat setelah kematian Ratu Elizabeth II , “hubungan terakhir mereka yang tersisa ke saat peta buku sekolah mereka menunjukkan petak besar permukaan bumi berwarna merah kekaisaran”. 

Sekarang, katanya, “mereka menghadapi krisis mata uang yang memalukan”.

Dia mengatakan bahwa perdana menteri, Liz Truss, dan kanselirnya, Kwasi Kwarteng, telah menjerumuskan Inggris ke dalam “kekacauan ekonomi”.

Disebut Ekspresimen

Inggris Tidak Terapkan Pembatasan COVID-19 Jelang Tahun Baru
Seorang wanita mengenakan topeng untuk melindungi diri dari virus corona melihat ponselnya di Trafalgar Square, di London, Selasa (28/12/2021). Javid menuturkan, varian Omicron saat ini menyumbang sekitar 90 persen kasus baru di seluruh Inggris. (AP Photo/Alastair Grant)

Di Irlandia, seorang komentator mengatakan bahwa "ledakan di Inggris" telah jelas menjadi bumerang, dan mendesak pemerintah Irlandia, yang akan mengungkap anggarannya sendiri untuk memberi perhatian lebih. 

“Menteri Paschal Donohoe dan Michael McGrath telah menyampaikan pameran waktu nyata dengan tepat bagaimana tidak melakukannya,” kata Irish Independent dalam sebuah editorial. 

“Terlepas dari beban ekspektasi yang cukup besar, Anggaran 2023 harus didasarkan.”

Di Jerman, koresponden ekonomi harian Frankfurter Allgemeine Zeitung yang berbasis di London, Philip Plickert, mengatakan kepada pembaca bahwa sebagai “sejarawan keuangan dan ekonomi, Kwarteng harus berkonsultasi dengan buku-buku sejarah sekali lagi untuk melihat betapa berbahayanya peningkatan defisit kembar. Perdana Menteri Truss tidak mampu menanggung krisis neraca pembayaran.”

Menteri keuangan Jerman, Christian Lindner, sementara itu, mengatakan kepada surat kabar yang sama di sebuah acara bahwa dia akan menunggu untuk mengambil pelajaran dari apa yang dia sebut sebagai "eksperimen besar" yang telah dilakukan Inggris, katanya,  mereka "menginjak gas sementara bank sentral menginjak rem”.

IMF Juga Beri Alarm

Perdana Menteri Inggris Liz Truss. (Foto: Dok. Instagram @elizabeth.truss.mp)
Perdana Menteri Inggris Liz Truss. (Foto: Dok. Instagram @elizabeth.truss.mp)

IMF ikut angkat bicara tentang krisis yang dihadapi pemerintah Inggris. Saat ini, mata uang Inggris sedang terpuruk sehingga harga-harga terancam naik.

Terpuruknya poundsterling dipicu rencana Menteri Keuangan Inggris Kwasi Kwarteng yang ingin memangkas pajak besar-besaran untuk meningkatkan ekonomi. Namun, pemerintah juga akan mengambil utang.

Pengunguman Kwarteng tidak mendapatkan sambutan positif dari investor.

Kebijakan memangkas pajak pun menjadi bumerang dan IMF khawatir warga tak mampu harus menelan pil pahit.

"Sifat dari kebijakan-kebijakan Inggris kemungkinan akan menambah ketidaksetaraan," ucap pihak IMF, dikutip BBC, Rabu (28/9).

Lebih lanjut, IMF berkata pemerintah Inggris masih punya kesempatan untuk melakuan re-evaluasi terhadap rencana pajak tersebut, terutama yang menguntungkan orang berpendapatan tinggi.

Partai Buruh menilai kebijakan Kwarteng akan menguntungkan "orang terkaya 1 persen".

Infografis Indonesia Kemungkinan Lepas Status Pandemi Covid-19 Awal 2023. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Indonesia Kemungkinan Lepas Status Pandemi Covid-19 Awal 2023. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya